Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara
(Chapter 1)
Duka membayang di kaki langit, duka sekali lagi membungkus Majapahit.
Ada banyak hal yang dicatat Pancaksara (= nama asli Prapanca, penulis Negarakertagama), banyak sekali. Kesedihan kali ini terjadi bagai pengulangan peristiwa sembilan belas tahun yang lalu, yang ditulisnya berdasar kisah yang dituturkan ayahnya, Samenaka, karena ketika peristiwa itu terjadi Pancaksara masih belum bisa dibilang dewasa.
Kala itu tahun 1309. Segenap rakyat berkumpul di alun-alun. Semua berdoa, apa pun warna agamanya, apakah Siwa, Buddha maupun Hindu. Semua arah perhatian ditujukan dalam satu pandang, ke Purawaktra yang tidak dijaga terlampau ketat. Segenap prajurit bersikap sangat ramah kepada siapa pun karena memang demikian sikap keseharian mereka. Lebih dari itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama, oleh duka mendalam atas gering (= sakit) yang diderita Kertarajasa Jayawardhana (= gelar Raden Wijaya setelah menjadi raja).
Segenap kawula yang mencintai rajanya memang amat berharap raja akan sembuh dan kembali memimpin negara menuju kejayaan yang lebih bercahaya dan cemerlang. Akan tetapi, Hyang Widdi mempunyai kehendak lain. Napas Sang Prabu makin tersengal, tarikannya kian tersendat, kesadarannya makin berkurang seiring sakit yang diderita yang tak tersembuhkan. Para tabib yang didatangkan untuk menyembuhkan Sang Prabu angkat tangan tanda menyerah.
Kalagemet (= satu-satunya anak lelaki keturunan Raden Wijaya, kelak bergelar Sri Jayanegara) yang ketika itu masih bocah, berdiri bersandar tiang saka dan terlihat pucat, sementara kegelisahan terbaca jelas dari wajah para ibundanya. Ibu Permaisuri Tribhuaneswari (= nama lengkapnya Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuaneswari, istri pertama Raden Wijaya yang didudukkan sebagai permaisuri) menelungkupkan wajah di sudut pembaringan dengan tangan kanan tidak henti-hentinya membusai rambut ikal Sang Prabu. Cinta Permaisuri kepada Raja demikian besar dan mendalam sehingga bayangan perpisahan yang akan terjadi demikian menakutkan. Bagaimana tidak, perjalanan hidup yang dijalani bersama terlalu banyak menyimpan cerita. Dimulai ketika Singasari tidak bisa dipertahankan lagi akibat gempuran Kediri di bawah Jayakatwang, Sang Prabu Kertanegara yang melihat negara mustahil dipertahankan menyerahkan keselamatan anak-anaknya kepada Raden Wijaya. Pontang-panting Raden Wijaya mengatur penyelamatan meloloskan diri. Lalu, disusul perjuangan berikutnya yang tak kalah berat, mendirikan negara baru di tanah Tarik hingga akhirnya menjadi negara Majapahit yang bisa memberikan ketenteraman dan kemakmuran kepada segenap rakyatnya. Terlalu banyak kenangan yang sulit dilupakan.
Beku di sebelahnya, Ibu Ratu Narendraduhita (= nama lengkapnya Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, istri kedua Raden Wijaya), duduk termangu dengan tatapan mata tak beralih dari raut muka suaminya. Pandangan matanya kosong tidak bercahaya, dibalut cemas membayangkan perpisahan sejati akan terjadi. Di arah kaki Sang Prabu, Ibu Ratu Pradnya Paramita (= nama lengkapnya Sri Jayendradewi Dyah Dewi Pradnya Paramita, istri ketiga Raden Wijaya) berlinang air mata dan berulang kali menyeka pipi dalam upaya kerasnya berdamai dengan diri sendiri. Meski Ibu Ratu Pradnya Paramita telah berusaha mendamaikan diri, apa yang ia lakukan bukanlah pekerjaan yang gamp ang, terbaca amat jelas kecemasan itu dari komat-kamit di mulutnya dan tangannya yang selalu gemetar.
Berhadapan dengan Ibu Ratu Narendraduhita, Ibu Ratu Rajapatni Gayatri (= nama lengkapnya Sri Jayendradewi Dyah Dewi Gayatri, istri keempat Raden Wijaya, kepadanya melekat sebutan Rajapatni, juga dipanggil sebagai Ratu Biksuni) yang dalam setahun terakhir mempersiapkan diri menjadi seorangbiksuni, justru terlihat amat tenang, tidak tampak kesedihan di wajahnya. Ibu Ratu Gayatri sangat sadar bahwa pada dasarnya kematian merupakan pintu gerbang menuju nirwana yang kedatangannya tidak perlu ditangisi. Pada suatu tingkat kesadaran, kematian justru harus disambut dengan kebahagiaan, toh kematian akan menimpa siapa saja, juga raja. Itu sebabnya, Ibu Ratu Gayatri selalu menampakkan raut wajah yang sangat bersih, raut muka ikhlas. Segenap abdi perempuan sangat dekat dengan Ibu Ratu Gayatri. Namun, kedekatan itu berbalut rasa amat hormat dan segan.
Duduk berseberangan dengan Permaisuri Tribhuaneswari, Stri Tinuhweng Pura (= gelar yang diberikan Raden Wijaya kepada Dara Petak, istri kelimanya karena memberi keturunan laki-laki yang berarti ”istri yang dituakan di pura”) tak bisa menghapus jejak kesedihan yang amat mendalam. Awal kisah perjalanan hidupnya yang semula berasal dari Swarna Bumi, anak dari Prabu Maulia Warma Dewa yang negaranya ditaklukkan dan menjadi perempuan boyongan untuk kemudian diperistri oleh Raja, setidaknya dari suami yang lambat laun dicintainya itu terlahir keturunan yang sangat berpeluang menjadi raja karena merupakan satusatunya anak lelaki, Kalagemet. Demikian besar cintanya kepada Sang Prabu, cinta yang tumbuh sedikit demi sedikit lalu menjadi bergumpalgumpal, Stri Tinuhweng Pura merasa amat pantas menemani Sang Prabu kembali menghadap Sang Maha Pencipta andaikata sakit yang dideritanya berujung ke kematian.
Pancaksara mencatat semua yang didongengkan ayahnya itu dan diguratkan ke berlembar-lembar rontal (= berasal dari dua kata ron dan tal, ron berarti daun, merupakan lembaran daun tal yang digunakan sebagai alat mencatat). Pancaksara juga mencatat warna kesedihan yang serupa yang terpancar dari wajah segenap kawula yang melakukan pepe (= unjuk rasa) di alun-alun. Akan tetapi, pepe kali ini dilakukan justru untuk mendoakan kesembuhan rajanya yang sangat dikasihi bukan pepe yang dilatari unjuk rasa atas nama ketidakpuasan. Sedih itu sungguh bisa dibaca dari wajah-wajah gelisah, dari segala keluh kesah.
”Aku rela bertukar tempat,” kala itu seseorang terdengar berbicara. ”Biar aku sajalah yang menderita sakit sebagai penukar, asal Sang Prabu sembuh.”
Dan ketika bende Kiai Samudra dipukul bertalu, tangis serentak membuncah. Ayunan pada bende yang getar suaranya mampu menggapai sudut-sudut kota merupakan isyarat yang sangat dipahami. Gelegar bende dengan nada satu demi satu, namun berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran merupakan pertanda Sang Prabu mangkat. Semua orang yang mendengar isyarat itu merasa denyut jantungnya berhenti berdetak.
Di bilik pribadinya, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana yang ketika muda sangat dikenal dengan sebutan Raden Wijaya membeku. Empat dari lima istrinya meledakkan tangis dan hanya Rajapatni Gayatri yang tidak. Ratu Gayatri masih tetap dengan wajah sejuknya, dengan lembut berusaha menenangkan kakak-kakaknya dan berusaha mengatasi Dara Petak yang pingsan kehilangan kesadaran diri. Ratu Gayatri juga menghibur Kalagemet yang terhenyak bersandar dinding dengan mulut bergetar komat-kamit tak jelas mengucapkan apa.
Pancaksara mencatat semua itu! Peristiwa itu terjadi tahun saka 1231. Layon dimakamkan di dalam pura yang disebut pemakaman Antahpura. Sebagai penghormatan untuknya didirikanlah arca Jina di dalam pura dan Siwa di Simping. Beberapa hari kemudian, Kalagemet yang telah menyandang kedudukan sebagai kumararaja (= putra mahkota atau Pangeran Pati) dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahandanya.
1309 dendang duka ditembangkan nglangut (= sedih, menyedihkan) karena Sang Prabu Sri Kertarajasa Jayawardhana wafat. Raja Wilwatikta (= nama lain Majapahit, artinya buah maja yang pahit) itu dicandikan sebagai Siwa di Simping dan sebagai Buddha di Antahpura (= nama kompleks makam kerabat istana, diduga Antahpura berada di Trowulan) dengan arca perwujudan berbentuk Harihara atau Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Hanya berselang beberapa tahun setelah itu, Kalagemet kembali menahan sesak di dada karena ibunda tercinta yang melahirkannya terkabul apa yang diinginkan. Hyang Widdi berkenan mencabut nyawanya dan memberi kesempatan kepada Dara Petak yang oleh suaminya diberi gelar Stri Tinuhweng Pura, menyusul ke alam langgeng.
Setelah kematian-kematian itu, adakah kini pencandian yang sama harus disiapkan pula? Kini, 1328, hampir dua puluh tahun setelah kematian Prabu Wijaya, atau sembilan tahun setelah pemberontakan Ra Kuti pada 1319.
Berita itu masih simpang siur dan belum diketahui kejelasannya. Namun, berita itu tak kalah menyesakkan dada dibanding apa yang terjadi beberapa tahun lampau yang demikian sempurna dalam menyesakkan dada. Hal itu terjadi merupakan sisa-sisa ulah para Dharmaputra Winehsuka (= gelar yang diberikan Sri Jayanegara kepada Ra Kuti dan teman-temannya, mereka adalah Rakrian Kuti, Rakrian Tanca, Rakrian Wedeng, Rakrian Banyak, Rakrian Pangsa, Rakrian Yuyu, dan Rakrian Semi) yang masih tertinggal jejak lukanya meski telah sembilan tahun lewat, melalui perbuatan Ra Tanca yang tidak bisa melupakan dendam lama.
1319, didorong oleh nafsunya untuk menjadi orang paling utama di Majapahit, Ra Kuti memimpin anak buahnya mengangkat senjata menyebabkan Raja harus terusir ke Bedander, sebuah tempat yang sangat jauh dari Ibukota Majapahit, menusuk masuk ke wilayah Pegunungan Kapur Utara. Pemberontakan yang dilakukan Ra Kuti menimbulkan penderitaan luar biasa, perang menyebabkan banyak korban nyawa mati sia-sia, banyak istri yang mendadak menjadi janda, banyak anak kehilangan orang tuanya, atau orang tua kehilangan anaknya, kisah tentang perempuan diperkosa riuh terjadi di mana-mana.
Beruntung keadaan kacau-balau itu berhasil diredam. Pasukan Bhayangkara memberi sumbangsih sangat besar dalam memberikan serangan balik yang sangat mematikan. Petualangan sangat berdarah itu berakhir dengan kematian Ra Kuti dan segenap pengikutnya, Ra Wedeng, Ra Banyak, Ra Yuyu, dan Ra Pangsa tumpes tapis (= ditumpas tanpa sisa) kecuali Ra Tanca yang pilih menyerahkan diri. Peristiwa makar ini melambungkan nama Gajah Mada yang hanya menyandang pangkat bekel, tetapi karena keberanian dan kecerdasan otaknya mampu menyelamatkan Raja dari marabahaya dan mengembalikannya ke tampuk pimpinan negara.
Istana yang dijarah telah dikembalikan, dampar kencana (= kursi emas, tempat duduk raja) kembali diduduki Sri Jayanegara, yang pada namanya melekat abiseka Sri Sundarapandyadewanama Maharajabhiseka Sri Wisnuwangsa. Selama nawa surya (= sembilan tahun matahari) setelah Rakrian Kuti melakukan makar, Kalagemet berjuang sekuat tenaga memulihkan luka-luka lama, bekerja keras mengembalikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Berita itu masih simpang siur karena belum ada keterangan resmi yang diberikan istana. Semua masih kabur. Kawula yang berkerumun di alun-alun, mereka yang berteduh di bawah rindangnya pohon bramastana (= pohon beringin), pohon tanjung, dan kesara yang berjajar di sepanjang jalan, atau yang sambil duduk di sudut alun-alun sibuk menduga dan dengan sabar tetap menunggu bagaimana kabar terakhir raja mereka.
Awalnya tersebar berita Kalagemet Sri Jayanegara jatuh sakit, dengan jenis sakit yang tidak luar biasa. Kasak-kusuk yang berkembang, sakit yang diderita Jayanegara hanya berupa bisul. Namun, bisul itu mengeram di pantat Sang Prabu sehingga sangat mengganggu duduk dan tidurnya.
Rakrian Tanca yang diampuni, Rakrian Tanca yang sembilan tahun terakhir menekuk wajah amat dalam, kepadanya dipercayakan tugas mengobati Sang Prabu, membebaskannya dari penderitaan yang mengganggu ketenangan duduknya, membebaskan dari sakit yang berkepanjangan.
Akan tetapi, Ra Tanca, orang yang dianggap paling mumpuni dalam olah pengobatan memanfaatkan kesempatan yang diberikan kepadanya. Oleh sebuah alasan Rakrian Tanca sangat membenci Jayanegara. Maka, ketika ia diundang ke istana diminta mengobati Raja, digunakan kesempatan itu untuk mendendangkan tembang kematian. Bukan ramuan obat yang diminumkan kepada Sri Jayanegara, tetapi racun yang amat mematikan.
Jayanegara menggeliat kesakitan, dan itu sudah menjadi alasan yang amat kuat bagi Gajah Mada untuk membenamkan senjatanya tepat ke jantung Rakrian Tanca. Terhenyak Ra Tanca yang memang dengan sengaja menunggu kematiannya, kematian yang disambutnya dengan tersenyum.
Prajurit muda yang sebenarnya menyimpan masa depan cerah itu menghadang sekarat dengan mendekap gagang keris yang membenam tepat di tengah dadanya, merobek sebagian otot-otot yang mengikat jantungnya sekaligus menebarkan kekuatan racun yang mengalir mengikuti darah. Ra Tanca memejam dengan tubuh jatuh terduduk di bawah pandangan ngeri dari mereka yang hadir di ruangan itu. Ra Tanca sekali lagi tersenyum, yang diarahkan senyum mesra itu kepada Dyah Wiyat (= anak perempuan kedua Raden Wijaya yang terlahir dari Ratu Gayatri ) yang berdiri berdampingan dengan calon suaminya. Dyah Wiyat, sangat memahami apa makna senyum dan tatapan mata yang dilontarkan Ra Tanca kepadanya. Sebuah ungkapan perasaan yang membuatnya kebingungan, sebagaimana Dyah Wiyat tidak berhasil memahami perasaan apa sebenarnya yang bersembunyi jauh di lipatan hatinya karena terlalu sulit melupakan wajah tampan itu. Mengapa pula Rakrian Tanca selalu menyelinap di mimpi-mimpinya, mengapa pula ia sering merasa rindu kepadanya. Sekarat yang dialami laki-laki itu secara nyata menimbulkan rasa nyeri di kedalaman kalbunya.
Lelaki itu, Dharmaputra Winehsuka Rakrian Tanca mulai memejam mata. Ra Tanca sadar, kematian akan segera tiba, tetapi Ra Tanca tidak telaten menunggu kedatangannya. Ra Tanca yang merasa masih menyimpan kekuatan segera memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menggoyang gagang keris di genggaman tangannya supaya mempercepat sekaratnya. Lirikan mesra kembali dilontarkan kepada kekasih pujaan hatinya, juga dilontarkan pandangan redup itu kepada Gajah Mada yang berdiri membeku di depannya.
”Bagaskara manjer kawuryan (= matahari terang benderang, kalimat sandi yang digunakan Ra Tanca, baca buku Gajah Mada I),” gumam Ra Tanca berasal dari sisa tenaga yang masih ada.
Rakrian Tanca ambruk terguling dan geliat tubuhnya adalah saatsaat nyawa oncat dari tubuhnya. Darah berwarna merah kehitaman yang mengucur tidak seberapa deras menggenangi lantai merupakan tanda bahwa keris penghias pinggang milik Gajah Mada itu amat beracun karena racun warangan (= arsenikum) yang dilulurkan ke senjatanya sangat pekat. Racun warangan itu sendiri dibuat oleh Rakrian Tanca atas permintaan Gajah Mada. Meski Rakrian Tanca kebal terhadap racun ular, ia tidak kebal terhadap racun warangan.
Apa yang diucapkan Ra Tanca menyebabkan Gajah Mada terhenyak. Gajah Mada amat terkejut karena kalimat sandi itu keluar justru dari mulut Rakrian Tanca. Sembilan tahun lamanya Gajah Mada terganggu oleh teka-teki itu. Kini rahasia itu terjawab dari mulut yang segera mengatup.
”Jadi, kamu orangnya?” Gajah Mada melontarkan rasa kagetnya.
Namun, Ra Tanca tidak mungkin menjawab pertanyaan itu karena nyawanya telah melesat melayang, membubung meninggalkan raganya yang tak bisa ditempati. Kematian Ra Tanca dengan beban rasa sakit luar biasa menyebabkan matanya membeliak. Gajah Mada segera mengusap mata itu agar memejam.
Di sudut ruang, Dyah Wiyat menundukkan wajah berusaha sekuat tenaga menguasai diri. Kematian Ra Tanca, sangat tidak dimengerti mengapa memberi guncangan luar biasa di dadanya.
Perhatian segenap yang hadir di ruangan itu segera beralih kepada Jayanegara. Racun yang diminum mulai menjalar. Gajah Mada layak merasa cemas karena ia mengenal dengan baik siapa Rakrian Tanca, bagaimana kemampuan yang dimiliki tabib berusia amat muda itu. Rakrian Tanca gemar bermain-main dengan racun paling mematikan, racun warangan yang dibalurkan ke keris dan ujung tombak maupun trisula, yang setiap goresan dijamin akan menjadi pembuka pintu gerbang kematian. Ra Tanca juga gemar bermain-main dengan racun berbagai jenis ular mematikan, mulai dari jenis bandotan sampai weling. Ra Tanca sendiri kebal terhadap racun-racun itu karena selalu menelan empedunya, sebaliknya tidak dengan Jayanegara.
Racun yang diminumkan kepada Raja Majapahit itu tentu merupakan jaminan, korban tak mungkin selamat. Namun, Gajah Mada tidak mau menyerah. Meski tidak seperti Ra Tanca yang amat menguasai ilmu pengobatan, walau sedikit Gajah Mada memahami bagian-bagian paling sederhana, seperti tindakan apa yang harus dilakukan untuk menawarkan racun yang telanjur masuk ke tubuh. Perintah diberikan kepada seorang prajurit untuk segera mencari kelapa muda dari jenis degan ijo (= kelapa muda hijau) yang diyakini mampu menawarkan berbagai jenis racun dengan menyerapnya.
Mayat Ra Tanca yang digotong keluar itulah yang dengan segera mengagetkan para kawula yang melakukan pepe di alun-alun. Sejak senja hingga petang ratusan orang berkumpul, bersama-sama mendoakan agar raja muda anak Raden Wijaya itu segera sembuh. Akan tetapi, yang tidak terduga terjadi. Arah angin mendadak berubah.
”Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya seorang prajurit yang belum mengetahui duduk persoalannya.
”Ra Tanca diminta mengobati Baginda, tetapi Ra Tanca malah meracun Sang Prabu,” jawab prajurit yang lain.
”Ha?” beberapa prajurit yang menggerombol terkejut.
Mayat Ra Tanca yang digotong keluar memang menimbulkan kecemasan, yang tak ubahnya penyakit lalu menular, menular dan menular, menulari siapa saja, menular dari prajurit ke prajurit, menular ke para abdi dalem istana, menular kepada beberapa orang yang menggerombol tak jauh dari Purawaktra dan dengan segera berubah menjadi ledakan yang amat menggelisahkan siapa pun. Berita mengejutkan itu dengan segera menjalar ke sudut-sudut kotaraja. Nyaris semua kawula yang tinggal di balik dinding batas kotaraja terhenyak. Kawula yang tinggal di luar dinding batas kotaraja ada juga yang mendengar berita itu.
Pancaksara mencatat semua kejadian itu, sebagaimana dahulu Pancaksara mencatat lewat barisan pupuh kakawin yang ditulis berdasar tuturan Samenaka yang amat ia cintai dan hormati, tentang bagaimana kesedihan sewarna menjalar saat dulu Prabu Kertarajasa Jayawardhana mangkat. Pancaksara mencatat semua kegelisahan. Pancaksara mencatat warna langit yang berubah menjadi lembayung dan kali ini ketika kematian Jayanegara terjadi, langit pun berwarna lembayung. Pancaksara juga mencatat tembang paling menyayat yang didendangkan seorang perempuan tua di kaki Bajang Ratu (= pintu gerbang Istana Majapahit bagian selatan). Perempuan itu timpuh (= duduk bersimpuh).
”Duh Gusti kang Maha Agung, mugi paringa kawelasan dhumateng sinuwun rajaning nagari, paringana panjang yuswanira, linuputna saking dosa (= Ya Tuhan Yang Maha Besar, berilah belas asih kepada raja negeri, berilah panjang usianya, bebaskan dari dosa-dosa).”
Manakala Pancaksara, sang juru warta itu mendekat, teraduk hatinya melihat mata perempuan itu berkaca-kaca. Sungguh, itu merupakan pertanda betapa perempuan itu sangat mencintai rajanya.
Lembayung langit berubah menjadi gelap malam dengan bintangbintang bertaburan di nabastala (= langit). Ratusan orang tetap bertahan menunggu kabar terakhir bagaimana keadaan raja mereka. Mereka tetap bertahan dengan duduk hanya beralas rerumputan atau bersandar pagar ringin kurung yang memagari pohon bramastana berukuran amat besar di tengah alun-alun. Tanpa ada yang memerintah, beberapa orang menyalakan obor untuk menerangi. Mereka yang membaca pertanda alam makin gelisah karena sepasang burung gagak hinggap di salah satu dahan, dengan suaranya yang melengking menyebabkan siapa pun yang mendengar merasa tidak nyaman. Seseorang memungut sebuah batu berniat mengusir burung itu, tetapi seorang laki-laki tua pembaca pertanda alam melarang ia melakukannya.
Di bilik pribadi Sri Jayanegara, keadaan raja muda itu makin mengenaskan. Sekujur tubuhnya berubah menjadi biru karena bulirbulir darahnya mulai pecah. Ibu Ratu Tribhuaneswari dengan penuh rasa sayang membusai rambut ikalnya, sementara duduk di sebelahnya Ibu Ratu Narendraduhita memegang tangan Jayanegara. Meski Jayanegara bukan anak kandungnya, kasih sayang yang diberikan Ibu Ratu Narendraduhita tak ubahnya seperti kepada anak kandung sendiri.
Ibu Ratu Pradnya Paramita tak kalah berduka. Dengan pandangan mata cemas, perempuan bertubuh langsing itu menumpangkan tangan kanannya di dada Jayanegara. Sementara itu, Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang sempat terguncang oleh kematian Ra Tanca yang terjadi di depan mata kembali berusaha membersihkan hati. Ratu Gayatri berusaha mengembalikan cara pandangnya bahwa apa yang terjadi itu telah tersurat, menjadi pepesthen (=takdir) yang telah digariskan Sang Pencipta semesta jagat raya.
Wajah Dyah Wiyat dan Sri Gitarja (= anak perempuan pertama buah perkawinan Raden Wijaya dengan Gayatri, Sri Gitarja adalah kakak kandung Dyah Wiyat) pucat pias melihat secara langsung napas Jayanegara yang kian melemah. Gajah Mada yang merasa keadaan Kalagemet tidak akan tertolong menunggu saat itu terjadi dengan jantung yang berlarian. Demikian tegangnya Gajah Mada sehingga tidak sadar gelung keling-nya (= rambut yang diikat/digelung melingkar di atas kepala)terurai. Di belakang mereka masing-masing, berdiri Cakradara (= calon/kelak suami Sri Gitarja) dan Kudamerta Breng Pamotan (= Kuda Amreta, calon/kelak suami Dyah Wiyat, kelak ia akan bergelar Bre Wengker Wijaya Rajasa Hyang Parameswara) dengan raut muka tak kalah pucat.
Pintu yang kemudian terbuka adalah untuk memberi kesempatan kepada Arya Tadah (= memiliki nama lain Empu Krewes), Mahapatih Amangkubumi Majapahit yang ingin mengetahui bagaimana keadaan rajanya. Tadah datang di saat yang tepat. Arya Tadah tidak datang terlambat untuk sekadar menjadi saksi. Bergegas Arya Tadah yang tua itu mendekat, gemetar tangannya menyentuh kaki Sang Prabu.
Dan, suara bende Kiai Samudra itu…. Suara bende itu siapa pun tahu artinya. Senyap yang memberangus adalah nestapa bagi siapa pun yang mencintai Raja. Suaranya yang menggelegar terdengar sampai ke sudut-sudut kotaraja. Bende yang dipukul satu-satu, berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran, merupakan pengulangan apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya manakala raja pertama Majapahit yang sangat dicintai dan dihormati mangkat.
Senyap! Udara terasa hampa dan mengiris. Isak tangis meledak di istana. Segenap emban yang tinggal di bangsal khusus yang disediakan untuk mereka mengucurkan air mata. Kematian Sri Jayanegara sungguh merupakan kematian yang tidak diduga. Sakit Sang Prabu adalah sakit biasa. Ada yang menyebut badannya diserang demam panas, ada juga yang mengatakan Sri Jayanegara sakit di saluran kencingnya, ada yang menyebut Sang Prabu menderita bisul atau wudun di pantat. Pendek kata, sakit Sang Prabu hanya sakit biasa. Siang sebelumnya Sang Prabu bahkan masih sempat berjalan-jalan mengelilingi istana memerhatikan kerusakan di bangunan pendapa istana sudut utara. Kedekatan emban dengan rajanya menyebabkan sangat mungkin seorang abdi bercanda dengan rajanya. Kini petang harinya, Raja tiba-tiba tiada. Laksana petir menggelegar ketika langit benderang warta itu menyengat gendang telinga.
”Sang Prabu,… Sang Prabu,” seorang emban bertubuh gemuk menangis amat sesenggukan.
Emban gemuk itu bahkan semaput merepotkan beberapa prajurit yang terpaksa harus menggotongnya menepi.
Di antara para Ibu Ratu yang terpukul hatinya, hanya Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang bisa berpikir sangat tenang. Ratu Gayatri yang terlihat masih cantik karena kebersihan hatinya itu sibuk menenteramkan kakaknya, Ibu Ratu Tribhuaneswari yang amat terpukul. Sebenarnyalah dalam mencintai Sri Jayanegara, Tribhuaneswari merasa seperti dirinya yang melahirkan Kalagemet. Ketika dahulu Dara Petak masih hidup, Tribhuaneswari menyayangi maru (= perempuan lain yang diperistri suami, dimadu) itu tidak ubahnya menyayangi adik-adiknya. Sama sekali tak ada rasa cemburu di hatinya, tidak merasa iri meski Dara Petak dinaikkan derajatnya setara permaisuri dengan sebutan Stri Tinuhweng Pura, yang bermakna istri yang dituakan di pura.
Gajah Mada terbangun dari bingungnya ketika Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang berdiri bersebelahan dengan Mahapatih Arya Tadah menyentuh tangannya. Gajah Mada segera mengambil sikap dan memberikan penghormatannya.
”Gajah Mada,” ucap Ratu Gayatri dengan suara sangat tenang.
”Hamba, Tuan Putri Ratu,” jawab Gajah Mada.
”Janganlah kau kehilangan akal, berpikirlah dengan tenang dan bertindaklah. Janganlah kau ikut-ikutan bingung sampai tidak tahu apa yang harus dikerjakan,” ucap Gayatri sambil mengalungkan selempang samir di lehernya.
Samir itu bukanlah sembarang samir karena dengan selempang samir itu Gajah Mada memegang kekuasaan luar biasa untuk mengatur penyelenggaraan pemakaman Raja. Selempang samir itu juga menjadi pertanda segenap prajurit apa pun pangkatnya harus tunduk pada perintahnya.
Arya Tadah tidak mau ketinggalan. Arya Tadah melepas lencana kepatihan yang dikenakan dan menyematkan lencana itu ke dada kanan Gajah Mada. Siapa pun yang berhadapan dengan Gajah Mada tak ubahnya berhadapan dengan Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah sendiri.
Gajah Mada mengangguk dan segera memberikan sembah penghormatannya. Gajah Mada mengarahkan pandangan matanya ke arah Mahapatih Tadah, barangkali ada perintah lain. Akan tetapi, Arya Tadah hanya mengangguk. Seumur-umur belum pernah Gajah Mada melihat mata Arya Tadah basah. Namun, kematian Kalagemet berhasil memaksa mata kakek tua itu membasah. Mahapatih Arya Tadah memang layak kehilangan. Di sepanjang perjalanan hidupnya, ia mendampingi Sri Jayanegara sedari masih bocah, dimulai jauh ketika Arya Tadah belum menjabat mahapatih. Bagi Arya Tadah yang uzur, Jayanegara tak ubahnya seperti anak kandungnya sendiri. Kematian Jayanegara melalui pembunuhan itu benar-benar mengiris hatinya.
Sembilan tahun yang lalu, ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Ra Kuti, Gajah Mada masih berpangkat bekel ketika memimpin pasukan Bhayangkara melakukan penyelamatan atas Sri Jayanegara melalui pengawalan luar biasa dengan menempuh perjalanan amat jauh menusuk ke Pegunungan Kapur Utara. Karena jasa-jasa yang luar biasa itulah Gajah Mada dibebaskan dari tugas memimpin Bhayangkara dan kepadanya dianugerahkan jabatan sebagai patih di Jiwana mendampingi Sri Gitarja sebagai pemangku wilayah Kahuripan. Terakhir Gajah Mada menduduki jabatan patih di Daha mendampingi Breh Daha atau Dyah Wiyat yang menjadi pemangku wilayah itu.Tugas berat memimpin dan membina pasukan Bhayangkara selanjutnya diserahkan kepada Gajah Enggon yang juga memiliki nama Gajah Pradamba. Untuk kedudukan itu, pangkat Gajah Enggon dinaikkan menjadi senopati. Melihat sejarah di belakang, pasukan Bhayangkara tidak mungkin melupakan Gajah Mada. Pengaruh Gajah Mada yang sangat kuat dan mengakar di pasukan itu menyebabkan Gajah Enggon serasa berada di balik bayang-bayangnya.
Gajah Pradamba terpilih menjadi pimpinan pasukan Bhayangkara karena ia tidak mempunyai cacat. Sebaliknya, Gagak Bongol yang sangat berkeinginan menjadi orang pertama di pasukan pilihan itu terpaksa hanya bisa gigit jari. Sembilan tahun yang lalu Gagak Bongol melakukan kesalahan karena telah menghukum mati seorang prajurit Bhayangkara yang tidak bersalah. Kekeliruan itulah yang harus ditebusnya hingga kurun waktu yang panjang. Gagak Bongol mestinya harus berhadapan dengan Undang-Undang Kutaramanawa, namun Jayanegara telah menyelamatkannya. Tuduhan terhadap Gagak Bongol dapat dipatahkan dengan meletakkan kesalahannya pada Bango Lumayang atau Singa Parepen. Singa Parepen yang bersalah, bukannya Gagak Bongol.
”Perintah apa yang akan kauberikan kepadaku, Kakang Gajah?”
Patih Daha Gajah Mada mengarahkan perhatiannya ke kegelapan malam yang pekat, telinganya menangkap suara burung gagak di kejauhan.
”Siagakan pasukan dan siapkan apa pun yang dibutuhkan untuk pemakaman Sri Baginda,” Gajah Mada memberikan perintahnya.
”Tandya! (= siap)” jawab pimpinan pasukan Bhayangkara Gajah Enggon sigap.
Istana berduka. Bende Kiai Samudra terus dipukul tiada henti menjadi sebuah isyarat tanpa henti, memberi tahu siapa pun dan di mana pun bahwa Baginda Sri Jayanegara telah tiada. Segenap penduduk kotaraja dari ujung ke ujung sambung-menyambungkan warta itu lewat mulut ke mulut. Mereka yang saling berpapasan di sawah, atau para lelaki yang baru turun dari hutan mencari kayu saling bertukar warta. Sementara itu, siapa pun yang belum menerima kabar mengenai kematian Raja segera mengetahui jawabnya melalui suara gelegar bende utama yang terus dipukul tidak ada hentinya.
Seorang blandong (= penebang kayu) bergegas pulang dari mencari kayu di hutan mengusung gelisah di dadanya. Kepada seorang tetangga ia bergegas menumpahkan rasa kaget dan penasarannya.
”Itu isyarat kematian?” tanya lelaki itu.
”Ya,” jawab tetangganya.
”Siapa meninggal?” lanjut petani yang baru pulang dari sawah.
”Sinuhun (= raja) mangkat.”
Betapa tegang petani itu, wajahnya menebal.
”Sinuhun Jayanegara?”
”Ya.”
Petani itu terhenyak. Oleh alasan yang hanya ia sendiri yang mengetahui, petani itu jatuh terduduk dan menangis sesenggukan, bahkan meraung-raung.
Gelegar Kiai Samudra masih berkumandang menyapa petang, menyapa siapa saja. Tak hanya gelegar Kiai Samudra tanda isyarat yang dilepas dari istana, ketika sebuah sangkakala ditiup melengking disusul beberapa anak panah berapi dikirim memanjat langit, segenap prajurit yang melihat isyarat itu bergegas mengartikannya.
Manakala lima buah panah sanderan membubung dengan membawa suara melengking memekakkan telinga maka segera dijawab oleh melesatnya anak panah sanderan pula dari beberapa tempat sebagai jawaban, tanda memahami perintah itu. Tambur ditabuh berderap di belakang dinding Sentanaraja (= kompleks perumahan kerabat istana). Tambur juga dipukul di Jatipasar (= nama tempat tak jauh dari lapangan Bubat), orang-orang yang berniat menggiring pulang ternak gembalaannya dari lapangan Bubat (= nama tanah lapang) terhenyak.
Isyarat panah sanderan susul-menyusul berbaur sangkakala dan tambur itu dengan segera diterjemahkan dengan tegas dan jelas. Beberapa perintah segera disalurkan ke bangsal-bangsal kesatrian dan Sentanaraja yang terletak di arah barat laut istana, di arah kiri lapangan depan bersebelahan dengan parit pelindung istana sekaligus segera menyibukkan balai pertemuan para kesatria yang bersebelahan di sisi kanan Tatag Rambat Bale Manguntur (= balairung istana). Dengan ayunan langkah lebih lebar dari biasanya, para prajurit berpakaian menurut ciri-ciri kesatuan masing-masing bergegas menuju alun-alun. Ketika segenap pasukan mulai memenuhi alun-alun terdengar aba-aba yang diucapkan dan dijawab sangat sigap.
”Para wadyabala sumadya, tandya! (= pasukan siap, gerak!)” terdengar sebuah perintah.
”Tandya,” terdengar jawaban serentak.
Diterangi cahaya obor dan dalam balutan kabut yang mulai turun, Gajah Mada segera menempatkan diri siap memberikan sesorah (=pidato). Segenap prajurit yang berasal dari gabungan tiga kesatuan yang pernah bertikai tidak ada yang merasa keberatan Gajah Mada menempatkan diri di tempat yang sangat terhormat itu. Segenap pasukan siap menyimak. Para kawula yang berdiri di luar barisan ikut mendengarkan.
Gajah Mada yang semula hanya berpangkat bekel terbukti mampu melakukan tindakan yang luar biasa. Melalui kecerdasannya, sembilan tahun lalu Ra Kuti dibuat pontang-panting kebingungan dalam memburu Jayanegara. Di puncak kemelut yang terjadi, Gajah Mada bahkan berhasil membungkam Ra Kuti dan anak buahnya untuk selamanya.
Lebih dari itu, kini Gajah Mada sedang mengenakan selempang samir khusus yang diterima dari Ratu Gayatri, yang merupakan pertanda ia mempunyai hak memberikan sesorah dalam pertemuan di alun-alun itu. Dari bentuk lencana dan warnanya yang gemerlap kekuningan, siapa pun tahu Gajah Mada juga sedang mengemban kekuasaan Mahapatih Arya Tadah.
Pada jarak yang sebenarnya tidak seberapa jauh, berbaur dengan segenap kawula yang berduka, Pancaksara mempersiapkan alat tulisnya.
”Hari ini kita kehilangan besar, Baginda Prabu Sri Sundarapandyadewanama Maharajabhiseka Sri Wisnuwangsa, mangkat!”
Bergetar alun-alun itu karena Patih Daha Gajah Mada berbicara langsung pada pokok persoalan.
”Rasanya seperti tidak ada manfaatnya berhasil menyelamatkan Tuanku Sri Jayanegara ke Bedander nawa surya lalu jika akhirnya tangan jahat itu tetap berhasil menjangkau. Ra Tanca diampuni, Ra Tanca yang selama ini dianggap kembali bersih hatinya terbukti masih ada bulu-bulu yang tumbuh di jantungnya. Ra Tanca yang diminta mengobati Tuanku Baginda justru meracunnya. Apa yang menimpa Baginda setidaknya harus menjadi renungan bagi siapa pun untuk jangan cobacoba melakukan tindakan makar, yang terbukti petualangan macam itu menyengsarakan siapa saja".
Kata-kata Gajah Mada itu sangat menggema, berdentang-dentang di segenap dada yang tidak seorang pun membantah kebenarannya.
”Atas nama istana, juga atas perintah Mahapatih Arya Tadah, dengan ini aku perintahkan untuk mengibarkan bendera gula kelapa (= sebutan untuk bendera merah putih) setengah tiang selama sepekan penuh sebagai pertanda berkabung. Sebarkan warta duka pralaya (= kematian) atas mangkatnya Sang Prabu ke segenap sudut pelosok. Terakhir, aku perintahkan untuk dilakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait pemakaman Sri Baginda. Perintahku cukup jelas untuk dikerjakan.”
Sebagai sebuah negara besar dan berdaulat, Majapahit memiliki panji-panji lambang negara, di antaranya adalah bendera gula kelapa yang bermakna sang saka merah putih. Di samping gula kelapa, Majapahit memiliki cihna (= lambang negara) yang dibatik di atas lembaran kain dengan corak gringsing lobheng lewih laka (= pola geringsing merah), yang melatari gambar buah wilwa (=buah maja). Pembuatan lambang berlatar corak geringsing yang demikian memiliki cerita tersendiri. Dahulu ketika Raden Wijaya berusaha menyelamatkan diri dari kejaran Mahisa Mundarang, pimpinan prajurit Kediri yang menyertai rajanya, Jayakatwang, yang menyerbu Singasari, semangat Raden Wijaya dan para pengikutnya, antara lain Lembu Sora, Gajahpagon, Mahisa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Wirota Wiragati, Kebo Kapetengan serta Pamandana kembali meluap ketika mengenakan cawat bercorak geringsing. Dengan semangat yang berkobar amat makantar-kantar (=lidah api yang menjilat-jilat), Raden Wijaya kembali menyerbu masuk ke Singasari. Akan halnya lambang buah maja yang terletak di tengah-tengah, berlatar peristiwa yang terjadi ketika dilakukan babat hutan Tarik. Dalam keadaan lapar, lelah, dan menderita, salah seorang prajurit mendapat buah maja. Akan tetapi, buah tersebut terasa pahit ketika dimakan, peristiwa yang kemudian menjadi sumber gagasan penamaan negara menjadi Majapahit.
Gajah Mada tidak merasa perlu berbicara berlama-lama, apa yang diucapkan Ratu Gayatri cukup sekali dan sudah jelas. Kepada Senopati Gajah Enggon, pimpinan pasukan Bhayangkara yang baru, Gajah Mada menyerahkan kendali untuk mengatur segala macam tindakan dan langkah yang perlu diambil. Gajah Mada berbalik dan melangkah kembali ke istana. Akan tetapi, sebuah sapa menghentikan langkahnya.
”Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan kepadamu, Gajah Mada,” suara orang itu dari jarak yang cukup jelas.
Gajah Mada amat mengenali suara itu, juga mengenali orangnya.
”Ikut aku,” jawabnya pendek.
Orang yang meminta perhatian Gajah Mada, ia adalah Pancaksara, segera bergegas menyamakan lebar langkah kaki mengikuti Gajah Mada masuk ke dalam lingkungan istana. Pancaksara mengira Gajah Mada akan membawanya masuk ke istana, ternyata dugaan itu salah. Gajah Mada justru mengajaknya naik ke atas dinding yang bersebelahan dengan Purawaktra. Dari tempat itu alun-alun terlihat dengan jelas. Gajah Mada menebarkan pandangan.
”Ceritakan apa yang terjadi,” kata juru warta Pancaksara.
Gajah Mada menoleh dan memandang wajah Pancaksara menembus benaknya sampai ke lipatan-lipatan yang paling dalam. Pancaksara tidak tersenyum. Ketika Gajah Mada masih lama terdiam, itu bukan berarti ia harus mengulangi pertanyaan yang diajukan. Pancaksara memilih menunggu.
”Umur berapa kamu saat Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana mangkat?” Gajah Mada justru melontarkan pertanyaan.
”Kenapa?” balas Pancaksara.
”Jawab saja pertanyaanku,” lanjut Gajah Mada.
”Kurasa kita sebaya, ketika itu aku bocah sekali. Karena masih bocah aku tentu belum menggagas menulis Negarakertagama, namun aku mencatat suasananya sama seperti yang kita rasakan kali ini. Bau udaranya, bahkan angin yang bertiup.”
Gajah Mada kembali terdiam beberapa jenak.
”Apa yang kamu tulis?” tanya Gajah Mada.
”Negarakertagama,” jawab Pancaksara. ”Aku telah menyiapkan judulnya, tetapi penulisannya sendiri masih membutuhkan waktu panjang. Negarakertagama bagiku merupakan mimpi yang harus kuwujudkan. Butuh waktu dan kesabaran, saat ini aku baru memulai.”
Pandangan Gajah Mada menerawang, menggerataki wajah langit yang bopeng-bopeng karena mendung di sana sini, sementara bintang-bintang tak tampak gemerlapnya.
”Sama, saat itu aku juga masih bocah. Berapa tahun kejadian itu berlalu?”
Pancaksara memejamkan mata untuk membuat hitungan-hitungan.
”Sembilan belas tahun,” jawabnya tenang.
”Sembilan belas tahun. Ternyata Sang Prabu memerintah dalam waktu yang sependek itu,” gumam Gajah Mada.
Ternyata Pancaksara tak sependapat dengan ucapan Gajah Mada.
”Salah,” balas Pancaksara, ”Tuanku Jayanegara menyelenggarakan pemerintahan tiga tahun lebih lama. Mendiang Baginda Raden Wijaya hanya enam belas tahun. Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabumi (= gelar Ken Arok, Raja Singasari pertama), pendiri wangsa Rajasa justru hanya lima tahun.”
Gajah Mada terheran-heran.
”Prabu Ken Arok memerintah hanya lima tahun?” letupnya.
”Ya,” jawab Pancaksara. ”Umur Singasari yang perjalanannya penuh cerita makar itu hanya tujuh puluh tahun. Hanya seumur manusia.”
Gajah Mada menghirup udara yang amat menyesakkan dadanya dalam-dalam. Serasa masih kurang diulanginya lagi perbuatan itu. Dari ketinggian dinding Purawaktra, Gajah Mada bisa menyaksikan kesibukan yang terjadi di alun-alun. Jika ia berbalik ke belakang, kesibukan di lingkungan Bale Manguntur terlihat dengan amat jelas. Gajah Mada yang menyapu pandangan matanya bisa menandai pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi di Antahpura. Dari tempatnya berada, puncak gerbang Bajang Ratu terlihat dengan jelas. Sementara jika Gajah Mada berbalik, lima batang pohon bramastana dengan daun lebat layak dicurigai sebagai sarang hantu. Bocah-bocah meyakini itu karena bila orang tua mereka kesulitan menidurkan anaknya, diceritakanlah tentang hantu-hantu penghuni beringin yang gemar berburu bocah yang tidak mau tidur.
”Akan ada sebuah pertanyaan yang segera bergayut di benak siapa pun setelah kematian ini,” Pancaksara berbicara datar, tetapi merupakan sebuah pancingan yang menggelitik.
Pertanyaan itu sejatinya telah menggoda isi kepala Gajah Mada. Telah terlontar beberapa saat sebelum Jayanegara menghela tarikan napas pamungkasnya dan amat diyakini racun yang diminumkan Ra Tanca tidak akan bisa dilawan.
”Kautahu jawabnya?” lanjut Pancaksara.
Patih Daha Gajah Mada menggeleng.
”Aku tidak tahu,” jawabnya.
Pancaksara meraba kening.
”Apakah makin jaya negeri ini dipimpin oleh seorang perempuan?” Pancaksara menambah.
Gajah Mada menerawang. Ketika memejam mata yang segera terbayang adalah wajah Sekar Kedaton Sri Gitarja dan Dyah Wiyat. Apakah salah satu dari mereka yang akan dinobatkan menjadi raja menggantikan saudaranya. Kemungkinan itu ada, namun bisa pula para Ibu Ratu, orang-orang yang paling berhak mengambil keputusan punya jawaban lain.
”Tak masalah,” jawab Gajah Mada, ”yang penting harus didampingi oleh sosok yang memiliki tulang punggung kuat. Ke depan Majapahit harus makin kuat, jaya, dan cemerlang.”
Pancaksara beberapa jenak terdiam.
”Kau benar,” ucapnya. ”Putri Shima, Ratu Kalingga, seorang perempuan, tetapi ia memiliki ketegaran dan kekuatan tidak kalah dari laki-laki.”
Dengan segera arah perhatian Pancaksara tertuju pada anak perempuan mendiang Raden Wijaya yang terlahir dari Ratu Gayatri. Dalam usianya yang masih belia, Sri Gitarja telah menyandang kedudukan yang tidak bisa dianggap ringan. Kepadanya telah diserahkan tugas untuk menjadi wali pemangku Istana Kahuripan. Itu sebabnya, padanya melekat gelar Breh Kahuripan. Dengan kedudukannya sebagai anak yang lebih tua, adakah dengan demikian Sri Gitarja harus melaksanakan tugas amat berat mengemban kedudukan sebagai ratu menyelenggarakan pemerintahan?
Gajah Mada melihat, Sri Gitarja terlalu rapuh untuk tugas raksasa itu. Dalam beberapa hal, adiknya justru mempunyai sikap yang lebih menonjol, lebih tegar, dan lebih tegas, semua sikap yang diperlukan oleh seorang raja yang padanya melekat sifat sabda pandita ratu (= sabda raja yang bermuatan hukum, harus benar-benar mencerminkan kebenaran dan keadilan).
”Sekar Kedaton Sri Gitarja mempunyai calon suami,” pancing Pancaksara.
Patih Daha Gajah Mada berbalik dan menatap lawan bicaranya dalam-dalam. Akan tetapi, dengan segera bayangan wajah Cakradara bagai hadir di depan matanya. Apa yang diucapkan Pancaksara memang harus dicermati. Apabila kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintahan diberikan kepada Sri Gitarja, lantas bagaimana peran Cakradara? Mampukah Cakradara menjadi tulang punggung mendampingi istrinya menyelenggarakan pemerintahan? Pun sebaliknya, bila Dyah Wiyat yang dipilih menggantikan kakaknya, apakah Kudamerta mampu menjadi tulang punggung yang kukuh sebagai sandaran istrinya?
Memang sama sekali tak ada masalah dengan Sri Gitarja maupun Dyah Wiyat, pun tidak ada masalah dengan Cakradara yang juga dipanggil dengan sebutan Cakreswara Breh Singasari yang nantinya akan menjadi suami Sri Gitarja. Demikian pula tak ada masalah dengan Kudamerta yang kelak akan memperistri Dyah Wiyat. Yang mencemaskan Gajah Mada justru pihak-pihak yang berada di belakang kedua kesatria itu. Telik sandi pasukan Bhayangkara telah menemukan jejak aneh gerakan mereka. Hal yang menyebabkan Gajah Mada dengan kedudukan sebagai patih di Daha harus meninggalkan tempatnya kembali ke Ibukota Majapahit. Dengan memanfaatkan telik sandi pasukan Bhayangkara yang kini dipimpin Senopati Gajah Enggon dan saluran yang lain, Gajah Mada berusaha mencari jawab teka-teki yang mencemaskan itu.
Setelah jasa besar yang diperbuatnya ketika melakukan penyelamatan Raja dari makar yang dilakukan Ra Kuti, Gajah Mada memperoleh anugerah dengan kedudukan sebagai Patih Kahuripan di Jiwana yang dilanjutkan anugerah itu dengan menjabat patih di Daha. Pangkat yang melekat di samirnya bukan lagi seorang bekel. Meski tugas dan jabatannya tidak di kotaraja, nyatanya Gajah Mada lebih banyak berada di kotaraja karena akhir-akhir ini Sri Jayanegara lebih banyak membutuhkan tenaga prajurit muda itu. Pergerakan aneh dari sekelompok orang memaksa Sri Jayanegara memanggil bekas pimpinan Bhayangkara yang amat didengar pendapat dan sarannya.
Gajah Mada bergeser bersandar dinding.
”Tolong ceritakan bagaimana sebenarnya silsilah raja-raja yang memerintah negeri ini,” ucapnya sambil memejamkan mata.
”Ahh, bukankah kau sudah tahu?” jawab Pancaksara.
”Aku ingin lebih meyakinkan, tolong,” balas Gajah Mada.
(Chapter 1)
Duka membayang di kaki langit, duka sekali lagi membungkus Majapahit.
Ada banyak hal yang dicatat Pancaksara (= nama asli Prapanca, penulis Negarakertagama), banyak sekali. Kesedihan kali ini terjadi bagai pengulangan peristiwa sembilan belas tahun yang lalu, yang ditulisnya berdasar kisah yang dituturkan ayahnya, Samenaka, karena ketika peristiwa itu terjadi Pancaksara masih belum bisa dibilang dewasa.
Kala itu tahun 1309. Segenap rakyat berkumpul di alun-alun. Semua berdoa, apa pun warna agamanya, apakah Siwa, Buddha maupun Hindu. Semua arah perhatian ditujukan dalam satu pandang, ke Purawaktra yang tidak dijaga terlampau ketat. Segenap prajurit bersikap sangat ramah kepada siapa pun karena memang demikian sikap keseharian mereka. Lebih dari itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama, oleh duka mendalam atas gering (= sakit) yang diderita Kertarajasa Jayawardhana (= gelar Raden Wijaya setelah menjadi raja).
Segenap kawula yang mencintai rajanya memang amat berharap raja akan sembuh dan kembali memimpin negara menuju kejayaan yang lebih bercahaya dan cemerlang. Akan tetapi, Hyang Widdi mempunyai kehendak lain. Napas Sang Prabu makin tersengal, tarikannya kian tersendat, kesadarannya makin berkurang seiring sakit yang diderita yang tak tersembuhkan. Para tabib yang didatangkan untuk menyembuhkan Sang Prabu angkat tangan tanda menyerah.
Kalagemet (= satu-satunya anak lelaki keturunan Raden Wijaya, kelak bergelar Sri Jayanegara) yang ketika itu masih bocah, berdiri bersandar tiang saka dan terlihat pucat, sementara kegelisahan terbaca jelas dari wajah para ibundanya. Ibu Permaisuri Tribhuaneswari (= nama lengkapnya Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuaneswari, istri pertama Raden Wijaya yang didudukkan sebagai permaisuri) menelungkupkan wajah di sudut pembaringan dengan tangan kanan tidak henti-hentinya membusai rambut ikal Sang Prabu. Cinta Permaisuri kepada Raja demikian besar dan mendalam sehingga bayangan perpisahan yang akan terjadi demikian menakutkan. Bagaimana tidak, perjalanan hidup yang dijalani bersama terlalu banyak menyimpan cerita. Dimulai ketika Singasari tidak bisa dipertahankan lagi akibat gempuran Kediri di bawah Jayakatwang, Sang Prabu Kertanegara yang melihat negara mustahil dipertahankan menyerahkan keselamatan anak-anaknya kepada Raden Wijaya. Pontang-panting Raden Wijaya mengatur penyelamatan meloloskan diri. Lalu, disusul perjuangan berikutnya yang tak kalah berat, mendirikan negara baru di tanah Tarik hingga akhirnya menjadi negara Majapahit yang bisa memberikan ketenteraman dan kemakmuran kepada segenap rakyatnya. Terlalu banyak kenangan yang sulit dilupakan.
Beku di sebelahnya, Ibu Ratu Narendraduhita (= nama lengkapnya Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, istri kedua Raden Wijaya), duduk termangu dengan tatapan mata tak beralih dari raut muka suaminya. Pandangan matanya kosong tidak bercahaya, dibalut cemas membayangkan perpisahan sejati akan terjadi. Di arah kaki Sang Prabu, Ibu Ratu Pradnya Paramita (= nama lengkapnya Sri Jayendradewi Dyah Dewi Pradnya Paramita, istri ketiga Raden Wijaya) berlinang air mata dan berulang kali menyeka pipi dalam upaya kerasnya berdamai dengan diri sendiri. Meski Ibu Ratu Pradnya Paramita telah berusaha mendamaikan diri, apa yang ia lakukan bukanlah pekerjaan yang gamp ang, terbaca amat jelas kecemasan itu dari komat-kamit di mulutnya dan tangannya yang selalu gemetar.
Berhadapan dengan Ibu Ratu Narendraduhita, Ibu Ratu Rajapatni Gayatri (= nama lengkapnya Sri Jayendradewi Dyah Dewi Gayatri, istri keempat Raden Wijaya, kepadanya melekat sebutan Rajapatni, juga dipanggil sebagai Ratu Biksuni) yang dalam setahun terakhir mempersiapkan diri menjadi seorangbiksuni, justru terlihat amat tenang, tidak tampak kesedihan di wajahnya. Ibu Ratu Gayatri sangat sadar bahwa pada dasarnya kematian merupakan pintu gerbang menuju nirwana yang kedatangannya tidak perlu ditangisi. Pada suatu tingkat kesadaran, kematian justru harus disambut dengan kebahagiaan, toh kematian akan menimpa siapa saja, juga raja. Itu sebabnya, Ibu Ratu Gayatri selalu menampakkan raut wajah yang sangat bersih, raut muka ikhlas. Segenap abdi perempuan sangat dekat dengan Ibu Ratu Gayatri. Namun, kedekatan itu berbalut rasa amat hormat dan segan.
Duduk berseberangan dengan Permaisuri Tribhuaneswari, Stri Tinuhweng Pura (= gelar yang diberikan Raden Wijaya kepada Dara Petak, istri kelimanya karena memberi keturunan laki-laki yang berarti ”istri yang dituakan di pura”) tak bisa menghapus jejak kesedihan yang amat mendalam. Awal kisah perjalanan hidupnya yang semula berasal dari Swarna Bumi, anak dari Prabu Maulia Warma Dewa yang negaranya ditaklukkan dan menjadi perempuan boyongan untuk kemudian diperistri oleh Raja, setidaknya dari suami yang lambat laun dicintainya itu terlahir keturunan yang sangat berpeluang menjadi raja karena merupakan satusatunya anak lelaki, Kalagemet. Demikian besar cintanya kepada Sang Prabu, cinta yang tumbuh sedikit demi sedikit lalu menjadi bergumpalgumpal, Stri Tinuhweng Pura merasa amat pantas menemani Sang Prabu kembali menghadap Sang Maha Pencipta andaikata sakit yang dideritanya berujung ke kematian.
Pancaksara mencatat semua yang didongengkan ayahnya itu dan diguratkan ke berlembar-lembar rontal (= berasal dari dua kata ron dan tal, ron berarti daun, merupakan lembaran daun tal yang digunakan sebagai alat mencatat). Pancaksara juga mencatat warna kesedihan yang serupa yang terpancar dari wajah segenap kawula yang melakukan pepe (= unjuk rasa) di alun-alun. Akan tetapi, pepe kali ini dilakukan justru untuk mendoakan kesembuhan rajanya yang sangat dikasihi bukan pepe yang dilatari unjuk rasa atas nama ketidakpuasan. Sedih itu sungguh bisa dibaca dari wajah-wajah gelisah, dari segala keluh kesah.
”Aku rela bertukar tempat,” kala itu seseorang terdengar berbicara. ”Biar aku sajalah yang menderita sakit sebagai penukar, asal Sang Prabu sembuh.”
Dan ketika bende Kiai Samudra dipukul bertalu, tangis serentak membuncah. Ayunan pada bende yang getar suaranya mampu menggapai sudut-sudut kota merupakan isyarat yang sangat dipahami. Gelegar bende dengan nada satu demi satu, namun berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran merupakan pertanda Sang Prabu mangkat. Semua orang yang mendengar isyarat itu merasa denyut jantungnya berhenti berdetak.
Di bilik pribadinya, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana yang ketika muda sangat dikenal dengan sebutan Raden Wijaya membeku. Empat dari lima istrinya meledakkan tangis dan hanya Rajapatni Gayatri yang tidak. Ratu Gayatri masih tetap dengan wajah sejuknya, dengan lembut berusaha menenangkan kakak-kakaknya dan berusaha mengatasi Dara Petak yang pingsan kehilangan kesadaran diri. Ratu Gayatri juga menghibur Kalagemet yang terhenyak bersandar dinding dengan mulut bergetar komat-kamit tak jelas mengucapkan apa.
Pancaksara mencatat semua itu! Peristiwa itu terjadi tahun saka 1231. Layon dimakamkan di dalam pura yang disebut pemakaman Antahpura. Sebagai penghormatan untuknya didirikanlah arca Jina di dalam pura dan Siwa di Simping. Beberapa hari kemudian, Kalagemet yang telah menyandang kedudukan sebagai kumararaja (= putra mahkota atau Pangeran Pati) dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahandanya.
1309 dendang duka ditembangkan nglangut (= sedih, menyedihkan) karena Sang Prabu Sri Kertarajasa Jayawardhana wafat. Raja Wilwatikta (= nama lain Majapahit, artinya buah maja yang pahit) itu dicandikan sebagai Siwa di Simping dan sebagai Buddha di Antahpura (= nama kompleks makam kerabat istana, diduga Antahpura berada di Trowulan) dengan arca perwujudan berbentuk Harihara atau Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Hanya berselang beberapa tahun setelah itu, Kalagemet kembali menahan sesak di dada karena ibunda tercinta yang melahirkannya terkabul apa yang diinginkan. Hyang Widdi berkenan mencabut nyawanya dan memberi kesempatan kepada Dara Petak yang oleh suaminya diberi gelar Stri Tinuhweng Pura, menyusul ke alam langgeng.
Setelah kematian-kematian itu, adakah kini pencandian yang sama harus disiapkan pula? Kini, 1328, hampir dua puluh tahun setelah kematian Prabu Wijaya, atau sembilan tahun setelah pemberontakan Ra Kuti pada 1319.
Berita itu masih simpang siur dan belum diketahui kejelasannya. Namun, berita itu tak kalah menyesakkan dada dibanding apa yang terjadi beberapa tahun lampau yang demikian sempurna dalam menyesakkan dada. Hal itu terjadi merupakan sisa-sisa ulah para Dharmaputra Winehsuka (= gelar yang diberikan Sri Jayanegara kepada Ra Kuti dan teman-temannya, mereka adalah Rakrian Kuti, Rakrian Tanca, Rakrian Wedeng, Rakrian Banyak, Rakrian Pangsa, Rakrian Yuyu, dan Rakrian Semi) yang masih tertinggal jejak lukanya meski telah sembilan tahun lewat, melalui perbuatan Ra Tanca yang tidak bisa melupakan dendam lama.
1319, didorong oleh nafsunya untuk menjadi orang paling utama di Majapahit, Ra Kuti memimpin anak buahnya mengangkat senjata menyebabkan Raja harus terusir ke Bedander, sebuah tempat yang sangat jauh dari Ibukota Majapahit, menusuk masuk ke wilayah Pegunungan Kapur Utara. Pemberontakan yang dilakukan Ra Kuti menimbulkan penderitaan luar biasa, perang menyebabkan banyak korban nyawa mati sia-sia, banyak istri yang mendadak menjadi janda, banyak anak kehilangan orang tuanya, atau orang tua kehilangan anaknya, kisah tentang perempuan diperkosa riuh terjadi di mana-mana.
Beruntung keadaan kacau-balau itu berhasil diredam. Pasukan Bhayangkara memberi sumbangsih sangat besar dalam memberikan serangan balik yang sangat mematikan. Petualangan sangat berdarah itu berakhir dengan kematian Ra Kuti dan segenap pengikutnya, Ra Wedeng, Ra Banyak, Ra Yuyu, dan Ra Pangsa tumpes tapis (= ditumpas tanpa sisa) kecuali Ra Tanca yang pilih menyerahkan diri. Peristiwa makar ini melambungkan nama Gajah Mada yang hanya menyandang pangkat bekel, tetapi karena keberanian dan kecerdasan otaknya mampu menyelamatkan Raja dari marabahaya dan mengembalikannya ke tampuk pimpinan negara.
Istana yang dijarah telah dikembalikan, dampar kencana (= kursi emas, tempat duduk raja) kembali diduduki Sri Jayanegara, yang pada namanya melekat abiseka Sri Sundarapandyadewanama Maharajabhiseka Sri Wisnuwangsa. Selama nawa surya (= sembilan tahun matahari) setelah Rakrian Kuti melakukan makar, Kalagemet berjuang sekuat tenaga memulihkan luka-luka lama, bekerja keras mengembalikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Berita itu masih simpang siur karena belum ada keterangan resmi yang diberikan istana. Semua masih kabur. Kawula yang berkerumun di alun-alun, mereka yang berteduh di bawah rindangnya pohon bramastana (= pohon beringin), pohon tanjung, dan kesara yang berjajar di sepanjang jalan, atau yang sambil duduk di sudut alun-alun sibuk menduga dan dengan sabar tetap menunggu bagaimana kabar terakhir raja mereka.
Awalnya tersebar berita Kalagemet Sri Jayanegara jatuh sakit, dengan jenis sakit yang tidak luar biasa. Kasak-kusuk yang berkembang, sakit yang diderita Jayanegara hanya berupa bisul. Namun, bisul itu mengeram di pantat Sang Prabu sehingga sangat mengganggu duduk dan tidurnya.
Rakrian Tanca yang diampuni, Rakrian Tanca yang sembilan tahun terakhir menekuk wajah amat dalam, kepadanya dipercayakan tugas mengobati Sang Prabu, membebaskannya dari penderitaan yang mengganggu ketenangan duduknya, membebaskan dari sakit yang berkepanjangan.
Akan tetapi, Ra Tanca, orang yang dianggap paling mumpuni dalam olah pengobatan memanfaatkan kesempatan yang diberikan kepadanya. Oleh sebuah alasan Rakrian Tanca sangat membenci Jayanegara. Maka, ketika ia diundang ke istana diminta mengobati Raja, digunakan kesempatan itu untuk mendendangkan tembang kematian. Bukan ramuan obat yang diminumkan kepada Sri Jayanegara, tetapi racun yang amat mematikan.
Jayanegara menggeliat kesakitan, dan itu sudah menjadi alasan yang amat kuat bagi Gajah Mada untuk membenamkan senjatanya tepat ke jantung Rakrian Tanca. Terhenyak Ra Tanca yang memang dengan sengaja menunggu kematiannya, kematian yang disambutnya dengan tersenyum.
Prajurit muda yang sebenarnya menyimpan masa depan cerah itu menghadang sekarat dengan mendekap gagang keris yang membenam tepat di tengah dadanya, merobek sebagian otot-otot yang mengikat jantungnya sekaligus menebarkan kekuatan racun yang mengalir mengikuti darah. Ra Tanca memejam dengan tubuh jatuh terduduk di bawah pandangan ngeri dari mereka yang hadir di ruangan itu. Ra Tanca sekali lagi tersenyum, yang diarahkan senyum mesra itu kepada Dyah Wiyat (= anak perempuan kedua Raden Wijaya yang terlahir dari Ratu Gayatri ) yang berdiri berdampingan dengan calon suaminya. Dyah Wiyat, sangat memahami apa makna senyum dan tatapan mata yang dilontarkan Ra Tanca kepadanya. Sebuah ungkapan perasaan yang membuatnya kebingungan, sebagaimana Dyah Wiyat tidak berhasil memahami perasaan apa sebenarnya yang bersembunyi jauh di lipatan hatinya karena terlalu sulit melupakan wajah tampan itu. Mengapa pula Rakrian Tanca selalu menyelinap di mimpi-mimpinya, mengapa pula ia sering merasa rindu kepadanya. Sekarat yang dialami laki-laki itu secara nyata menimbulkan rasa nyeri di kedalaman kalbunya.
Lelaki itu, Dharmaputra Winehsuka Rakrian Tanca mulai memejam mata. Ra Tanca sadar, kematian akan segera tiba, tetapi Ra Tanca tidak telaten menunggu kedatangannya. Ra Tanca yang merasa masih menyimpan kekuatan segera memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menggoyang gagang keris di genggaman tangannya supaya mempercepat sekaratnya. Lirikan mesra kembali dilontarkan kepada kekasih pujaan hatinya, juga dilontarkan pandangan redup itu kepada Gajah Mada yang berdiri membeku di depannya.
”Bagaskara manjer kawuryan (= matahari terang benderang, kalimat sandi yang digunakan Ra Tanca, baca buku Gajah Mada I),” gumam Ra Tanca berasal dari sisa tenaga yang masih ada.
Rakrian Tanca ambruk terguling dan geliat tubuhnya adalah saatsaat nyawa oncat dari tubuhnya. Darah berwarna merah kehitaman yang mengucur tidak seberapa deras menggenangi lantai merupakan tanda bahwa keris penghias pinggang milik Gajah Mada itu amat beracun karena racun warangan (= arsenikum) yang dilulurkan ke senjatanya sangat pekat. Racun warangan itu sendiri dibuat oleh Rakrian Tanca atas permintaan Gajah Mada. Meski Rakrian Tanca kebal terhadap racun ular, ia tidak kebal terhadap racun warangan.
Apa yang diucapkan Ra Tanca menyebabkan Gajah Mada terhenyak. Gajah Mada amat terkejut karena kalimat sandi itu keluar justru dari mulut Rakrian Tanca. Sembilan tahun lamanya Gajah Mada terganggu oleh teka-teki itu. Kini rahasia itu terjawab dari mulut yang segera mengatup.
”Jadi, kamu orangnya?” Gajah Mada melontarkan rasa kagetnya.
Namun, Ra Tanca tidak mungkin menjawab pertanyaan itu karena nyawanya telah melesat melayang, membubung meninggalkan raganya yang tak bisa ditempati. Kematian Ra Tanca dengan beban rasa sakit luar biasa menyebabkan matanya membeliak. Gajah Mada segera mengusap mata itu agar memejam.
Di sudut ruang, Dyah Wiyat menundukkan wajah berusaha sekuat tenaga menguasai diri. Kematian Ra Tanca, sangat tidak dimengerti mengapa memberi guncangan luar biasa di dadanya.
Perhatian segenap yang hadir di ruangan itu segera beralih kepada Jayanegara. Racun yang diminum mulai menjalar. Gajah Mada layak merasa cemas karena ia mengenal dengan baik siapa Rakrian Tanca, bagaimana kemampuan yang dimiliki tabib berusia amat muda itu. Rakrian Tanca gemar bermain-main dengan racun paling mematikan, racun warangan yang dibalurkan ke keris dan ujung tombak maupun trisula, yang setiap goresan dijamin akan menjadi pembuka pintu gerbang kematian. Ra Tanca juga gemar bermain-main dengan racun berbagai jenis ular mematikan, mulai dari jenis bandotan sampai weling. Ra Tanca sendiri kebal terhadap racun-racun itu karena selalu menelan empedunya, sebaliknya tidak dengan Jayanegara.
Racun yang diminumkan kepada Raja Majapahit itu tentu merupakan jaminan, korban tak mungkin selamat. Namun, Gajah Mada tidak mau menyerah. Meski tidak seperti Ra Tanca yang amat menguasai ilmu pengobatan, walau sedikit Gajah Mada memahami bagian-bagian paling sederhana, seperti tindakan apa yang harus dilakukan untuk menawarkan racun yang telanjur masuk ke tubuh. Perintah diberikan kepada seorang prajurit untuk segera mencari kelapa muda dari jenis degan ijo (= kelapa muda hijau) yang diyakini mampu menawarkan berbagai jenis racun dengan menyerapnya.
Mayat Ra Tanca yang digotong keluar itulah yang dengan segera mengagetkan para kawula yang melakukan pepe di alun-alun. Sejak senja hingga petang ratusan orang berkumpul, bersama-sama mendoakan agar raja muda anak Raden Wijaya itu segera sembuh. Akan tetapi, yang tidak terduga terjadi. Arah angin mendadak berubah.
”Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya seorang prajurit yang belum mengetahui duduk persoalannya.
”Ra Tanca diminta mengobati Baginda, tetapi Ra Tanca malah meracun Sang Prabu,” jawab prajurit yang lain.
”Ha?” beberapa prajurit yang menggerombol terkejut.
Mayat Ra Tanca yang digotong keluar memang menimbulkan kecemasan, yang tak ubahnya penyakit lalu menular, menular dan menular, menulari siapa saja, menular dari prajurit ke prajurit, menular ke para abdi dalem istana, menular kepada beberapa orang yang menggerombol tak jauh dari Purawaktra dan dengan segera berubah menjadi ledakan yang amat menggelisahkan siapa pun. Berita mengejutkan itu dengan segera menjalar ke sudut-sudut kotaraja. Nyaris semua kawula yang tinggal di balik dinding batas kotaraja terhenyak. Kawula yang tinggal di luar dinding batas kotaraja ada juga yang mendengar berita itu.
Pancaksara mencatat semua kejadian itu, sebagaimana dahulu Pancaksara mencatat lewat barisan pupuh kakawin yang ditulis berdasar tuturan Samenaka yang amat ia cintai dan hormati, tentang bagaimana kesedihan sewarna menjalar saat dulu Prabu Kertarajasa Jayawardhana mangkat. Pancaksara mencatat semua kegelisahan. Pancaksara mencatat warna langit yang berubah menjadi lembayung dan kali ini ketika kematian Jayanegara terjadi, langit pun berwarna lembayung. Pancaksara juga mencatat tembang paling menyayat yang didendangkan seorang perempuan tua di kaki Bajang Ratu (= pintu gerbang Istana Majapahit bagian selatan). Perempuan itu timpuh (= duduk bersimpuh).
”Duh Gusti kang Maha Agung, mugi paringa kawelasan dhumateng sinuwun rajaning nagari, paringana panjang yuswanira, linuputna saking dosa (= Ya Tuhan Yang Maha Besar, berilah belas asih kepada raja negeri, berilah panjang usianya, bebaskan dari dosa-dosa).”
Manakala Pancaksara, sang juru warta itu mendekat, teraduk hatinya melihat mata perempuan itu berkaca-kaca. Sungguh, itu merupakan pertanda betapa perempuan itu sangat mencintai rajanya.
Lembayung langit berubah menjadi gelap malam dengan bintangbintang bertaburan di nabastala (= langit). Ratusan orang tetap bertahan menunggu kabar terakhir bagaimana keadaan raja mereka. Mereka tetap bertahan dengan duduk hanya beralas rerumputan atau bersandar pagar ringin kurung yang memagari pohon bramastana berukuran amat besar di tengah alun-alun. Tanpa ada yang memerintah, beberapa orang menyalakan obor untuk menerangi. Mereka yang membaca pertanda alam makin gelisah karena sepasang burung gagak hinggap di salah satu dahan, dengan suaranya yang melengking menyebabkan siapa pun yang mendengar merasa tidak nyaman. Seseorang memungut sebuah batu berniat mengusir burung itu, tetapi seorang laki-laki tua pembaca pertanda alam melarang ia melakukannya.
Di bilik pribadi Sri Jayanegara, keadaan raja muda itu makin mengenaskan. Sekujur tubuhnya berubah menjadi biru karena bulirbulir darahnya mulai pecah. Ibu Ratu Tribhuaneswari dengan penuh rasa sayang membusai rambut ikalnya, sementara duduk di sebelahnya Ibu Ratu Narendraduhita memegang tangan Jayanegara. Meski Jayanegara bukan anak kandungnya, kasih sayang yang diberikan Ibu Ratu Narendraduhita tak ubahnya seperti kepada anak kandung sendiri.
Ibu Ratu Pradnya Paramita tak kalah berduka. Dengan pandangan mata cemas, perempuan bertubuh langsing itu menumpangkan tangan kanannya di dada Jayanegara. Sementara itu, Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang sempat terguncang oleh kematian Ra Tanca yang terjadi di depan mata kembali berusaha membersihkan hati. Ratu Gayatri berusaha mengembalikan cara pandangnya bahwa apa yang terjadi itu telah tersurat, menjadi pepesthen (=takdir) yang telah digariskan Sang Pencipta semesta jagat raya.
Wajah Dyah Wiyat dan Sri Gitarja (= anak perempuan pertama buah perkawinan Raden Wijaya dengan Gayatri, Sri Gitarja adalah kakak kandung Dyah Wiyat) pucat pias melihat secara langsung napas Jayanegara yang kian melemah. Gajah Mada yang merasa keadaan Kalagemet tidak akan tertolong menunggu saat itu terjadi dengan jantung yang berlarian. Demikian tegangnya Gajah Mada sehingga tidak sadar gelung keling-nya (= rambut yang diikat/digelung melingkar di atas kepala)terurai. Di belakang mereka masing-masing, berdiri Cakradara (= calon/kelak suami Sri Gitarja) dan Kudamerta Breng Pamotan (= Kuda Amreta, calon/kelak suami Dyah Wiyat, kelak ia akan bergelar Bre Wengker Wijaya Rajasa Hyang Parameswara) dengan raut muka tak kalah pucat.
Pintu yang kemudian terbuka adalah untuk memberi kesempatan kepada Arya Tadah (= memiliki nama lain Empu Krewes), Mahapatih Amangkubumi Majapahit yang ingin mengetahui bagaimana keadaan rajanya. Tadah datang di saat yang tepat. Arya Tadah tidak datang terlambat untuk sekadar menjadi saksi. Bergegas Arya Tadah yang tua itu mendekat, gemetar tangannya menyentuh kaki Sang Prabu.
Dan, suara bende Kiai Samudra itu…. Suara bende itu siapa pun tahu artinya. Senyap yang memberangus adalah nestapa bagi siapa pun yang mencintai Raja. Suaranya yang menggelegar terdengar sampai ke sudut-sudut kotaraja. Bende yang dipukul satu-satu, berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran, merupakan pengulangan apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya manakala raja pertama Majapahit yang sangat dicintai dan dihormati mangkat.
Senyap! Udara terasa hampa dan mengiris. Isak tangis meledak di istana. Segenap emban yang tinggal di bangsal khusus yang disediakan untuk mereka mengucurkan air mata. Kematian Sri Jayanegara sungguh merupakan kematian yang tidak diduga. Sakit Sang Prabu adalah sakit biasa. Ada yang menyebut badannya diserang demam panas, ada juga yang mengatakan Sri Jayanegara sakit di saluran kencingnya, ada yang menyebut Sang Prabu menderita bisul atau wudun di pantat. Pendek kata, sakit Sang Prabu hanya sakit biasa. Siang sebelumnya Sang Prabu bahkan masih sempat berjalan-jalan mengelilingi istana memerhatikan kerusakan di bangunan pendapa istana sudut utara. Kedekatan emban dengan rajanya menyebabkan sangat mungkin seorang abdi bercanda dengan rajanya. Kini petang harinya, Raja tiba-tiba tiada. Laksana petir menggelegar ketika langit benderang warta itu menyengat gendang telinga.
”Sang Prabu,… Sang Prabu,” seorang emban bertubuh gemuk menangis amat sesenggukan.
Emban gemuk itu bahkan semaput merepotkan beberapa prajurit yang terpaksa harus menggotongnya menepi.
Di antara para Ibu Ratu yang terpukul hatinya, hanya Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang bisa berpikir sangat tenang. Ratu Gayatri yang terlihat masih cantik karena kebersihan hatinya itu sibuk menenteramkan kakaknya, Ibu Ratu Tribhuaneswari yang amat terpukul. Sebenarnyalah dalam mencintai Sri Jayanegara, Tribhuaneswari merasa seperti dirinya yang melahirkan Kalagemet. Ketika dahulu Dara Petak masih hidup, Tribhuaneswari menyayangi maru (= perempuan lain yang diperistri suami, dimadu) itu tidak ubahnya menyayangi adik-adiknya. Sama sekali tak ada rasa cemburu di hatinya, tidak merasa iri meski Dara Petak dinaikkan derajatnya setara permaisuri dengan sebutan Stri Tinuhweng Pura, yang bermakna istri yang dituakan di pura.
Gajah Mada terbangun dari bingungnya ketika Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang berdiri bersebelahan dengan Mahapatih Arya Tadah menyentuh tangannya. Gajah Mada segera mengambil sikap dan memberikan penghormatannya.
”Gajah Mada,” ucap Ratu Gayatri dengan suara sangat tenang.
”Hamba, Tuan Putri Ratu,” jawab Gajah Mada.
”Janganlah kau kehilangan akal, berpikirlah dengan tenang dan bertindaklah. Janganlah kau ikut-ikutan bingung sampai tidak tahu apa yang harus dikerjakan,” ucap Gayatri sambil mengalungkan selempang samir di lehernya.
Samir itu bukanlah sembarang samir karena dengan selempang samir itu Gajah Mada memegang kekuasaan luar biasa untuk mengatur penyelenggaraan pemakaman Raja. Selempang samir itu juga menjadi pertanda segenap prajurit apa pun pangkatnya harus tunduk pada perintahnya.
Arya Tadah tidak mau ketinggalan. Arya Tadah melepas lencana kepatihan yang dikenakan dan menyematkan lencana itu ke dada kanan Gajah Mada. Siapa pun yang berhadapan dengan Gajah Mada tak ubahnya berhadapan dengan Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah sendiri.
Gajah Mada mengangguk dan segera memberikan sembah penghormatannya. Gajah Mada mengarahkan pandangan matanya ke arah Mahapatih Tadah, barangkali ada perintah lain. Akan tetapi, Arya Tadah hanya mengangguk. Seumur-umur belum pernah Gajah Mada melihat mata Arya Tadah basah. Namun, kematian Kalagemet berhasil memaksa mata kakek tua itu membasah. Mahapatih Arya Tadah memang layak kehilangan. Di sepanjang perjalanan hidupnya, ia mendampingi Sri Jayanegara sedari masih bocah, dimulai jauh ketika Arya Tadah belum menjabat mahapatih. Bagi Arya Tadah yang uzur, Jayanegara tak ubahnya seperti anak kandungnya sendiri. Kematian Jayanegara melalui pembunuhan itu benar-benar mengiris hatinya.
Sembilan tahun yang lalu, ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Ra Kuti, Gajah Mada masih berpangkat bekel ketika memimpin pasukan Bhayangkara melakukan penyelamatan atas Sri Jayanegara melalui pengawalan luar biasa dengan menempuh perjalanan amat jauh menusuk ke Pegunungan Kapur Utara. Karena jasa-jasa yang luar biasa itulah Gajah Mada dibebaskan dari tugas memimpin Bhayangkara dan kepadanya dianugerahkan jabatan sebagai patih di Jiwana mendampingi Sri Gitarja sebagai pemangku wilayah Kahuripan. Terakhir Gajah Mada menduduki jabatan patih di Daha mendampingi Breh Daha atau Dyah Wiyat yang menjadi pemangku wilayah itu.Tugas berat memimpin dan membina pasukan Bhayangkara selanjutnya diserahkan kepada Gajah Enggon yang juga memiliki nama Gajah Pradamba. Untuk kedudukan itu, pangkat Gajah Enggon dinaikkan menjadi senopati. Melihat sejarah di belakang, pasukan Bhayangkara tidak mungkin melupakan Gajah Mada. Pengaruh Gajah Mada yang sangat kuat dan mengakar di pasukan itu menyebabkan Gajah Enggon serasa berada di balik bayang-bayangnya.
Gajah Pradamba terpilih menjadi pimpinan pasukan Bhayangkara karena ia tidak mempunyai cacat. Sebaliknya, Gagak Bongol yang sangat berkeinginan menjadi orang pertama di pasukan pilihan itu terpaksa hanya bisa gigit jari. Sembilan tahun yang lalu Gagak Bongol melakukan kesalahan karena telah menghukum mati seorang prajurit Bhayangkara yang tidak bersalah. Kekeliruan itulah yang harus ditebusnya hingga kurun waktu yang panjang. Gagak Bongol mestinya harus berhadapan dengan Undang-Undang Kutaramanawa, namun Jayanegara telah menyelamatkannya. Tuduhan terhadap Gagak Bongol dapat dipatahkan dengan meletakkan kesalahannya pada Bango Lumayang atau Singa Parepen. Singa Parepen yang bersalah, bukannya Gagak Bongol.
”Perintah apa yang akan kauberikan kepadaku, Kakang Gajah?”
Patih Daha Gajah Mada mengarahkan perhatiannya ke kegelapan malam yang pekat, telinganya menangkap suara burung gagak di kejauhan.
”Siagakan pasukan dan siapkan apa pun yang dibutuhkan untuk pemakaman Sri Baginda,” Gajah Mada memberikan perintahnya.
”Tandya! (= siap)” jawab pimpinan pasukan Bhayangkara Gajah Enggon sigap.
Istana berduka. Bende Kiai Samudra terus dipukul tiada henti menjadi sebuah isyarat tanpa henti, memberi tahu siapa pun dan di mana pun bahwa Baginda Sri Jayanegara telah tiada. Segenap penduduk kotaraja dari ujung ke ujung sambung-menyambungkan warta itu lewat mulut ke mulut. Mereka yang saling berpapasan di sawah, atau para lelaki yang baru turun dari hutan mencari kayu saling bertukar warta. Sementara itu, siapa pun yang belum menerima kabar mengenai kematian Raja segera mengetahui jawabnya melalui suara gelegar bende utama yang terus dipukul tidak ada hentinya.
Seorang blandong (= penebang kayu) bergegas pulang dari mencari kayu di hutan mengusung gelisah di dadanya. Kepada seorang tetangga ia bergegas menumpahkan rasa kaget dan penasarannya.
”Itu isyarat kematian?” tanya lelaki itu.
”Ya,” jawab tetangganya.
”Siapa meninggal?” lanjut petani yang baru pulang dari sawah.
”Sinuhun (= raja) mangkat.”
Betapa tegang petani itu, wajahnya menebal.
”Sinuhun Jayanegara?”
”Ya.”
Petani itu terhenyak. Oleh alasan yang hanya ia sendiri yang mengetahui, petani itu jatuh terduduk dan menangis sesenggukan, bahkan meraung-raung.
Gelegar Kiai Samudra masih berkumandang menyapa petang, menyapa siapa saja. Tak hanya gelegar Kiai Samudra tanda isyarat yang dilepas dari istana, ketika sebuah sangkakala ditiup melengking disusul beberapa anak panah berapi dikirim memanjat langit, segenap prajurit yang melihat isyarat itu bergegas mengartikannya.
Manakala lima buah panah sanderan membubung dengan membawa suara melengking memekakkan telinga maka segera dijawab oleh melesatnya anak panah sanderan pula dari beberapa tempat sebagai jawaban, tanda memahami perintah itu. Tambur ditabuh berderap di belakang dinding Sentanaraja (= kompleks perumahan kerabat istana). Tambur juga dipukul di Jatipasar (= nama tempat tak jauh dari lapangan Bubat), orang-orang yang berniat menggiring pulang ternak gembalaannya dari lapangan Bubat (= nama tanah lapang) terhenyak.
Isyarat panah sanderan susul-menyusul berbaur sangkakala dan tambur itu dengan segera diterjemahkan dengan tegas dan jelas. Beberapa perintah segera disalurkan ke bangsal-bangsal kesatrian dan Sentanaraja yang terletak di arah barat laut istana, di arah kiri lapangan depan bersebelahan dengan parit pelindung istana sekaligus segera menyibukkan balai pertemuan para kesatria yang bersebelahan di sisi kanan Tatag Rambat Bale Manguntur (= balairung istana). Dengan ayunan langkah lebih lebar dari biasanya, para prajurit berpakaian menurut ciri-ciri kesatuan masing-masing bergegas menuju alun-alun. Ketika segenap pasukan mulai memenuhi alun-alun terdengar aba-aba yang diucapkan dan dijawab sangat sigap.
”Para wadyabala sumadya, tandya! (= pasukan siap, gerak!)” terdengar sebuah perintah.
”Tandya,” terdengar jawaban serentak.
Diterangi cahaya obor dan dalam balutan kabut yang mulai turun, Gajah Mada segera menempatkan diri siap memberikan sesorah (=pidato). Segenap prajurit yang berasal dari gabungan tiga kesatuan yang pernah bertikai tidak ada yang merasa keberatan Gajah Mada menempatkan diri di tempat yang sangat terhormat itu. Segenap pasukan siap menyimak. Para kawula yang berdiri di luar barisan ikut mendengarkan.
Gajah Mada yang semula hanya berpangkat bekel terbukti mampu melakukan tindakan yang luar biasa. Melalui kecerdasannya, sembilan tahun lalu Ra Kuti dibuat pontang-panting kebingungan dalam memburu Jayanegara. Di puncak kemelut yang terjadi, Gajah Mada bahkan berhasil membungkam Ra Kuti dan anak buahnya untuk selamanya.
Lebih dari itu, kini Gajah Mada sedang mengenakan selempang samir khusus yang diterima dari Ratu Gayatri, yang merupakan pertanda ia mempunyai hak memberikan sesorah dalam pertemuan di alun-alun itu. Dari bentuk lencana dan warnanya yang gemerlap kekuningan, siapa pun tahu Gajah Mada juga sedang mengemban kekuasaan Mahapatih Arya Tadah.
Pada jarak yang sebenarnya tidak seberapa jauh, berbaur dengan segenap kawula yang berduka, Pancaksara mempersiapkan alat tulisnya.
”Hari ini kita kehilangan besar, Baginda Prabu Sri Sundarapandyadewanama Maharajabhiseka Sri Wisnuwangsa, mangkat!”
Bergetar alun-alun itu karena Patih Daha Gajah Mada berbicara langsung pada pokok persoalan.
”Rasanya seperti tidak ada manfaatnya berhasil menyelamatkan Tuanku Sri Jayanegara ke Bedander nawa surya lalu jika akhirnya tangan jahat itu tetap berhasil menjangkau. Ra Tanca diampuni, Ra Tanca yang selama ini dianggap kembali bersih hatinya terbukti masih ada bulu-bulu yang tumbuh di jantungnya. Ra Tanca yang diminta mengobati Tuanku Baginda justru meracunnya. Apa yang menimpa Baginda setidaknya harus menjadi renungan bagi siapa pun untuk jangan cobacoba melakukan tindakan makar, yang terbukti petualangan macam itu menyengsarakan siapa saja".
Kata-kata Gajah Mada itu sangat menggema, berdentang-dentang di segenap dada yang tidak seorang pun membantah kebenarannya.
”Atas nama istana, juga atas perintah Mahapatih Arya Tadah, dengan ini aku perintahkan untuk mengibarkan bendera gula kelapa (= sebutan untuk bendera merah putih) setengah tiang selama sepekan penuh sebagai pertanda berkabung. Sebarkan warta duka pralaya (= kematian) atas mangkatnya Sang Prabu ke segenap sudut pelosok. Terakhir, aku perintahkan untuk dilakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait pemakaman Sri Baginda. Perintahku cukup jelas untuk dikerjakan.”
Sebagai sebuah negara besar dan berdaulat, Majapahit memiliki panji-panji lambang negara, di antaranya adalah bendera gula kelapa yang bermakna sang saka merah putih. Di samping gula kelapa, Majapahit memiliki cihna (= lambang negara) yang dibatik di atas lembaran kain dengan corak gringsing lobheng lewih laka (= pola geringsing merah), yang melatari gambar buah wilwa (=buah maja). Pembuatan lambang berlatar corak geringsing yang demikian memiliki cerita tersendiri. Dahulu ketika Raden Wijaya berusaha menyelamatkan diri dari kejaran Mahisa Mundarang, pimpinan prajurit Kediri yang menyertai rajanya, Jayakatwang, yang menyerbu Singasari, semangat Raden Wijaya dan para pengikutnya, antara lain Lembu Sora, Gajahpagon, Mahisa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Wirota Wiragati, Kebo Kapetengan serta Pamandana kembali meluap ketika mengenakan cawat bercorak geringsing. Dengan semangat yang berkobar amat makantar-kantar (=lidah api yang menjilat-jilat), Raden Wijaya kembali menyerbu masuk ke Singasari. Akan halnya lambang buah maja yang terletak di tengah-tengah, berlatar peristiwa yang terjadi ketika dilakukan babat hutan Tarik. Dalam keadaan lapar, lelah, dan menderita, salah seorang prajurit mendapat buah maja. Akan tetapi, buah tersebut terasa pahit ketika dimakan, peristiwa yang kemudian menjadi sumber gagasan penamaan negara menjadi Majapahit.
Gajah Mada tidak merasa perlu berbicara berlama-lama, apa yang diucapkan Ratu Gayatri cukup sekali dan sudah jelas. Kepada Senopati Gajah Enggon, pimpinan pasukan Bhayangkara yang baru, Gajah Mada menyerahkan kendali untuk mengatur segala macam tindakan dan langkah yang perlu diambil. Gajah Mada berbalik dan melangkah kembali ke istana. Akan tetapi, sebuah sapa menghentikan langkahnya.
”Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan kepadamu, Gajah Mada,” suara orang itu dari jarak yang cukup jelas.
Gajah Mada amat mengenali suara itu, juga mengenali orangnya.
”Ikut aku,” jawabnya pendek.
Orang yang meminta perhatian Gajah Mada, ia adalah Pancaksara, segera bergegas menyamakan lebar langkah kaki mengikuti Gajah Mada masuk ke dalam lingkungan istana. Pancaksara mengira Gajah Mada akan membawanya masuk ke istana, ternyata dugaan itu salah. Gajah Mada justru mengajaknya naik ke atas dinding yang bersebelahan dengan Purawaktra. Dari tempat itu alun-alun terlihat dengan jelas. Gajah Mada menebarkan pandangan.
”Ceritakan apa yang terjadi,” kata juru warta Pancaksara.
Gajah Mada menoleh dan memandang wajah Pancaksara menembus benaknya sampai ke lipatan-lipatan yang paling dalam. Pancaksara tidak tersenyum. Ketika Gajah Mada masih lama terdiam, itu bukan berarti ia harus mengulangi pertanyaan yang diajukan. Pancaksara memilih menunggu.
”Umur berapa kamu saat Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana mangkat?” Gajah Mada justru melontarkan pertanyaan.
”Kenapa?” balas Pancaksara.
”Jawab saja pertanyaanku,” lanjut Gajah Mada.
”Kurasa kita sebaya, ketika itu aku bocah sekali. Karena masih bocah aku tentu belum menggagas menulis Negarakertagama, namun aku mencatat suasananya sama seperti yang kita rasakan kali ini. Bau udaranya, bahkan angin yang bertiup.”
Gajah Mada kembali terdiam beberapa jenak.
”Apa yang kamu tulis?” tanya Gajah Mada.
”Negarakertagama,” jawab Pancaksara. ”Aku telah menyiapkan judulnya, tetapi penulisannya sendiri masih membutuhkan waktu panjang. Negarakertagama bagiku merupakan mimpi yang harus kuwujudkan. Butuh waktu dan kesabaran, saat ini aku baru memulai.”
Pandangan Gajah Mada menerawang, menggerataki wajah langit yang bopeng-bopeng karena mendung di sana sini, sementara bintang-bintang tak tampak gemerlapnya.
”Sama, saat itu aku juga masih bocah. Berapa tahun kejadian itu berlalu?”
Pancaksara memejamkan mata untuk membuat hitungan-hitungan.
”Sembilan belas tahun,” jawabnya tenang.
”Sembilan belas tahun. Ternyata Sang Prabu memerintah dalam waktu yang sependek itu,” gumam Gajah Mada.
Ternyata Pancaksara tak sependapat dengan ucapan Gajah Mada.
”Salah,” balas Pancaksara, ”Tuanku Jayanegara menyelenggarakan pemerintahan tiga tahun lebih lama. Mendiang Baginda Raden Wijaya hanya enam belas tahun. Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabumi (= gelar Ken Arok, Raja Singasari pertama), pendiri wangsa Rajasa justru hanya lima tahun.”
Gajah Mada terheran-heran.
”Prabu Ken Arok memerintah hanya lima tahun?” letupnya.
”Ya,” jawab Pancaksara. ”Umur Singasari yang perjalanannya penuh cerita makar itu hanya tujuh puluh tahun. Hanya seumur manusia.”
Gajah Mada menghirup udara yang amat menyesakkan dadanya dalam-dalam. Serasa masih kurang diulanginya lagi perbuatan itu. Dari ketinggian dinding Purawaktra, Gajah Mada bisa menyaksikan kesibukan yang terjadi di alun-alun. Jika ia berbalik ke belakang, kesibukan di lingkungan Bale Manguntur terlihat dengan amat jelas. Gajah Mada yang menyapu pandangan matanya bisa menandai pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi di Antahpura. Dari tempatnya berada, puncak gerbang Bajang Ratu terlihat dengan jelas. Sementara jika Gajah Mada berbalik, lima batang pohon bramastana dengan daun lebat layak dicurigai sebagai sarang hantu. Bocah-bocah meyakini itu karena bila orang tua mereka kesulitan menidurkan anaknya, diceritakanlah tentang hantu-hantu penghuni beringin yang gemar berburu bocah yang tidak mau tidur.
”Akan ada sebuah pertanyaan yang segera bergayut di benak siapa pun setelah kematian ini,” Pancaksara berbicara datar, tetapi merupakan sebuah pancingan yang menggelitik.
Pertanyaan itu sejatinya telah menggoda isi kepala Gajah Mada. Telah terlontar beberapa saat sebelum Jayanegara menghela tarikan napas pamungkasnya dan amat diyakini racun yang diminumkan Ra Tanca tidak akan bisa dilawan.
”Kautahu jawabnya?” lanjut Pancaksara.
Patih Daha Gajah Mada menggeleng.
”Aku tidak tahu,” jawabnya.
Pancaksara meraba kening.
”Apakah makin jaya negeri ini dipimpin oleh seorang perempuan?” Pancaksara menambah.
Gajah Mada menerawang. Ketika memejam mata yang segera terbayang adalah wajah Sekar Kedaton Sri Gitarja dan Dyah Wiyat. Apakah salah satu dari mereka yang akan dinobatkan menjadi raja menggantikan saudaranya. Kemungkinan itu ada, namun bisa pula para Ibu Ratu, orang-orang yang paling berhak mengambil keputusan punya jawaban lain.
”Tak masalah,” jawab Gajah Mada, ”yang penting harus didampingi oleh sosok yang memiliki tulang punggung kuat. Ke depan Majapahit harus makin kuat, jaya, dan cemerlang.”
Pancaksara beberapa jenak terdiam.
”Kau benar,” ucapnya. ”Putri Shima, Ratu Kalingga, seorang perempuan, tetapi ia memiliki ketegaran dan kekuatan tidak kalah dari laki-laki.”
Dengan segera arah perhatian Pancaksara tertuju pada anak perempuan mendiang Raden Wijaya yang terlahir dari Ratu Gayatri. Dalam usianya yang masih belia, Sri Gitarja telah menyandang kedudukan yang tidak bisa dianggap ringan. Kepadanya telah diserahkan tugas untuk menjadi wali pemangku Istana Kahuripan. Itu sebabnya, padanya melekat gelar Breh Kahuripan. Dengan kedudukannya sebagai anak yang lebih tua, adakah dengan demikian Sri Gitarja harus melaksanakan tugas amat berat mengemban kedudukan sebagai ratu menyelenggarakan pemerintahan?
Gajah Mada melihat, Sri Gitarja terlalu rapuh untuk tugas raksasa itu. Dalam beberapa hal, adiknya justru mempunyai sikap yang lebih menonjol, lebih tegar, dan lebih tegas, semua sikap yang diperlukan oleh seorang raja yang padanya melekat sifat sabda pandita ratu (= sabda raja yang bermuatan hukum, harus benar-benar mencerminkan kebenaran dan keadilan).
”Sekar Kedaton Sri Gitarja mempunyai calon suami,” pancing Pancaksara.
Patih Daha Gajah Mada berbalik dan menatap lawan bicaranya dalam-dalam. Akan tetapi, dengan segera bayangan wajah Cakradara bagai hadir di depan matanya. Apa yang diucapkan Pancaksara memang harus dicermati. Apabila kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintahan diberikan kepada Sri Gitarja, lantas bagaimana peran Cakradara? Mampukah Cakradara menjadi tulang punggung mendampingi istrinya menyelenggarakan pemerintahan? Pun sebaliknya, bila Dyah Wiyat yang dipilih menggantikan kakaknya, apakah Kudamerta mampu menjadi tulang punggung yang kukuh sebagai sandaran istrinya?
Memang sama sekali tak ada masalah dengan Sri Gitarja maupun Dyah Wiyat, pun tidak ada masalah dengan Cakradara yang juga dipanggil dengan sebutan Cakreswara Breh Singasari yang nantinya akan menjadi suami Sri Gitarja. Demikian pula tak ada masalah dengan Kudamerta yang kelak akan memperistri Dyah Wiyat. Yang mencemaskan Gajah Mada justru pihak-pihak yang berada di belakang kedua kesatria itu. Telik sandi pasukan Bhayangkara telah menemukan jejak aneh gerakan mereka. Hal yang menyebabkan Gajah Mada dengan kedudukan sebagai patih di Daha harus meninggalkan tempatnya kembali ke Ibukota Majapahit. Dengan memanfaatkan telik sandi pasukan Bhayangkara yang kini dipimpin Senopati Gajah Enggon dan saluran yang lain, Gajah Mada berusaha mencari jawab teka-teki yang mencemaskan itu.
Setelah jasa besar yang diperbuatnya ketika melakukan penyelamatan Raja dari makar yang dilakukan Ra Kuti, Gajah Mada memperoleh anugerah dengan kedudukan sebagai Patih Kahuripan di Jiwana yang dilanjutkan anugerah itu dengan menjabat patih di Daha. Pangkat yang melekat di samirnya bukan lagi seorang bekel. Meski tugas dan jabatannya tidak di kotaraja, nyatanya Gajah Mada lebih banyak berada di kotaraja karena akhir-akhir ini Sri Jayanegara lebih banyak membutuhkan tenaga prajurit muda itu. Pergerakan aneh dari sekelompok orang memaksa Sri Jayanegara memanggil bekas pimpinan Bhayangkara yang amat didengar pendapat dan sarannya.
Gajah Mada bergeser bersandar dinding.
”Tolong ceritakan bagaimana sebenarnya silsilah raja-raja yang memerintah negeri ini,” ucapnya sambil memejamkan mata.
”Ahh, bukankah kau sudah tahu?” jawab Pancaksara.
”Aku ingin lebih meyakinkan, tolong,” balas Gajah Mada.
Cerita yang sangat bagus semoga generasi kita tdk melupakan sejarah
BalasHapus