Minggu, 06 Januari 2013

Gajah Mada 2 (Langit Kresna Hariadi)

Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara

Chapter 3

Gajah Mada tentu tidak mungkin melupakan bagaimana sepak terjang Ra Kuti karena ia terlibat secara langsung dalam peristiwa itu sembilan tahun yang lalu dan menjadikan dirinya salah seorang pelaku sejarah. Ra Kuti adalah salah satu dari para pengalasan yang mendapat gelar Dharmaputra Winehsuka di samping Rakrian Banyak, Rakrian Wedeng, Rakrian Pangsa, Rakrian Yuyu, dan Rakrian Tanca. Seorang dari mereka bernama Rakrian Semi mati di  Lasem sebagai harga yang pantas untuk pemberontakan yang dilakukannya pada 1318. Setahun sebelum Ra Kuti mengambil keputusan meniru jejak sahabatnya.

Pemberontakan Ra Kuti boleh dikata merupakan pemberontakan yang paling berdarah dari makar-makar sebelumnya. Dengan kelicikan dan keculasannya, Ra Kuti mampu memecah belah pasukan yang ada yang tak sadar saling dibenturkan untuk kepentingannya. Demikian parah akibat dari tindakan makar para Dharmaputra Winehsuka itu menyebabkan Jayanegara sampai terusir dari istana dengan pasukan Bhayangkara di bawah pimpinan Gajah Mada harus pontang-panting melakukan penyelamatan hingga Bedander, nun jauh di Pegunungan Kapur Utara, di kedalaman wilayah Bojonegoro.

Meski telah disembunyikan di Bedander sekalipun bukan berarti Jayanegara sudah berada dalam keadaan aman. Seorang telik sandi Ra Kuti terus mengamati dan mencari kesempatan untuk menikam dari belakang. Namun, berbekal siasat dan kecerdasannya, Gajah Mada mampu mengendus siapa sesungguhnya telik sandi itu. Singa Parepen yang juga disebut Bango Lumayang terpaksa harus menebus dengan nyawa untuk ameng-ameng nyawa (= bermain-main dengan nyawa) yang dilakukannya.

Sembilan tahun kemudian adalah masa pemulihan dari luka-luka. Banyak hal yang dilakukan Jayanegara untuk mencegah jangan sampai apa yang dilakukan Ra Kuti terulang kembali. Pemerintahan yang diselenggarakan hanyalah didasari niat menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Keberadaan Jayanegara di Bedander beberapa bulan lamanya membuka mata Sang Prabu betapa kehidupan rakyatnya, terutama yang jauh dari Ibukota Majapahit berada dalam keadaan serba kekurangan. Di beberapa tempat bahkan mengalami paceklik, di beberapa tempat lain beras sulit didapat, rakyat terpaksa makan umbi-umbian, busung lapar terjadi di mana-mana.

Upaya keras Sang Prabu yang diterjemahkan oleh segenap punggawa kerajaan mendapat buah yang manis. Hidup rakyat Majapahit boleh di kata gemah ripah loh jinawi kerta tata raharja (= hidup makmur aman tenteram), hukum ditegakkan, keamanan negara dijaga menjadikan siapa pun merasa tenang dan tenteram hidup di bawah panji gula kelapa.

Pancaksara menebar tatapan mata ke depan. Di sana sebuah kolam sedang penuh air. Blumbang itu dibangun sebagai bagian dari upaya melindungi istana, tanpa melalui alun-alun depan Purawaktra yang dilindungi dinding menjulang tinggi. Katak-katak penghuni blumbang itu riuh saling sapa bersahutan tanpa peduli apa yang sedang terjadi di istana.

Di sebelahnya, Gajah Mada membeku. Kedekatan pribadinya dengan Sang Prabu yang tercipta sejak Ra Kuti mendendangkan tembang makar menyebabkan Gajah Mada merasa sangat kehilangan. Namun, kesedihan lelaki bertubuh amat kekar itu tidak harus menyebabkan meruntuhkan air mata.

”Kau belum menjawab pertanyaanku,” Pancaksara mengingatkan.

”Pertanyaan yang mana?” balas Gajah Mada tanpa menoleh.

Pancaksara tidak berniat mengulang pertanyaan yang telah dilontarkannya. Pancaksara, salah seorang anak lelaki Samenaka, pejabat penting kerajaan yang bertanggung jawab atas urusan agama Buddha menempatkan diri di depannya, dengan sabar ia menunggu Gajah Mada menjawab. Gajah Mada memberikan tatapan matanya yang paling tajam.

”Menurutku, peralihan kekuasaan selalu merupakan saat paling gawat. Tidak berlebihan jika aku mulai merasa udara di atas Kotaraja Majapahit kembali menghangat, yang jika tidak dikendalikan dengan benar, udara hangat itu bisa berubah menjadi panas.”

Gajah Mada bisa memahami kilah itu, namun membiarkan Pancaksara menuntaskan ucapannya.

”Sejak zaman Mataram, perebutan kekuasaan selalu terjadi. Setiap peralihan kekuasaan selalu ditandai peristiwa berdarah,” Pancaksara melanjutkan. ”Lebih-lebih zaman Singasari, wilayah paling berbahaya bagi negara adalah saat-saat pergantian kekuasaan. Sekarang, tidak layak cemaskah kita dengan pengalaman peralihan kekuasaan yang macam itu?”

Gajah Mada diam, tak satu kalimat pun keluar dari mulutnya. Pandangan matanya tertuju ke arah utara, nun di sana sebuah sungai besar sedang deras. Pada sebuah tempat bernama Canggu yang menjadi bagian dari sungai itu, puluhan perahu sedang sandar. Jika ditelusuri arah sungai itu ke hulu, ratusan perahu dengan ukuran jauh lebih besar memenuhi Pelabuhan Ujung Galuh (= Surabaya), perahu-perahu itu bukan hanya milik para nelayan dengan mata pencaharian mencari ikan, tetapi juga milik para saudagar yang berniaga berbagai bentuk barang dagangan, di antaranya hasil bumi dan gerabah sampai ke Tumasek (= Singapura).

”Bagaimana, Gajah Mada?” tanya Pancaksara.

Patih Daha Gajah Mada bangkit dan berjalan mondar-mandir, tangannya bertolak pinggang.

”Semoga yang kaucemaskan tidak perlu terjadi,” akhirnya Gajah Mada membuka mulut.

Gajah Mada beranjak karena merasa banyak sekali hal mendesak yang harus dikerjakan.

”Yakinkah kau, peralihan kekuasaan yang terjadi akan berjalan dengan baik?”

Gajah Mada menghentikan langkahnya. Namun, tidak membalikkan badan.

”Menurutmu, adakah yang memang layak dicemaskan?”

”Ada,” jawab Pancaksara pendek.

Gajah Mada terpaksa membatalkan niatnya kembali mengayunkan kaki. Patih Daha itu berbalik.

”Apakah kau melihat apa yang kaucemaskan itu di wajah Tuan Putri Sri Gitarja dan Dyah Wiyat?” bertanya Gajah Mada dengan suara setengah berbisik, namun terdengar amat jelas.

Pancaksara terdiam, tatapan matanya tidak berkedip, namun dengan Gajah Mada menyebut nama itu maka wajah-wajah cantik Sri Gitarja dan Dyah Wiyat bagai hadir di depannya. Kecantikan dua putri anak mendiang Raden Wijaya itu memang ayu gilang-gemilang menjadi buah bibir siapa pun. Para jejaka anak negeri mengangankannya, namun selama ini hasrat para jejaka anak negeri itu bagai terantuk dinding tebal dan tinggi yang tidak mungkin ditembus. Hal itu terjadi karena desas-desus yang tidak jelas bagaimana kebenarannya. Desas-desus itu terlampau mengerikan, konon kata berita dari mulut ke mulut, Jayanegara akan menjatuhkan hukuman kepada siapa pun yang berani berangan-angan atas dua putri itu karena Jayanegara menginginkan adiknya sendiri sebagai istri.

Yang mencuri perhatian kali ini bukan hanya soal desas-desus itu. Sepeninggal Kalagemet Sri Jayanegara dengan segera muncul pertanyaan, siapa yang akan naik takhta menggantikannya. Dua pewaris yang masing-masing berwajah cantik itu memang bersih, tetapi apa yang terlihat tidak sesederhana yang tampak. Pancaksara bahkan melihat persaingan amat tajam bakal terjadi, terutama riuhnya barisan orang-orang di belakang Kudamerta dan barisan orang-orang di belakang Cakradara. Bagaimana dengan para yang bersangkutan, Kudamerta dan Cakradara? Karena beristrikan ratu pewaris takhta tidak ubahnya ikut numpang mewarisi takhta itu sendiri.

Pancaksara menyeringai, sebuah bahasa wajah yang dengan segera Gajah Mada memahami maknanya.

”Kita serahkan semua keputusan kepada para Ratu. Mereka tentu akan mengambil langkah amat bijaksana. Tak ada yang perlu dicemaskan terkait peralihan kekuasaan kali ini.”

Gajah Mada kali ini benar-benar berniat beranjak. Namun, pertanyaan Pancaksara itu memang mengganggunya.

”Bagaimana soal desas-desus yang beredar itu? Kaupunya jawabnya, bukan?”

”Desas-desus yang mana?” balas Gajah Mada.

Pancaksara melangkah mendekat.

”Aku ingin memastikan jawabannya darimu. Aku yakin kautahu apa yang kumaksud.”

Gajah Mada menggeleng ragu, nuraninya sangat terganggu. Namun, Gajah Mada merasa mempunyai cara menjawab.

”Tanyakan saja kepada Ra Tanca. Ia punya jawabannya untukmu. Kalau aku yang kautanya, jawabanku sekadar menerka-nerka.”

Pancaksara tersenyum kecut. Bertanya kepada Ra Tanca memang arah yang benar karena Ra Tancalah sumber desas-desus itu. Sayang, Dharmaputra Winehsuka terakhir itu tidak mungkin ditanyai karena telah membeku menjadi mayat, sementara saat Ra Tanca masih hidup Pancaksara justru tidak tergerak menanyainya.

”Aku mendengar pertama kali dari Ra Tanca, ia mengeluh kepadaku karena istrinya diganggu Sang Prabu,” jawab Gajah Mada dengan cara membelok dan mengagetkan.

Pancaksara terkejut, matanya terbelalak. Pancaksara melihat raut Gajah Mada membeku. Dengan demikian, apa yang diucapkan benarbenar bersungguh-sungguh. Gajah Mada tidak main-main dengan apa yang dikatakannya. Lagi pula, tidak pantas menyampaikan sesuatu yang bersifat canda manakala raja mengalami pralaya (= mati terbunuh).

”Jadi, itukah alasan Ra Tanca tega membunuh Sang Prabu?”

”Ra Tanca banyak menyimpan alasan,” jawab Gajah Mada. ”Ia kecewa karena apa yang pernah diimpikannya terpangkas. Bukan rahasia lagi apabila Ra Tanca diam-diam menyukai Tuan Putri Dyah Wiyat. Ia pendam perasaan itu sudah sejak lama, jauh sebelum ia akhirnya memutuskan mengawini perempuan lain. Alasan kedua karena istrinya diganggu. Itulah alasan yang ia miliki mengapa ia mengambil tindakan paling gila, membunuh Sang Prabu.”

Pancaksara merasa degup jantungnya berlari kencang.

”Bisa dipastikankah hal-hal itu? Benarkah Sang Prabu mengganggu istri Ra Tanca?”

Gajah Mada tersenyum. Raut mukanya susah ditebak.

”Tidak hanya itu,” jawabnya. ”Setidaknya Ra Tanca masih mempunyai sebuah alasan lagi. Jangan kaulupa, Ra Tanca adalah bagian dari Dharmaputra Winehsuka yang pernah makar. Barangkali kematian Ra Kuti dan teman-temannya masih meninggalkan dendam di hatinya. Alasan apa lagi yang mendorong Ra Tanca berbuat gila itu, hanya Ra Tanca yang tahu.”

Kali selanjutnya, Pancaksara yang gelisah. Terbaca hal itu dari langkah kakinya yang mondar-mandir maju mundur dan dua kali memutari Gajah Mada sambil memegang ujung janggut. Pancaksara kemudian berdiri tepat di depan pemuda berbadan kekar penuh otot-otot itu. Tanpa kedip Gajah Mada membalas tatapan juru warta calon pewaris jabatan ayahnya sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam pengembangan agama Buddha itu.

”Soal Tuanku akan mengawini Tuan Putri?”

Pertanyaan itu ternyata menyebabkan Gajah Mada meradang. Ia tersinggung.

”Kalau kamu mempunyai adik, apakah kamu akan mengawini adikmu. Kalau kamu punya anak, apakah kamu akan mengawini anakmu? Bila kamu lakukan itu maka kamu itu binatang.”

Dada Gajah Mada sedikit mengombak.

”Sang Prabu itu raja, ia contoh, ia bukan jenis binatang yang tak bisa membedakan mana saudara yang tidak pantas diinginkan dan mana yang boleh dan patut,” lanjut Gajah Mada.

Pancakasara tidak menjawab, tetapi otaknya berputar deras dengan pusaran melebihi cepat cakra manggilingan (= senjata berbentuk cakra).

”Lantas soal istri Ra Tanca,” Gajah Mada menambah, ”bagaimana kebenarannya, apakah ia memang benar-benar diganggu Sang Prabu? Jawabnya berupa pertanyaan yang aku berikan kepadamu. Apakah jika orang membicarakan seseorang, apa yang dibicarakan itu pasti benar dan mewakili kenyataan?”

Pancaksara manggut-manggut sambil mengelus janggutnya yang dibiarkan lebat.

”Belum tentu, adakalanya malah fitnah,” jawab Pancaksara.

”Itulah!” Gajah Mada menegas. ”Tidak seorang pun yang tahu kejadian itu, tidak seorang pun yang menyaksikan Tuanku Jayanegara mengganggu istri Ra Tanca. Maka, tak seyogianya siapa pun gegabah menuduh Sang Prabu melakukan perbuatan hina seperti itu, sebagaimana betapa tak masuk akal adanya desas-desus Sang Prabu akan mengawini adik-adiknya sendiri. Jika keinginan Sang Prabu tersebut benar, Kudamerta dan Cakradara tentu telah habis riwayatnya.”

Pancaksara masih penasaran. Desas-desus yang beredar di luar itu memang terlampau santer, demikian deras bahkan sederas arus Kali Brantas ketika hujan turun membadai di bagian hulu.

”Jadi, tidak benar Tuanku Jayanegara menginginkan adik-adiknya sebagai istri?”

”Tidak benar!” jawab Gajah Mada tegas.

”Tidak benar Tuanku Jayanegara mengganggu istri Ra Tanca?”

Gajah Mada tersenyum.

”Yang berkata demikian Ra Tanca, ia mengutip ucapan istrinya. Sebuah cerita yang tidak bisa diterima begitu saja. Ra Tanca terlalu banyak menyimpan alasan dendam untuk menghabisi hidup Sang Prabu. Sebagai raja dengan kekuasaan nyaris tanpa batas, Sang Prabu bisa mendapatkan perempuan yang lebih cantik dari istri Ra Tanca yang kurus tanpa daging itu. Menurut selera pribadiku, istri Ra Tanca bukan jenis wanita yang punya kekuatan besar dalam menarik minat lawan jenis.”

Pancaksara mencuatkan alis sambil mencatat apa yang didengar dan dikutip dari Gajah Mada itu ke dalam lipatan benaknya.

”Menurutmu istri Tanca bukan jenis perempuan yang menarik minat?”

”Ya,” jawab Gajah Mada tegas.

Pancaksara diam, namun beberapa jenak kemudian ia tidak mampu menahan diri untuk tidak tertawa, derainya mengalir deras. Gajah Mada tersenyum.

”Jangan tertawa sekeras itu, Sang Prabu saat ini mangkat.”

Dengan gerak seketika Pancaksara membungkam mulut. Gajah Mada berjalan perlahan beranjak akan meninggalkan Pancaksara, namun pandangannya masih tertuju ke raut muka Pancaksara.

”Masih ada pertanyaan lagi?”

Pancaksara menggeleng.

Gajah Mada mengayunkan langkah dan kemudian menuruni tangga menuju pahoman (= perapian pemujaan) yang mulai dinyalakan di beberapa tempat di sudut alun-alun atas perintah masing-masing pemuka agama. Pahoman juga menyala di rumah-rumah penduduk di seluruh sudut kotaraja, dinyalakan di tempat-tempat peribadatan seiring dengan haru biru yang kian bergolak. Namun, di tempat lain ada pula pahoman yang dinyalakan dengan latar belakang caci maki yang ditujukan kepada Rakrian Tanca yang dianggap sama sekali tak tahu diri. Dari bukan siapa-siapa Rakrian Tanca diangkat derajatnya menjadi satu di antara para Dharmaputra. Ia balas kehormatan itu dengan membunuh pemberinya. Pahoman juga dinyalakan di sebuah tempat peribadatan yang berada di dekat bangunan pakunjaran (= penjara). Di dalam penjara itu terdapat beberapa penjahat yang menjalani hukuman, di antara mereka terdapat perampok yang terpaksa dijebloskan ke bangunan itu akibat dari perbuatannya, di antara mereka ada yang menjalani hukuman karena pembunuhan. Namun, penjara itu juga dihuni oleh orang-orang yang berseberangan sikap dengan pemerintahan Jayanegara, terutama oleh sisa-sisa kaki tangan Ra Kuti dan pengikut Mahapati. Dari mulut orang-orang itulah kematian Jayanegara justru disambut dengan gelak tawa, bahkan terpingkal-pingkal.

Pancaksara masih berdiri di tempatnya. Dengan tatapan mata, juru warta yang masih muda usia itu memerhatikan suasana alam di sekitarnya. Dengan ketajaman mata hatinya Pancaksara mencatat semuanya. Ketika Pancaksara mengarahkan tatap matanya lurus melintas Purawaktra, tampak di sana sekelompok orang menyalakan beberapa obor.

Lingkungan istana menjadi terang benderang bukan hanya karena obor dinyalakan di sana sini, tetapi juga oleh setidaknya empat perapian berukuran besar dengan kayu ditumpuk-tumpuk. Dahana (= api) yang berkobar-kobar dengan asap yang membubung terlihat dengan amat jelas dari luar dinding kota. Bau puluhan pikul kemenyan yang dibakar sangat menyengat membawa warta duka pralaya itu benar-benar terbawa oleh angin, sementara siapa pun yang menerima warta kemenyan yang dibakar itu akan menggigil gemetar. Pengaruh bau kemenyan yang disapukan secara adil oleh angin yang membawanya terbang ke empat penjuru, bahkan bergerak lebih jauh dari suara titir yang dipukul bertalutalu dan akan membuat penerimanya gugup ketakutan, lebih dari sekadar rasa cemas oleh berita mangkatnya raja.

Di sudut langit belahan timur, bibit mendung mulai bergerak menampilkan jati diri. Mendung itu kian menebal memberangus jarak pandang terhadap bintang-bintang, bahkan juga terhadap gugusan rasi bimasakti. Seorang lelaki tua berdebar-debar menyimak angin yang berembus deras. Bagi orang tua itu, yang terjadi bukan sekadar angin deras, namun sebuah peristiwa yang di sebaliknya menyimpan makna, sebagaimana burung gagak berteriak-teriak di tengah larut malam sebenarnya tengah menyampaikan sebuah pesan. Bahkan, warna langit di matanya akan tampak berbeda. Sementara itu, bagaikan tangan-tangan hantu, bibit kabut mulai mekar beranak pinak, siap membutakan pandangan mata siapa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar