Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara
Chapter 4
Pancaksara masih termangu di tempatnya. Ia perhatikan setiap sudut istana dari ujung ke ujung dengan penuh perhatian. Pancaksara tidak bisa menipu hatinya terhadap betapa megahnya istana itu. Dengan petualangan dan perjalanan panjang yang pernah ia lakukan pada masa lalu, Pancaksara melihat Istana Wilwatikta memang memiliki kemegahan yang tiada tara. Menyeberang Laut Jawa hingga ke bumi Kutai di ranah Kalimantan, Pancaksara melihat sisa-sisa kemegahan Kerajaan Kutai yang mulai melumut dan bahkan dinding-dindingnya menghancur,
kemegahannya tidaklah bisa menyamai kemegahan pilar-pilar Istana Wilwatikta. Demikian pula dengan Istana Singasari yang masih utuh yang baru beberapa bulan sebelumnya dikunjungi, juga Istana Kediri yang ia datangi beberapa kali termasuk pula Istana Kotaraja Majapahit timur yang dikuasai Banyak Wide atau Aria Wiraraja yang beribukota di Lumajang, semua istana itu tak ada yang bisa menandingi kemegahan Istana Majapahit, baik dilihat dari kemegahan bangunannya maupun luas wilayahnya.
kemegahannya tidaklah bisa menyamai kemegahan pilar-pilar Istana Wilwatikta. Demikian pula dengan Istana Singasari yang masih utuh yang baru beberapa bulan sebelumnya dikunjungi, juga Istana Kediri yang ia datangi beberapa kali termasuk pula Istana Kotaraja Majapahit timur yang dikuasai Banyak Wide atau Aria Wiraraja yang beribukota di Lumajang, semua istana itu tak ada yang bisa menandingi kemegahan Istana Majapahit, baik dilihat dari kemegahan bangunannya maupun luas wilayahnya.
Dengan tembok bata merah tebal mengelilingi keraton, tidak memungkinkan orang bisa masuk ke dalam lingkungan istana, yang pintu utamanya berada di sebelah barat menghadap ke lapangan luas yang disebut Purawaktra. Membelah lapangan yang luas, mengalir sebuah sungai yang tidak memungkinkan siapa pun melintas kecuali melalui sebuah jembatan yang padanya melekat penjagaan. Sungai buatan itu ditaburi ikan tombro yang dalam bulan atau waktu tertentu akan dipanen, tetapi beberapa prajurit sering memanfaatkan waktu luangnya untuk mengayunkan joran. Ikan bernasib sial akan menggelepar di ujung kail, apalagi bila yang diayunkan adalah jala. Di antara para prajurit bahkan ada yang tidak perlu merasa segan membakar ikan itu di bawah deretan pohon tanjung yang sangat rindang. Suara seruling yang ditiup oleh seorang prajurit menjadikan tempat itu sungguh sejuk menyenangkan.
Di tepi benteng yang melingkar, ditanami pohon bramastana berderet-deret memanjang. Deret pohon yang tumbuh dengan daundaun dan sulur-sulur akar yang lebat itu menjadi sarang burung kuntul yang selalu kembali ke pohon itu pada siang hari, sementara malam hari entah mengembara sampai di ujung dunia belahan mana. Di bawah pohon bramastana itulah tempat berteduh para perwira yang melakukan giliran meronda ataupun menjaga paseban. Siang hari yang terik para prajurit bahkan memanfaatkan tempat itu untuk tidur-tiduran, atau berlatih ngembat watang. Ada pula yang memanfaatkan untuk mengasah ilmu kanuragan. Dari tempat itu, apabila arah pandang ditujukan ke sisi utara dari pusat istana, di sana sebuah gapura dengan pintu terbuat dari besi menyaring siapa pun yang akan melintas.
Alun-alun istana membujur dari utara ke selatan. Pintu masuk ke pura istana terletak di tengah alun-alun. Di sisi timur dari pintu besi terletak sebuah panggung tinggi dengan lantai berlapis batu putih mengilat, yang merupakan rumah pertama dalam deretan gedung-gedung yang berimpit membujur ke selatan. Di depan gedung itu terdapat jalan yang membatasi dan membelah alun-alun dan gedung-gedung di lingkungan istana. Apabila dari panggung pandangan mata di tujukan ke selatan, tidak jauh dari tempat itu terletak bangunan megah yang disebut Balai Prajurit yang dimanfaatkan untuk bermusyawarah para menteri, para perwira, para pendeta dari tiga aliran agama, para pembantu raja, para kepala wilayah dan kepala desa, baik yang berasal dari ibukota maupun dari luar yang secara berkala melakukan pertemuan di bulan Caitra.
Apabila dari Balai Prajurit dilangkahkan kaki ke utara akan bertemu dengan kolam yang amat luas dan besar yang disebut Segaran yang belum sempurna pembuatannya, siang malam ratusan dan bahkan ribuan tenaga dikerahkan untuk mengeduk tanah. Demikian lebar dan panjang kolam itu menyebabkan beberapa korban nyawa tenggelam telah terjadi beberapa kali, di antaranya bahkan para prajurit yang berlatih menyelam. Bila perjalanan ke utara diteruskan akan bertemu dengan sebuah pintu gerbang yang disebut Candi Waringin Lawang. Disebut demikian karena berupa lawang atau pintu berjumlah dua buah yang terletak berimpitan dengan pohon beringin. Pintu gerbang ini dibuat dari susunan bata merah. Pada jarak beberapa jengkal perjalanan arah ke utara lagi akan bertemu dengan candi berpenampilan gemuk yang disebut Candi Brahu.
Di sebelah timur Balai Prajurit atau balai pertemuan adalah rumah korban yang menjulang bertiga-tiga mengelilingi kuil Siwa yang tinggi. Di sebelah selatannya adalah gedung bersusun tempat tinggal para Wipra, sementara ke arah barat dari kediaman para Wipra membentang halaman luas dan berkaki tinggi. Berdampingan dengan kuil Siwa serasa gambaran hidup dengan rukun adalah gedung Buddha dengan atap bertingkat tiga, puncak bangunan penuh dengan ukiran. Bangkit bulu kuduk Pancaksara memerhatikan puncak bangunan itu di keremangan malam, apalagi dari arah mana pun mulai dialunkan tembang mantra puja doa menurut tata cara dan agama berbeda-beda dalam mengiring keberangkatan Sri Jayanegara memasuki kehidupan lain setelah kehidupan di dunia.
Di sebelah selatan balai pertemuan atau Balai Prajurit adalah Bale Agung Manguntur yang juga disebut Bale Tatag Rambat atau Balairung dengan berlatar lapangan luas di belakangnya. Bangunan inilah yang disebut sebagai bangunan utama wilayah istana yang juga diberi nama lain keraton yang berarti tempat tinggal ratu, atau juga disebut kedaton. Dari wujudnya Tatag Rambat Bale Manguntur merupakan bangunan yang paling megah di antara seluruh bangunan yang ada. Bangunan besar dan luas ini didukung oleh lebih dari sepuluh pilar untuk menyangga atap genting pilihan yang dilabur dengan warna cokelat mengilat.
Tepat di tengah-tengan Balai Manguntur terdapat rumah-rumahan kecil yang diberi nama Balai Witana. Bangunan kecil ini digunakan sebagai tempat duduk raja saat menggelar pasewakan agung. Dari dalam Balai Witana, raja bisa melihat semua yang hadir dengan leluasa, sebaliknya siapa pun yang hadir di pasewakan tidak akan bisa melihat raja, kecuali ketika raja akan masuk atau keluar dari balai itu. Akan tetapi, dalam tata kramanya ketika hal itu terjadi, tidak ada orang diperkenankan menengadahkan kepala, semua harus menunduk.
Di depan Balai Witana atau dari tempat itu arah pandang menuju utara yang hanya berjarak puluhan langkah kaki saja adalah tempat panangkilan, tempat duduk para pujangga dan menteri. Di bagian timur menghadap ke Balai Witana adalah tempat berkumpul para pendeta Siwa dan Buddha ketika mengikuti pasewakan agung.
Di arah selatan dari Balai Witana dengan tersekat pintu-pintu adalah paseban yang diatur sangat rapi, menyenangkan di pandangan mata. Dari tempat itu manakala tatapan mata diarahkan ke selatan, di sana tampak ruas jalan dari timur ke barat, jalan itu nantinya akan bertemu dengan jalan dari arah utara ke selatan. Persilangan jalan itu merupakan simpang empat di bagian selatan alun-alun. Di sepanjang jalan dari timur ke barat, di kanan dan kirinya berjajar rumah-rumah megah dengan deretan pohon tanjung membelah ruas jalan timur barat. Tanaman hias ditata rapi di kiri dan kanan jalan dan akan tampak indah di musim penghujan. Namun, di musim kering semua tanaman hias itu amat meranggas. Istana Wilwatikta tidak seperti Istana Singasari yang berada di ketinggian dan berudara dingin menyengat. Letaknya yang berada di dataran rendah menyebabkan udara hangat di sepanjang hari, baik siang maupun malam. Akan tetapi, tidak jarang kabut turun di musim penghujan karena tidak jauh di arah tenggara menjulang Gunung Anjasmoro. Dari istana pula lamat-lamat bisa dilihat dengan mata telanjang Gunung Welirang dan Gunung Arjuno yang puncak mereka selalu dikemuli halimun yang tebal. Apabila mega itu menyingkir, puncak-puncak gunung itu akan menjadi tontonan yang sangat megah.
Apabila arah pandangan mata ditujukan ke sudut barat daya dari Istana Tatag Rambat Bale Manguntur sedikit jauh, di sana berdiri sebuah balai tempat berkumpul para prajurit dengan ukuran jauh lebih kecil dari Balai Prajurit. Tempat ini diperuntukkan para prajurit, khususnya mereka yang melaksanakan tugas pengamanan istana. Bangunan itu berhalaman luas, di tengahnya terdapat sebuah mandapa.Ratusan ekor burung merpati dibiarkan hidup dengan bebas dan menjadi klangenan segenap kerabat istana. Merpati itu dilindungi dengan sebuah aturan, siapa pun tidak boleh mengganggunya. Berani menangkap atau membunuh burung piaraan itu pelakunya akan berhadapan Kitab Kutaramanawa. Perlindungan terhadap satwa tidak sekadar jenis burung kesukaan raja, tetapi juga jenis-jenis binatang yang lain yang mulai sulit didapat di mana pun.
Dari arah mandapa berada, di sebelah selatan ruas jalan dari timur ke barat dan terletak di sebelah barat jalan dari ruas jalan utara ke selatan, di sebelah timur jalan terdapat sebuah paseban membujur dari utara ke selatan yang terhubungkan dengan pintu kedua dari istana. Arah pandang dari pintu tersebut akan tertuju pada halaman luas dan sangat rata bersebelahan dengan sebuah bangunan indah dan tinggi, itulah ruang tamu baginda yang dimanfaatkan untuk menerima siapa saja yang berniat melakukan seba.
Halaman dikelilingi banyak balai yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kedaton, atapnya dibuat bertingkat-tingkat, berkelompok-kelompok dengan masing-masing memiliki pintunya sendiri-sendiri. Wilayah istana itu membentang ke timur sampai ke tembok benteng sebelah timur, ke arah selatan mencapai tembok benteng sebelah selatan. Sewilayah Majapahit tak ada yang bisa menandingi bangunan yang besar dan megah itu.
Bangunan istana bagian utara tepat berada di belakang paseban adalah tempat tinggal Sekar Kedaton Bre Kahuripan. Di tempat itulah nantinya apabila anak Raden Wijaya itu berumah tangga akan bertempat tinggal. Semula Breh Kahuripan atau Sri Gitarja dan adiknya, Dyah Wiyat, tinggal bersama di lingkungan keputren dengan dilayani oleh para emban, tetapi manakala pada diri masing-masing telah melekat kedudukan pemangku wilayah Kahuripan dan Daha, apalagi di usia dewasa mereka telah siap melepas kedudukan perawan dengan siap menikahi calon suaminya masing-masing, mereka tak lagi selalu bersama dan harus tinggal di istana terpisah. Istana paling timur yang jauh dari pintu pertama adalah istana Sri Nata, Sang Prabu Jayanegara. Jika tatapan mata ditujukan ke arah selatan, di sana letak bangunan yang tak kalah megah dengan milik Sekar Kedaton Breh Kahuripan. Bangunan dengan pintu berikir memet yang dipahat oleh orang yang sangat ahli dan didatangkan dari wilayah pesisir utara itu adalah tempat tinggal yang disiapkan untuk Breh Daha atau Dyah Wiyat.
Betapa megah dan indah bangunan itu karena terbuat dari bahanbahan pilihan. Pilar-pilar kayunya atau semua bagian dari tiang saka, belandar bahkan sampai pada usuk diraut dari kayu jati pilihan dengan perhitungan bangunan itu sanggup melewati waktu puluhan tahun, bahkan diharap bisa tembus lebih dari seratus tahun. Tiang saka diukir
indah warna-warni, kakinya berasal dari bahan batu merah penuh pahatan ukir mengambil tokoh-tokoh pewayangan, atau tokoh yang pernah ada bahkan masih hidup. Bangunan itu berbeda-beda bentuk atapnya, pun demikian dengan bentuk wajahnya. Halaman tiga istana utama itu diatur rapi dengan sepanjang jalan ditanami pohon tanjung, kesara, dan cempaka. Melingkar-lingkar di halaman adalah tanaman bunga perdu dari jenis semak. Di sudut-sudut halaman tumbuh beberapa pohon talok dengan buah kecil-kecil. Jika matang warnanya merah dan menjadi alasan utama bagi bocah-bocah untuk memanjat dan memetiknya. Jangankan bocah-bocah, orang tua pun tak mau kalah menggapaikan tangannya untuk bisa memetik buah itu.
Di arah barat laut berdiri beberapa bangunan, di antaranya adalah kediaman para menteri sesepuh panangkil yang hanyepuhi siapa pun yang berkehendak menghadap Sri Naranata. Di arah selatannya adalah rumah-rumah para abdi dalem istana Dyah Wiyat. Sebaliknya, para emban tinggal di bangsal khusus yang disediakan untuk mereka yang melekat menjadi bagian tak terpisahkan dari istana. Demikian juga dengan kandang berisi kuda-kuda pilihan milik raja dan para Sekar Kedaton. Bangunan-bangunan para abdi dalem berada di antara dua ruas jalan, yaitu ruas jalan dari timur ke barat dan dari utara ke jurusan selatan.
Di luar benteng, Pancaksara memerhatikan dengan saksama semua bangunan, ruas jalan, dan sudut-sudut pintu gerbang dan memahatkannya ke dalam benak untuk kelak sebagaimana telah direncanakannya, ia akan menuliskan semua itu di atas daun-daun rontal, dengan harapan siapa tahu kelak akan bermanfaat bagi anak keturunan.
Di sebelah timur benteng, Pancaksara mencatat tempat tinggal pemuka agama Siwa, Hyang Brahmaraja. Ujung timur selatan benteng berbatasan dengan istana adalah kediaman kepala mahkamah agung yang pada dirinya melekat gelar Darmadyaksa, yang diapit dua buah candi, sebelah timur candi Siwa sementara di sebelah baratnya adalah candi Buddha. Para pendeta Buddha dengan pemukanya, Sang Samenaka, menempati bagian selatan di luar benteng. Sementara itu, di bagian timur benteng terdapat sebidang tanah dengan sebuah rumah. Itulah anugerah yang diberikan oleh Jayanegara kepada Gajah Mada atas jasa-jasa yang diperbuatnya ketika melakukan penyelamatan Sang Prabu dari tangantangan makar Ra Kuti dan teman-temannya. Dalam angan-angannya, kelak ia akan membangun istananya di tempat itu.
Di sebelah barat benteng bagian utara adalah tempat tinggal para menteri dan punggawa parentah kraton. Di sebelah selatan adalah tempat tinggal sentanaraja115 dan para kesatria. Di bagian luar adalah perkampungan penduduk yang cukup padat. Sawah membentang di sana sini yang apabila ditanami padi, warnanya seragam memberi kesan bagai hamparan babut permadani. Nyaris ke segenap sudut kiblat, pohon nyiur ada di mana-mana menjulang tinggi menggapai langit.
Pancaksara yang menghirup udara memenuhi semua sekat ruang di dadanya itu mendadak merasakan pedih. Kematian memang milik siapa saja. Kematian bisa menimpa siapa saja. Cerita kematian selalu meninggalkan kesedihan, tetapi kematian akibat pembunuhan akan meninggalkan jejak luka yang lebih dalam. Tidak sekadar menyedihkan, tetapi menyakitkan. Apalagi, manakala korbannya adalah seorang raja, sosok yang menjadi lambang negara ketiga setelah cihna dan panji gula kelapa.
Pancaksara yang menatap jauh ke barat, menandai mulai menyalanya sebuah titik api. Entah siapa orang berduka di seberang sana yang kehilangan akal, sampai rela membakar rumahnya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar