Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara
Chapter 2
Jika dirunut jauh ke belakang, awalnya Ken Arok yang kelak di kemudian hari bergelar Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabumi hanyalah sampah masyarakat belaka. Namanya melekat dengan sarangnya, Padang Karautan, yang berada tidak jauh dari Istana Singasari. Ia terkenal sebagai maling, perampok, penyamun, dan perbuatan tidak terpuji lainnya. Meski ia seorang penyamun, otaknya jalan dan encer, bahkan jahat. Setidaknya Ken Arok, anak pasangan suami istri Gajah Para dan Ken Endok ini bisa menggunakan akalnya untuk menggapai sebuah tujuan yang sungguh luar biasa, menjadi raja. Sebuah kesempatan yang ia peroleh setelah Brahmana Lohgawe membawanya ke Istana Pakuwon Tumapel.
Berbekal pengalaman sebagai perampok, membunuh bukan hal luar biasa baginya. Pembunuhan pertama ia lakukan kepada pembuat keris bernama Empu Gandring, yang membuatnya jengkel karena telah sekian lama keris pesanannya belum rampung juga. Keris yang dipesan masih belum sempurna, gagangnya masih gagang sementara yang terbuat dari dahan cangkring (= dahan bambu). Dengan bengis Ken Arok membenamkan pusaka itu ke dada pembuatnya, Empu Gandring, yang kemudian menjatuhkan kutukan bahwa kelak keris itu akan meminta banyak nyawa, termasuk nyawa Ken Arok.
Kebengisan berdarah dingin dan menghalalkan segala macam cara ditimpakan pula kepada Kebo Ijo (= nama prajurit Singasari yang menjadi korban fitnah Ken Arok), yang kepadanya keris itu dipinjamkan sehingga kemudian banyak orang di Tumapel mengira keris yang menancap di dada Akuwu Tunggul Ametung (= suami pertama Ken Dedes, penguasa wilayah setara kabupaten, wilayahnya disebut pakuwon) adalah milik Kebo Ijo karena sebelumnya ke mana-mana Kebo Ijo selalu pamer keris itu. Tanpa banyak bicara Ken Arok membunuh Kebo Ijo sebagai tertuduh, dengan mengabaikan saksi yang terbungkam mulutnya, Ken Dedes, anak seorang empu linuwih, Empu Purwa dari Panawijen.
Kemudian terjadilah perkawinan antara Ken Arok dan Ken Dedes yang dari awal benar-benar sudah dirancang oleh Ken Arok, bukan sekadar oleh alasan betis Ken Dedes bercahaya. Ken Arok mengawini Ken Dedes meskipun perempuan ini sedang hamil dari suaminya terdahulu. Dengan demikian, ia berhasil menggapai tahapan awal dari rencana jangka panjang yang dirancangnya. Dengan mengawini Ken Dedes, Ken Arok dengan sendirinya memperoleh kedudukan sebagai akuwu di Tumapel. Di samping Ken Dedes, Ken Arok juga mengawini Ken Umang.
Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok berputra antara lain Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Sementara itu, dari perkawinannya dengan Ken Umang, Ken Arok berputra Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wergola, dan Dewi Rambi.
Bahwa Ken Arok benar-benar berkeinginan menjadi raja, hal itu bisa dilihat dari Kediri yang menyerbunya. Perang pecah di sebuah tempat bernama Ganter. Pasukan Kediri di bawah kendali Sri Kertajaya (=raja Kediri terakhir) yang sering disebut sebagai Prabu Dangdang Gendhis dengan kekuatan jauh lebih besar bisa dikalahkan. Sri Kertajaya terbunuh dalam perang itu.
Puncak kekuasaan kemudian berhasil ia peroleh, sekaligus menjadi awal kemelut berkepanjangan dan berdarah-darah. Ken Arok menjadi raja pertama Singasari, beribu kota di Tumapel mulai 1222 hingga 1227, dalam waktu hanya lima tahun.
Anusapati (= anak Ken Dedes dari suami pertama, Akuwu Tunggul Ametung) yang tidak bisa menerima kematian ayahnya, atau barangkali oleh alasan yang lain, ia merebut kekuasaan. Dengan meminjam tangan pengalasan dari Batil, yang kepadanya dipinjamkan keris Empu Gandring, Ken Arok dibunuh. Anusapati naik takhta dan memimpin negara lumayan lama, selama 21 tahun dari tahun 1227 hingga 1248 bergelar Anusanatha.
Akan tetapi, Tohjaya (= anak Ken Arok buah perkawinannya dengan Ken Umang) tidak bisa menerima kematian ayahnya. Melalui tipu daya adu jago di sebuah pasar, Anusapati dibunuh. Anusapati dicandikan di Kidal. Tohjaya menggantikan naik takhta, menjadi raja yang ternyata tidak lebih dari setahun pada 1248.
Kematian berbalas kematian masih berlanjut. Ranggawuni (= anak Anusapati) menabuh genderang perang bahu-membahu dengan saudara sepupunya, Mahisa Cempaka (= anak Mahisa Wonga Teleng). Mereka melakukan serbuan hingga Tohjaya harus melarikan diri terbirit-birit dan mati dibunuh oleh pengusung tandunya sendiri.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, menyelenggarakan pemerintahan atas Singasari secara bersama-sama. Ranggawuni bergelar Sri Jayawisnuwardhana, sementara Mahisa Cempaka bergelar Ratu Angabhaya atau juga disebut Narasinghamurti. Pemerintahan kakak beradik ini lumayan lama dan tenteram mencapai 20 tahun, yaitu sejak 1248 hingga 1268. Sri Jayawisnuwardhana meninggal di Mandaragiri 1268 dan dicandikan sebagai Siwa di Jayaghu.
Raja Singasari berikutnya adalah Kertanegara, anak Ranggawuni yang ngelar (= melebarkan kekuasaan) jajahan hingga ke Sumatera, Pahang, Bakalapura, dan Gurun. Baginda Kertanegara yang memimpin negeri selama 24 tahun, yaitu sejak 1268 hingga 1292 memiliki enam orang anak, empat di antaranya dikawinkan semua dengan Raden Wijaya (dari perkawinannya dengan Bajra Dewi, Kertanegara mempunyai 6 orang anak, masing-masing SriWiswarupa Kumara, Tribhuana, Narendraduhita, Pradnya Paramita, Gayatri, dan anak bungsu yangdikawinkan dengan Ardaraja).
Mengapa Kertanegara demikian menyayangi Raden Wijaya sampai keempat anak perempuannya dinikahkan semua dengannya? Hal itu tidak lain karena Raden Wijaya adalah anak dari Lembu Tal, sementara Lembu Tal adalah anak Mahisa Cempaka. Mahisa Cempaka adalah sepupu ayahanda Sri Kertanegara sendiri.
Singasari runtuh karena serbuan Raja Jayakatwang dari Gelang-Gelang, yang rupanya masih menyimpan dendam negara leluhurnya, Kediri, pernah dihancurkan. Serbuan Jayakatwang ini dilakukan tepat ketika Singasari dalam keadaan kosong. Jayakatwang mampu menusuk pada saat yang tepat karena petunjuk bekas pejabat istana, Wiraraja (= juga bernama Banyak Wide dan Arya Adikara) yang kecewa karena dilorot jabatannya sebagai demang oleh Raja Kertanegara dan menduduki jabatan sebagai bupati di Sumenep.
Raden Wijaya yang berhasil memanfaatkan tentara dari Mongol untuk menggilas Jayakatwang, mendadak melakukan tikaman ketika pasukan Mongol tidak siap, dan sisanya kembali berlayar pulang ke negerinya.
Raden Wijaya mendirikan negeri baru yang diberi nama Wilwatika, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Majapahit. Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada tanggal 15 bulan Karttika dalam sengkala Ri Purneng Karttikamasa Pancadasi (= tahun 1215 saka atau bertepatan 12 november1923) bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana yang memerintah selama 16 tahun sejak 1293 hingga 1309. Sepanjang perjalanan pemerintahan itu, bukan berarti Raden Wijaya melaluinya tanpa gejolak karena ketidakpuasan dari orang-orang yang semula mendukungnya mengemuka dalam bentuk makar.
Ranggalawe (= anak Arya Wiraraja) tercatat dalam Kidung Ranggalawe yang entah siapa penulisnya, meneriakkan dendang pemberontakan. Ia lakukan itu akibat merasa kecewa karena Nambi diangkat menjadi patih amangkubumi, padahal Ranggalawe merasa perjuangan Nambi dan sumbangsihnya untuk Majapahit belum ada apa-apanya dibanding apa yang ia lakukan, sementara ia hanya diberi jabatan sebagai adipati di Tuban. Patih amangkubumi adalah jabatan yang terhormat karena ia orang kedua setelah raja, sementara adipati meski membawahi sebuah wilayah yang cukup luas, kedudukan itu masih kalah bobot dari jabatan mahapatih.
Dengan pasukan berkekuatan segelar sepapan, Nambi menyerang Tuban. Nambi yang duduk di atas kuda bernama Brahma Cikur dihadapi Lawe yang duduk di atas kuda kesayangannya bernama Nila Ambara yang juga disebut Mega Lamat. Namun, kekhawatiran Nyai Mertaraga dan Nyai Tirtawati, dua orang istri Lawe menjadi kenyataan. Ranggalawe mati bukan oleh Nambi, namun justru Kebo Anabrang yang memberangus nyawanya. Sementara itu, Kebo Anabrang mati di tangan Sora (= pejabat penting di Majapahit, sahabat Ranggalawe), yang tidak bisa menerima kematian Ranggalawe yang demikian besar sumbangan perjuangannya pada Majapahit. Kebo Anabrang meninggalkan seorang anak bernama Kebo Taruna atau Kebo Anabrang Taruna yang menurut Undang-Undang Kutaramanawa (= Kitab Undang-Undang Majapahit, sekarang semacam KUHP) punya hak untuk menuntut balas kematian ayahnya. Menurut undang-undang tersebut, Lembu Sora bisa dihukum mati. Salah satu ayat Kitab Kutaramanawa menyebut siapa yang melakukan pembunuhan, sebagai hukumannya ia harus dibunuh. Mahapati (= sosok pejabat penting di Majapahit, S. Tidjab, pengarang drama Tutur Tinular memberinya nama Ramapati) memanfaatkan itu sebagai bahan fitnahnya. Lembu Sora yang amat berpeluang menjadi pesaing nafsunya berada di sasaran bidiknya.
Kematian Ranggalawe memang layak ditangisi setidaknya oleh Nyai Mertaraga dan Nyai Tirtasari, yang memutuskan bunuh diri untuk menemani suaminya. Arya Adikara atau Banyak Wide yang juga bernama Arya Wiraraja sangat kecewa atas kematian putra kesayangannya. Ia memutuskan menghadap Sang Prabu untuk menagih janji. Dahulu ketika Raden Wijaya terbirit-birit meminta perlindungan ke Sumenep, ia berjanji kelak akan membagi dua kerajaan dengan Wiraraja. Raden Wijaya memenuhi janji itu dengan menyerahkan wilayah negara bagian timur ke selatan hingga pantai yang memuat tiga juru. Sejak itu Arya Adikara berdiri sendiri sebagai raja di Lumajang dan tidak harus menghadap raja.
Usai persoalan Ranggalawe, ketenangan pemerintahan Majapahit kembali terusik. Kali ini yang melakukan makar adalah Lembu Sora, yang terpaksa berhadapan dengan kekuatan Majapahit karena hasutan Mahapati yang merasa Lembu Sora merupakan batu sandungan mimpinya menggapai jabatan mahapatih. Tarikh saka 1222 atau masehi 1300, pemberontakan itu terangkai dalam Kidung Sorandaka yang merupakan padanan kata dari Andakasora atau Lembu Sora. Dalam peristiwa itu, Sora, Gajah Biru, dan Juru Demung gugur. Berhasil siasat Mahapati dalam menggapai mimpi-mimpinya.
Tindakan makar masih akrab dengan Majapahit. Ketika pemerintahan bergeser ke tangan Jayanegara, justru Patih Nambi, orang yang mestinya tidak mungkin melakukan pemberontakan terpaksa mengangkat senjata. Nambi memberontak hanyalah korban dari gelegak nafsu Mahapati yang amat ingin menduduki jabatan mahapatih. Nambi dihasut, raja juga dihasut, Mahapati menyebar fitnah ke sana sini, menyudutkan Nambi yang terpaksa harus membangun benteng di Pajarakan, memperkuat kekuatan di Ganding dan Lumajang. Namun, tanpa ampun Sang Prabu Jayanegara yang terhasut fitnah Mahapati menggilasnya.
Lalu Ra Kuti….
Chapter 2
Jika dirunut jauh ke belakang, awalnya Ken Arok yang kelak di kemudian hari bergelar Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabumi hanyalah sampah masyarakat belaka. Namanya melekat dengan sarangnya, Padang Karautan, yang berada tidak jauh dari Istana Singasari. Ia terkenal sebagai maling, perampok, penyamun, dan perbuatan tidak terpuji lainnya. Meski ia seorang penyamun, otaknya jalan dan encer, bahkan jahat. Setidaknya Ken Arok, anak pasangan suami istri Gajah Para dan Ken Endok ini bisa menggunakan akalnya untuk menggapai sebuah tujuan yang sungguh luar biasa, menjadi raja. Sebuah kesempatan yang ia peroleh setelah Brahmana Lohgawe membawanya ke Istana Pakuwon Tumapel.
Berbekal pengalaman sebagai perampok, membunuh bukan hal luar biasa baginya. Pembunuhan pertama ia lakukan kepada pembuat keris bernama Empu Gandring, yang membuatnya jengkel karena telah sekian lama keris pesanannya belum rampung juga. Keris yang dipesan masih belum sempurna, gagangnya masih gagang sementara yang terbuat dari dahan cangkring (= dahan bambu). Dengan bengis Ken Arok membenamkan pusaka itu ke dada pembuatnya, Empu Gandring, yang kemudian menjatuhkan kutukan bahwa kelak keris itu akan meminta banyak nyawa, termasuk nyawa Ken Arok.
Kebengisan berdarah dingin dan menghalalkan segala macam cara ditimpakan pula kepada Kebo Ijo (= nama prajurit Singasari yang menjadi korban fitnah Ken Arok), yang kepadanya keris itu dipinjamkan sehingga kemudian banyak orang di Tumapel mengira keris yang menancap di dada Akuwu Tunggul Ametung (= suami pertama Ken Dedes, penguasa wilayah setara kabupaten, wilayahnya disebut pakuwon) adalah milik Kebo Ijo karena sebelumnya ke mana-mana Kebo Ijo selalu pamer keris itu. Tanpa banyak bicara Ken Arok membunuh Kebo Ijo sebagai tertuduh, dengan mengabaikan saksi yang terbungkam mulutnya, Ken Dedes, anak seorang empu linuwih, Empu Purwa dari Panawijen.
Kemudian terjadilah perkawinan antara Ken Arok dan Ken Dedes yang dari awal benar-benar sudah dirancang oleh Ken Arok, bukan sekadar oleh alasan betis Ken Dedes bercahaya. Ken Arok mengawini Ken Dedes meskipun perempuan ini sedang hamil dari suaminya terdahulu. Dengan demikian, ia berhasil menggapai tahapan awal dari rencana jangka panjang yang dirancangnya. Dengan mengawini Ken Dedes, Ken Arok dengan sendirinya memperoleh kedudukan sebagai akuwu di Tumapel. Di samping Ken Dedes, Ken Arok juga mengawini Ken Umang.
Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok berputra antara lain Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Sementara itu, dari perkawinannya dengan Ken Umang, Ken Arok berputra Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wergola, dan Dewi Rambi.
Bahwa Ken Arok benar-benar berkeinginan menjadi raja, hal itu bisa dilihat dari Kediri yang menyerbunya. Perang pecah di sebuah tempat bernama Ganter. Pasukan Kediri di bawah kendali Sri Kertajaya (=raja Kediri terakhir) yang sering disebut sebagai Prabu Dangdang Gendhis dengan kekuatan jauh lebih besar bisa dikalahkan. Sri Kertajaya terbunuh dalam perang itu.
Puncak kekuasaan kemudian berhasil ia peroleh, sekaligus menjadi awal kemelut berkepanjangan dan berdarah-darah. Ken Arok menjadi raja pertama Singasari, beribu kota di Tumapel mulai 1222 hingga 1227, dalam waktu hanya lima tahun.
Anusapati (= anak Ken Dedes dari suami pertama, Akuwu Tunggul Ametung) yang tidak bisa menerima kematian ayahnya, atau barangkali oleh alasan yang lain, ia merebut kekuasaan. Dengan meminjam tangan pengalasan dari Batil, yang kepadanya dipinjamkan keris Empu Gandring, Ken Arok dibunuh. Anusapati naik takhta dan memimpin negara lumayan lama, selama 21 tahun dari tahun 1227 hingga 1248 bergelar Anusanatha.
Akan tetapi, Tohjaya (= anak Ken Arok buah perkawinannya dengan Ken Umang) tidak bisa menerima kematian ayahnya. Melalui tipu daya adu jago di sebuah pasar, Anusapati dibunuh. Anusapati dicandikan di Kidal. Tohjaya menggantikan naik takhta, menjadi raja yang ternyata tidak lebih dari setahun pada 1248.
Kematian berbalas kematian masih berlanjut. Ranggawuni (= anak Anusapati) menabuh genderang perang bahu-membahu dengan saudara sepupunya, Mahisa Cempaka (= anak Mahisa Wonga Teleng). Mereka melakukan serbuan hingga Tohjaya harus melarikan diri terbirit-birit dan mati dibunuh oleh pengusung tandunya sendiri.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, menyelenggarakan pemerintahan atas Singasari secara bersama-sama. Ranggawuni bergelar Sri Jayawisnuwardhana, sementara Mahisa Cempaka bergelar Ratu Angabhaya atau juga disebut Narasinghamurti. Pemerintahan kakak beradik ini lumayan lama dan tenteram mencapai 20 tahun, yaitu sejak 1248 hingga 1268. Sri Jayawisnuwardhana meninggal di Mandaragiri 1268 dan dicandikan sebagai Siwa di Jayaghu.
Raja Singasari berikutnya adalah Kertanegara, anak Ranggawuni yang ngelar (= melebarkan kekuasaan) jajahan hingga ke Sumatera, Pahang, Bakalapura, dan Gurun. Baginda Kertanegara yang memimpin negeri selama 24 tahun, yaitu sejak 1268 hingga 1292 memiliki enam orang anak, empat di antaranya dikawinkan semua dengan Raden Wijaya (dari perkawinannya dengan Bajra Dewi, Kertanegara mempunyai 6 orang anak, masing-masing SriWiswarupa Kumara, Tribhuana, Narendraduhita, Pradnya Paramita, Gayatri, dan anak bungsu yangdikawinkan dengan Ardaraja).
Mengapa Kertanegara demikian menyayangi Raden Wijaya sampai keempat anak perempuannya dinikahkan semua dengannya? Hal itu tidak lain karena Raden Wijaya adalah anak dari Lembu Tal, sementara Lembu Tal adalah anak Mahisa Cempaka. Mahisa Cempaka adalah sepupu ayahanda Sri Kertanegara sendiri.
Singasari runtuh karena serbuan Raja Jayakatwang dari Gelang-Gelang, yang rupanya masih menyimpan dendam negara leluhurnya, Kediri, pernah dihancurkan. Serbuan Jayakatwang ini dilakukan tepat ketika Singasari dalam keadaan kosong. Jayakatwang mampu menusuk pada saat yang tepat karena petunjuk bekas pejabat istana, Wiraraja (= juga bernama Banyak Wide dan Arya Adikara) yang kecewa karena dilorot jabatannya sebagai demang oleh Raja Kertanegara dan menduduki jabatan sebagai bupati di Sumenep.
Raden Wijaya yang berhasil memanfaatkan tentara dari Mongol untuk menggilas Jayakatwang, mendadak melakukan tikaman ketika pasukan Mongol tidak siap, dan sisanya kembali berlayar pulang ke negerinya.
Raden Wijaya mendirikan negeri baru yang diberi nama Wilwatika, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Majapahit. Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada tanggal 15 bulan Karttika dalam sengkala Ri Purneng Karttikamasa Pancadasi (= tahun 1215 saka atau bertepatan 12 november1923) bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana yang memerintah selama 16 tahun sejak 1293 hingga 1309. Sepanjang perjalanan pemerintahan itu, bukan berarti Raden Wijaya melaluinya tanpa gejolak karena ketidakpuasan dari orang-orang yang semula mendukungnya mengemuka dalam bentuk makar.
Ranggalawe (= anak Arya Wiraraja) tercatat dalam Kidung Ranggalawe yang entah siapa penulisnya, meneriakkan dendang pemberontakan. Ia lakukan itu akibat merasa kecewa karena Nambi diangkat menjadi patih amangkubumi, padahal Ranggalawe merasa perjuangan Nambi dan sumbangsihnya untuk Majapahit belum ada apa-apanya dibanding apa yang ia lakukan, sementara ia hanya diberi jabatan sebagai adipati di Tuban. Patih amangkubumi adalah jabatan yang terhormat karena ia orang kedua setelah raja, sementara adipati meski membawahi sebuah wilayah yang cukup luas, kedudukan itu masih kalah bobot dari jabatan mahapatih.
Dengan pasukan berkekuatan segelar sepapan, Nambi menyerang Tuban. Nambi yang duduk di atas kuda bernama Brahma Cikur dihadapi Lawe yang duduk di atas kuda kesayangannya bernama Nila Ambara yang juga disebut Mega Lamat. Namun, kekhawatiran Nyai Mertaraga dan Nyai Tirtawati, dua orang istri Lawe menjadi kenyataan. Ranggalawe mati bukan oleh Nambi, namun justru Kebo Anabrang yang memberangus nyawanya. Sementara itu, Kebo Anabrang mati di tangan Sora (= pejabat penting di Majapahit, sahabat Ranggalawe), yang tidak bisa menerima kematian Ranggalawe yang demikian besar sumbangan perjuangannya pada Majapahit. Kebo Anabrang meninggalkan seorang anak bernama Kebo Taruna atau Kebo Anabrang Taruna yang menurut Undang-Undang Kutaramanawa (= Kitab Undang-Undang Majapahit, sekarang semacam KUHP) punya hak untuk menuntut balas kematian ayahnya. Menurut undang-undang tersebut, Lembu Sora bisa dihukum mati. Salah satu ayat Kitab Kutaramanawa menyebut siapa yang melakukan pembunuhan, sebagai hukumannya ia harus dibunuh. Mahapati (= sosok pejabat penting di Majapahit, S. Tidjab, pengarang drama Tutur Tinular memberinya nama Ramapati) memanfaatkan itu sebagai bahan fitnahnya. Lembu Sora yang amat berpeluang menjadi pesaing nafsunya berada di sasaran bidiknya.
Kematian Ranggalawe memang layak ditangisi setidaknya oleh Nyai Mertaraga dan Nyai Tirtasari, yang memutuskan bunuh diri untuk menemani suaminya. Arya Adikara atau Banyak Wide yang juga bernama Arya Wiraraja sangat kecewa atas kematian putra kesayangannya. Ia memutuskan menghadap Sang Prabu untuk menagih janji. Dahulu ketika Raden Wijaya terbirit-birit meminta perlindungan ke Sumenep, ia berjanji kelak akan membagi dua kerajaan dengan Wiraraja. Raden Wijaya memenuhi janji itu dengan menyerahkan wilayah negara bagian timur ke selatan hingga pantai yang memuat tiga juru. Sejak itu Arya Adikara berdiri sendiri sebagai raja di Lumajang dan tidak harus menghadap raja.
Usai persoalan Ranggalawe, ketenangan pemerintahan Majapahit kembali terusik. Kali ini yang melakukan makar adalah Lembu Sora, yang terpaksa berhadapan dengan kekuatan Majapahit karena hasutan Mahapati yang merasa Lembu Sora merupakan batu sandungan mimpinya menggapai jabatan mahapatih. Tarikh saka 1222 atau masehi 1300, pemberontakan itu terangkai dalam Kidung Sorandaka yang merupakan padanan kata dari Andakasora atau Lembu Sora. Dalam peristiwa itu, Sora, Gajah Biru, dan Juru Demung gugur. Berhasil siasat Mahapati dalam menggapai mimpi-mimpinya.
Tindakan makar masih akrab dengan Majapahit. Ketika pemerintahan bergeser ke tangan Jayanegara, justru Patih Nambi, orang yang mestinya tidak mungkin melakukan pemberontakan terpaksa mengangkat senjata. Nambi memberontak hanyalah korban dari gelegak nafsu Mahapati yang amat ingin menduduki jabatan mahapatih. Nambi dihasut, raja juga dihasut, Mahapati menyebar fitnah ke sana sini, menyudutkan Nambi yang terpaksa harus membangun benteng di Pajarakan, memperkuat kekuatan di Ganding dan Lumajang. Namun, tanpa ampun Sang Prabu Jayanegara yang terhasut fitnah Mahapati menggilasnya.
Lalu Ra Kuti….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar