Minggu, 06 Januari 2013

Gajah Mada 2 (Langit Kresna Hariadi)

Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara

Chapter 4

Pancaksara masih termangu di tempatnya. Ia perhatikan setiap sudut istana dari ujung ke ujung dengan penuh perhatian. Pancaksara tidak bisa menipu hatinya terhadap betapa megahnya istana itu. Dengan petualangan dan perjalanan panjang yang pernah ia lakukan pada masa lalu, Pancaksara melihat Istana Wilwatikta memang memiliki kemegahan yang tiada tara. Menyeberang Laut Jawa hingga ke bumi Kutai di ranah Kalimantan, Pancaksara melihat sisa-sisa kemegahan Kerajaan Kutai yang mulai melumut dan bahkan dinding-dindingnya menghancur,
kemegahannya tidaklah bisa menyamai kemegahan pilar-pilar Istana Wilwatikta. Demikian pula dengan Istana Singasari yang masih utuh yang baru beberapa bulan sebelumnya dikunjungi, juga Istana Kediri yang ia datangi beberapa kali termasuk pula Istana Kotaraja Majapahit timur yang dikuasai Banyak Wide atau Aria Wiraraja yang beribukota di Lumajang, semua istana itu tak ada yang bisa menandingi kemegahan Istana Majapahit, baik dilihat dari kemegahan bangunannya maupun luas wilayahnya. 

Dengan tembok bata merah tebal mengelilingi keraton, tidak memungkinkan orang bisa masuk ke dalam lingkungan istana, yang pintu utamanya berada di sebelah barat menghadap ke lapangan luas yang disebut Purawaktra. Membelah lapangan yang luas, mengalir sebuah sungai yang tidak memungkinkan siapa pun melintas kecuali melalui sebuah jembatan yang padanya melekat penjagaan. Sungai buatan itu ditaburi ikan tombro yang dalam bulan atau waktu tertentu akan dipanen, tetapi beberapa prajurit sering memanfaatkan waktu luangnya untuk mengayunkan joran. Ikan bernasib sial akan menggelepar di ujung kail, apalagi bila yang diayunkan adalah jala. Di antara para prajurit bahkan ada yang tidak perlu merasa segan membakar ikan itu di bawah deretan pohon tanjung yang sangat rindang. Suara seruling yang ditiup oleh seorang prajurit menjadikan tempat itu sungguh sejuk menyenangkan.

Di tepi benteng yang melingkar, ditanami pohon bramastana berderet-deret memanjang. Deret pohon yang tumbuh dengan daundaun dan sulur-sulur akar yang lebat itu menjadi sarang burung kuntul yang selalu kembali ke pohon itu pada siang hari, sementara malam hari entah mengembara sampai di ujung dunia belahan mana. Di bawah pohon bramastana itulah tempat berteduh para perwira yang melakukan giliran meronda ataupun menjaga paseban. Siang hari yang terik para prajurit bahkan memanfaatkan tempat itu untuk tidur-tiduran, atau berlatih ngembat watang. Ada pula yang memanfaatkan untuk mengasah ilmu kanuragan. Dari tempat itu, apabila arah pandang ditujukan ke sisi utara dari pusat istana, di sana sebuah gapura dengan pintu terbuat dari besi menyaring siapa pun yang akan melintas.
 
Alun-alun istana membujur dari utara ke selatan. Pintu masuk ke pura istana terletak di tengah alun-alun. Di sisi timur dari pintu besi terletak sebuah panggung tinggi dengan lantai berlapis batu putih mengilat, yang merupakan rumah pertama dalam deretan gedung-gedung yang berimpit membujur ke selatan. Di depan gedung itu terdapat jalan yang membatasi dan membelah alun-alun dan gedung-gedung di lingkungan istana. Apabila dari panggung pandangan mata di tujukan ke selatan, tidak jauh dari tempat itu terletak bangunan megah yang disebut Balai Prajurit yang dimanfaatkan untuk bermusyawarah para menteri, para perwira, para pendeta dari tiga aliran agama, para pembantu raja, para kepala wilayah dan kepala desa, baik yang berasal dari ibukota maupun dari luar yang secara berkala melakukan pertemuan di bulan Caitra.

Apabila dari Balai Prajurit dilangkahkan kaki ke utara akan bertemu dengan kolam yang amat luas dan besar yang disebut Segaran yang belum sempurna pembuatannya, siang malam ratusan dan bahkan ribuan tenaga dikerahkan untuk mengeduk tanah. Demikian lebar dan panjang kolam itu menyebabkan beberapa korban nyawa tenggelam telah terjadi beberapa kali, di antaranya bahkan para prajurit yang berlatih menyelam. Bila perjalanan ke utara diteruskan akan bertemu dengan sebuah pintu gerbang yang disebut Candi Waringin Lawang. Disebut demikian karena berupa lawang atau pintu berjumlah dua buah yang terletak berimpitan dengan pohon beringin. Pintu gerbang ini dibuat dari susunan bata merah. Pada jarak beberapa jengkal perjalanan arah ke utara lagi akan bertemu dengan candi berpenampilan gemuk yang disebut Candi Brahu. 

Di sebelah timur Balai Prajurit atau balai pertemuan adalah rumah korban yang menjulang bertiga-tiga mengelilingi kuil Siwa yang tinggi. Di sebelah selatannya adalah gedung bersusun tempat tinggal para Wipra, sementara ke arah barat dari kediaman para Wipra membentang halaman luas dan berkaki tinggi. Berdampingan dengan kuil Siwa serasa gambaran hidup dengan rukun adalah gedung Buddha dengan atap bertingkat tiga, puncak bangunan penuh dengan ukiran. Bangkit bulu kuduk Pancaksara memerhatikan puncak bangunan itu di keremangan malam, apalagi dari arah mana pun mulai dialunkan tembang mantra puja doa menurut tata cara dan agama berbeda-beda dalam mengiring keberangkatan Sri Jayanegara memasuki kehidupan lain setelah kehidupan di dunia.

Di sebelah selatan balai pertemuan atau Balai Prajurit adalah Bale Agung Manguntur yang juga disebut Bale Tatag Rambat atau Balairung dengan berlatar lapangan luas di belakangnya. Bangunan inilah yang disebut sebagai bangunan utama wilayah istana yang juga diberi nama lain keraton yang berarti tempat tinggal ratu, atau juga disebut kedaton. Dari wujudnya Tatag Rambat Bale Manguntur merupakan bangunan yang paling megah di antara seluruh bangunan yang ada. Bangunan besar dan luas ini didukung oleh lebih dari sepuluh pilar untuk menyangga atap genting pilihan yang dilabur dengan warna cokelat mengilat. 

Tepat di tengah-tengan Balai Manguntur terdapat rumah-rumahan kecil yang diberi nama Balai Witana. Bangunan kecil ini digunakan sebagai tempat duduk raja saat menggelar pasewakan agung. Dari dalam Balai Witana, raja bisa melihat semua yang hadir dengan leluasa, sebaliknya siapa pun yang hadir di pasewakan tidak akan bisa melihat raja, kecuali ketika raja akan masuk atau keluar dari balai itu. Akan tetapi, dalam tata kramanya ketika hal itu terjadi, tidak ada orang diperkenankan menengadahkan kepala, semua harus menunduk.

Di depan Balai Witana atau dari tempat itu arah pandang menuju utara yang hanya berjarak puluhan langkah kaki saja adalah tempat panangkilan, tempat duduk para pujangga dan menteri. Di bagian timur menghadap ke Balai Witana adalah tempat berkumpul para pendeta Siwa dan Buddha ketika mengikuti pasewakan agung.
 
Di arah selatan dari Balai Witana dengan tersekat pintu-pintu adalah paseban yang diatur sangat rapi, menyenangkan di pandangan mata. Dari tempat itu manakala tatapan mata diarahkan ke selatan, di sana tampak ruas jalan dari timur ke barat, jalan itu nantinya akan bertemu dengan jalan dari arah utara ke selatan. Persilangan jalan itu merupakan simpang empat di bagian selatan alun-alun. Di sepanjang jalan dari timur ke barat, di kanan dan kirinya berjajar rumah-rumah megah dengan deretan pohon tanjung membelah ruas jalan timur barat. Tanaman hias ditata rapi di kiri dan kanan jalan dan akan tampak indah di musim penghujan. Namun, di musim kering semua tanaman hias itu amat meranggas. Istana Wilwatikta tidak seperti Istana Singasari yang berada di ketinggian dan berudara dingin menyengat. Letaknya yang berada di dataran rendah menyebabkan udara hangat di sepanjang hari, baik siang maupun malam. Akan tetapi, tidak jarang kabut turun di musim penghujan karena tidak jauh di arah tenggara menjulang Gunung Anjasmoro. Dari istana pula lamat-lamat bisa dilihat dengan mata telanjang Gunung Welirang dan Gunung Arjuno yang puncak mereka selalu dikemuli halimun yang tebal. Apabila mega itu menyingkir, puncak-puncak gunung itu akan menjadi tontonan yang sangat megah.

Apabila arah pandangan mata ditujukan ke sudut barat daya dari Istana Tatag Rambat Bale Manguntur sedikit jauh, di sana berdiri sebuah balai tempat berkumpul para prajurit dengan ukuran jauh lebih kecil dari Balai Prajurit. Tempat ini diperuntukkan para prajurit, khususnya mereka yang melaksanakan tugas pengamanan istana. Bangunan itu berhalaman luas, di tengahnya terdapat sebuah mandapa.Ratusan ekor burung merpati dibiarkan hidup dengan bebas dan menjadi klangenan segenap kerabat istana. Merpati itu dilindungi dengan sebuah aturan, siapa pun tidak boleh mengganggunya. Berani menangkap atau membunuh burung piaraan itu pelakunya akan berhadapan Kitab Kutaramanawa. Perlindungan terhadap satwa tidak sekadar jenis burung kesukaan raja, tetapi juga jenis-jenis binatang yang lain yang mulai sulit didapat di mana pun.

Dari arah mandapa berada, di sebelah selatan ruas jalan dari timur ke barat dan terletak di sebelah barat jalan dari ruas jalan utara ke selatan, di sebelah timur jalan terdapat sebuah paseban membujur dari utara ke selatan yang terhubungkan dengan pintu kedua dari istana. Arah pandang dari pintu tersebut akan tertuju pada halaman luas dan sangat rata bersebelahan dengan sebuah bangunan indah dan tinggi, itulah ruang tamu baginda yang dimanfaatkan untuk menerima siapa saja yang berniat melakukan seba.

Halaman dikelilingi banyak balai yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kedaton, atapnya dibuat bertingkat-tingkat, berkelompok-kelompok dengan masing-masing memiliki pintunya sendiri-sendiri. Wilayah istana itu membentang ke timur sampai ke tembok benteng sebelah timur, ke arah selatan mencapai tembok benteng sebelah selatan. Sewilayah Majapahit tak ada yang bisa menandingi bangunan yang besar dan megah itu.

Bangunan istana bagian utara tepat berada di belakang paseban adalah tempat tinggal Sekar Kedaton Bre Kahuripan. Di tempat itulah nantinya apabila anak Raden Wijaya itu berumah tangga akan bertempat tinggal. Semula Breh Kahuripan atau Sri Gitarja dan adiknya, Dyah Wiyat, tinggal bersama di lingkungan keputren dengan dilayani oleh para emban, tetapi manakala pada diri masing-masing telah melekat kedudukan pemangku wilayah Kahuripan dan Daha, apalagi di usia dewasa mereka telah siap melepas kedudukan perawan dengan siap menikahi calon suaminya masing-masing, mereka tak lagi selalu bersama dan harus tinggal di istana terpisah. Istana paling timur yang jauh dari pintu pertama adalah istana Sri Nata, Sang Prabu Jayanegara. Jika tatapan mata ditujukan ke arah selatan, di sana letak bangunan yang tak kalah megah dengan milik Sekar Kedaton Breh Kahuripan. Bangunan dengan pintu berikir memet yang dipahat oleh orang yang sangat ahli dan didatangkan dari wilayah pesisir utara itu adalah tempat tinggal yang disiapkan untuk Breh Daha atau Dyah Wiyat.

Betapa megah dan indah bangunan itu karena terbuat dari bahanbahan pilihan. Pilar-pilar kayunya atau semua bagian dari tiang saka, belandar bahkan sampai pada usuk diraut dari kayu jati pilihan dengan perhitungan bangunan itu sanggup melewati waktu puluhan tahun, bahkan diharap bisa tembus lebih dari seratus tahun. Tiang saka diukir
indah warna-warni, kakinya berasal dari bahan batu merah penuh pahatan ukir mengambil tokoh-tokoh pewayangan, atau tokoh yang pernah ada bahkan masih hidup. Bangunan itu berbeda-beda bentuk atapnya, pun demikian dengan bentuk wajahnya. Halaman tiga istana utama itu diatur rapi dengan sepanjang jalan ditanami pohon tanjung, kesara, dan cempaka. Melingkar-lingkar di halaman adalah tanaman bunga perdu dari jenis semak. Di sudut-sudut halaman tumbuh beberapa pohon talok dengan buah kecil-kecil. Jika matang warnanya merah dan menjadi alasan utama bagi bocah-bocah untuk memanjat dan memetiknya. Jangankan bocah-bocah, orang tua pun tak mau kalah menggapaikan tangannya untuk bisa memetik buah itu.

Di arah barat laut berdiri beberapa bangunan, di antaranya adalah kediaman para menteri sesepuh panangkil yang hanyepuhi siapa pun yang berkehendak menghadap Sri Naranata. Di arah selatannya adalah rumah-rumah para abdi dalem istana Dyah Wiyat. Sebaliknya, para emban tinggal di bangsal khusus yang disediakan untuk mereka yang melekat menjadi bagian tak terpisahkan dari istana. Demikian juga dengan kandang berisi kuda-kuda pilihan milik raja dan para Sekar Kedaton. Bangunan-bangunan para abdi dalem berada di antara dua ruas jalan, yaitu ruas jalan dari timur ke barat dan dari utara ke jurusan selatan.

Di luar benteng, Pancaksara memerhatikan dengan saksama semua bangunan, ruas jalan, dan sudut-sudut pintu gerbang dan memahatkannya ke dalam benak untuk kelak sebagaimana telah direncanakannya, ia akan menuliskan semua itu di atas daun-daun rontal, dengan harapan siapa tahu kelak akan bermanfaat bagi anak keturunan.
 
Di sebelah timur benteng, Pancaksara mencatat tempat tinggal pemuka agama Siwa, Hyang Brahmaraja. Ujung timur selatan benteng berbatasan dengan istana adalah kediaman kepala mahkamah agung yang pada dirinya melekat gelar Darmadyaksa, yang diapit dua buah candi, sebelah timur candi Siwa sementara di sebelah baratnya adalah candi Buddha. Para pendeta Buddha dengan pemukanya, Sang Samenaka, menempati bagian selatan di luar benteng. Sementara itu, di bagian timur benteng terdapat sebidang tanah dengan sebuah rumah. Itulah anugerah yang diberikan oleh Jayanegara kepada Gajah Mada atas jasa-jasa yang diperbuatnya ketika melakukan penyelamatan Sang Prabu dari tangantangan makar Ra Kuti dan teman-temannya. Dalam angan-angannya, kelak ia akan membangun istananya di tempat itu.

Di sebelah barat benteng bagian utara adalah tempat tinggal para menteri dan punggawa parentah kraton. Di sebelah selatan adalah tempat tinggal sentanaraja115 dan para kesatria. Di bagian luar adalah perkampungan penduduk yang cukup padat. Sawah membentang di sana sini yang apabila ditanami padi, warnanya seragam memberi kesan bagai hamparan babut permadani. Nyaris ke segenap sudut kiblat, pohon nyiur ada di mana-mana menjulang tinggi menggapai langit.

Pancaksara yang menghirup udara memenuhi semua sekat ruang di dadanya itu mendadak merasakan pedih. Kematian memang milik siapa saja. Kematian bisa menimpa siapa saja. Cerita kematian selalu meninggalkan kesedihan, tetapi kematian akibat pembunuhan akan meninggalkan jejak luka yang lebih dalam. Tidak sekadar menyedihkan, tetapi menyakitkan. Apalagi, manakala korbannya adalah seorang raja, sosok yang menjadi lambang negara ketiga setelah cihna dan panji gula kelapa.

Pancaksara yang menatap jauh ke barat, menandai mulai menyalanya sebuah titik api. Entah siapa orang berduka di seberang sana yang kehilangan akal, sampai rela membakar rumahnya itu.


Gajah Mada 2 (Langit Kresna Hariadi)

Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara

Chapter 3

Gajah Mada tentu tidak mungkin melupakan bagaimana sepak terjang Ra Kuti karena ia terlibat secara langsung dalam peristiwa itu sembilan tahun yang lalu dan menjadikan dirinya salah seorang pelaku sejarah. Ra Kuti adalah salah satu dari para pengalasan yang mendapat gelar Dharmaputra Winehsuka di samping Rakrian Banyak, Rakrian Wedeng, Rakrian Pangsa, Rakrian Yuyu, dan Rakrian Tanca. Seorang dari mereka bernama Rakrian Semi mati di  Lasem sebagai harga yang pantas untuk pemberontakan yang dilakukannya pada 1318. Setahun sebelum Ra Kuti mengambil keputusan meniru jejak sahabatnya.

Pemberontakan Ra Kuti boleh dikata merupakan pemberontakan yang paling berdarah dari makar-makar sebelumnya. Dengan kelicikan dan keculasannya, Ra Kuti mampu memecah belah pasukan yang ada yang tak sadar saling dibenturkan untuk kepentingannya. Demikian parah akibat dari tindakan makar para Dharmaputra Winehsuka itu menyebabkan Jayanegara sampai terusir dari istana dengan pasukan Bhayangkara di bawah pimpinan Gajah Mada harus pontang-panting melakukan penyelamatan hingga Bedander, nun jauh di Pegunungan Kapur Utara, di kedalaman wilayah Bojonegoro.

Meski telah disembunyikan di Bedander sekalipun bukan berarti Jayanegara sudah berada dalam keadaan aman. Seorang telik sandi Ra Kuti terus mengamati dan mencari kesempatan untuk menikam dari belakang. Namun, berbekal siasat dan kecerdasannya, Gajah Mada mampu mengendus siapa sesungguhnya telik sandi itu. Singa Parepen yang juga disebut Bango Lumayang terpaksa harus menebus dengan nyawa untuk ameng-ameng nyawa (= bermain-main dengan nyawa) yang dilakukannya.

Sembilan tahun kemudian adalah masa pemulihan dari luka-luka. Banyak hal yang dilakukan Jayanegara untuk mencegah jangan sampai apa yang dilakukan Ra Kuti terulang kembali. Pemerintahan yang diselenggarakan hanyalah didasari niat menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Keberadaan Jayanegara di Bedander beberapa bulan lamanya membuka mata Sang Prabu betapa kehidupan rakyatnya, terutama yang jauh dari Ibukota Majapahit berada dalam keadaan serba kekurangan. Di beberapa tempat bahkan mengalami paceklik, di beberapa tempat lain beras sulit didapat, rakyat terpaksa makan umbi-umbian, busung lapar terjadi di mana-mana.

Upaya keras Sang Prabu yang diterjemahkan oleh segenap punggawa kerajaan mendapat buah yang manis. Hidup rakyat Majapahit boleh di kata gemah ripah loh jinawi kerta tata raharja (= hidup makmur aman tenteram), hukum ditegakkan, keamanan negara dijaga menjadikan siapa pun merasa tenang dan tenteram hidup di bawah panji gula kelapa.

Pancaksara menebar tatapan mata ke depan. Di sana sebuah kolam sedang penuh air. Blumbang itu dibangun sebagai bagian dari upaya melindungi istana, tanpa melalui alun-alun depan Purawaktra yang dilindungi dinding menjulang tinggi. Katak-katak penghuni blumbang itu riuh saling sapa bersahutan tanpa peduli apa yang sedang terjadi di istana.

Di sebelahnya, Gajah Mada membeku. Kedekatan pribadinya dengan Sang Prabu yang tercipta sejak Ra Kuti mendendangkan tembang makar menyebabkan Gajah Mada merasa sangat kehilangan. Namun, kesedihan lelaki bertubuh amat kekar itu tidak harus menyebabkan meruntuhkan air mata.

”Kau belum menjawab pertanyaanku,” Pancaksara mengingatkan.

”Pertanyaan yang mana?” balas Gajah Mada tanpa menoleh.

Pancaksara tidak berniat mengulang pertanyaan yang telah dilontarkannya. Pancaksara, salah seorang anak lelaki Samenaka, pejabat penting kerajaan yang bertanggung jawab atas urusan agama Buddha menempatkan diri di depannya, dengan sabar ia menunggu Gajah Mada menjawab. Gajah Mada memberikan tatapan matanya yang paling tajam.

”Menurutku, peralihan kekuasaan selalu merupakan saat paling gawat. Tidak berlebihan jika aku mulai merasa udara di atas Kotaraja Majapahit kembali menghangat, yang jika tidak dikendalikan dengan benar, udara hangat itu bisa berubah menjadi panas.”

Gajah Mada bisa memahami kilah itu, namun membiarkan Pancaksara menuntaskan ucapannya.

”Sejak zaman Mataram, perebutan kekuasaan selalu terjadi. Setiap peralihan kekuasaan selalu ditandai peristiwa berdarah,” Pancaksara melanjutkan. ”Lebih-lebih zaman Singasari, wilayah paling berbahaya bagi negara adalah saat-saat pergantian kekuasaan. Sekarang, tidak layak cemaskah kita dengan pengalaman peralihan kekuasaan yang macam itu?”

Gajah Mada diam, tak satu kalimat pun keluar dari mulutnya. Pandangan matanya tertuju ke arah utara, nun di sana sebuah sungai besar sedang deras. Pada sebuah tempat bernama Canggu yang menjadi bagian dari sungai itu, puluhan perahu sedang sandar. Jika ditelusuri arah sungai itu ke hulu, ratusan perahu dengan ukuran jauh lebih besar memenuhi Pelabuhan Ujung Galuh (= Surabaya), perahu-perahu itu bukan hanya milik para nelayan dengan mata pencaharian mencari ikan, tetapi juga milik para saudagar yang berniaga berbagai bentuk barang dagangan, di antaranya hasil bumi dan gerabah sampai ke Tumasek (= Singapura).

”Bagaimana, Gajah Mada?” tanya Pancaksara.

Patih Daha Gajah Mada bangkit dan berjalan mondar-mandir, tangannya bertolak pinggang.

”Semoga yang kaucemaskan tidak perlu terjadi,” akhirnya Gajah Mada membuka mulut.

Gajah Mada beranjak karena merasa banyak sekali hal mendesak yang harus dikerjakan.

”Yakinkah kau, peralihan kekuasaan yang terjadi akan berjalan dengan baik?”

Gajah Mada menghentikan langkahnya. Namun, tidak membalikkan badan.

”Menurutmu, adakah yang memang layak dicemaskan?”

”Ada,” jawab Pancaksara pendek.

Gajah Mada terpaksa membatalkan niatnya kembali mengayunkan kaki. Patih Daha itu berbalik.

”Apakah kau melihat apa yang kaucemaskan itu di wajah Tuan Putri Sri Gitarja dan Dyah Wiyat?” bertanya Gajah Mada dengan suara setengah berbisik, namun terdengar amat jelas.

Pancaksara terdiam, tatapan matanya tidak berkedip, namun dengan Gajah Mada menyebut nama itu maka wajah-wajah cantik Sri Gitarja dan Dyah Wiyat bagai hadir di depannya. Kecantikan dua putri anak mendiang Raden Wijaya itu memang ayu gilang-gemilang menjadi buah bibir siapa pun. Para jejaka anak negeri mengangankannya, namun selama ini hasrat para jejaka anak negeri itu bagai terantuk dinding tebal dan tinggi yang tidak mungkin ditembus. Hal itu terjadi karena desas-desus yang tidak jelas bagaimana kebenarannya. Desas-desus itu terlampau mengerikan, konon kata berita dari mulut ke mulut, Jayanegara akan menjatuhkan hukuman kepada siapa pun yang berani berangan-angan atas dua putri itu karena Jayanegara menginginkan adiknya sendiri sebagai istri.

Yang mencuri perhatian kali ini bukan hanya soal desas-desus itu. Sepeninggal Kalagemet Sri Jayanegara dengan segera muncul pertanyaan, siapa yang akan naik takhta menggantikannya. Dua pewaris yang masing-masing berwajah cantik itu memang bersih, tetapi apa yang terlihat tidak sesederhana yang tampak. Pancaksara bahkan melihat persaingan amat tajam bakal terjadi, terutama riuhnya barisan orang-orang di belakang Kudamerta dan barisan orang-orang di belakang Cakradara. Bagaimana dengan para yang bersangkutan, Kudamerta dan Cakradara? Karena beristrikan ratu pewaris takhta tidak ubahnya ikut numpang mewarisi takhta itu sendiri.

Pancaksara menyeringai, sebuah bahasa wajah yang dengan segera Gajah Mada memahami maknanya.

”Kita serahkan semua keputusan kepada para Ratu. Mereka tentu akan mengambil langkah amat bijaksana. Tak ada yang perlu dicemaskan terkait peralihan kekuasaan kali ini.”

Gajah Mada kali ini benar-benar berniat beranjak. Namun, pertanyaan Pancaksara itu memang mengganggunya.

”Bagaimana soal desas-desus yang beredar itu? Kaupunya jawabnya, bukan?”

”Desas-desus yang mana?” balas Gajah Mada.

Pancaksara melangkah mendekat.

”Aku ingin memastikan jawabannya darimu. Aku yakin kautahu apa yang kumaksud.”

Gajah Mada menggeleng ragu, nuraninya sangat terganggu. Namun, Gajah Mada merasa mempunyai cara menjawab.

”Tanyakan saja kepada Ra Tanca. Ia punya jawabannya untukmu. Kalau aku yang kautanya, jawabanku sekadar menerka-nerka.”

Pancaksara tersenyum kecut. Bertanya kepada Ra Tanca memang arah yang benar karena Ra Tancalah sumber desas-desus itu. Sayang, Dharmaputra Winehsuka terakhir itu tidak mungkin ditanyai karena telah membeku menjadi mayat, sementara saat Ra Tanca masih hidup Pancaksara justru tidak tergerak menanyainya.

”Aku mendengar pertama kali dari Ra Tanca, ia mengeluh kepadaku karena istrinya diganggu Sang Prabu,” jawab Gajah Mada dengan cara membelok dan mengagetkan.

Pancaksara terkejut, matanya terbelalak. Pancaksara melihat raut Gajah Mada membeku. Dengan demikian, apa yang diucapkan benarbenar bersungguh-sungguh. Gajah Mada tidak main-main dengan apa yang dikatakannya. Lagi pula, tidak pantas menyampaikan sesuatu yang bersifat canda manakala raja mengalami pralaya (= mati terbunuh).

”Jadi, itukah alasan Ra Tanca tega membunuh Sang Prabu?”

”Ra Tanca banyak menyimpan alasan,” jawab Gajah Mada. ”Ia kecewa karena apa yang pernah diimpikannya terpangkas. Bukan rahasia lagi apabila Ra Tanca diam-diam menyukai Tuan Putri Dyah Wiyat. Ia pendam perasaan itu sudah sejak lama, jauh sebelum ia akhirnya memutuskan mengawini perempuan lain. Alasan kedua karena istrinya diganggu. Itulah alasan yang ia miliki mengapa ia mengambil tindakan paling gila, membunuh Sang Prabu.”

Pancaksara merasa degup jantungnya berlari kencang.

”Bisa dipastikankah hal-hal itu? Benarkah Sang Prabu mengganggu istri Ra Tanca?”

Gajah Mada tersenyum. Raut mukanya susah ditebak.

”Tidak hanya itu,” jawabnya. ”Setidaknya Ra Tanca masih mempunyai sebuah alasan lagi. Jangan kaulupa, Ra Tanca adalah bagian dari Dharmaputra Winehsuka yang pernah makar. Barangkali kematian Ra Kuti dan teman-temannya masih meninggalkan dendam di hatinya. Alasan apa lagi yang mendorong Ra Tanca berbuat gila itu, hanya Ra Tanca yang tahu.”

Kali selanjutnya, Pancaksara yang gelisah. Terbaca hal itu dari langkah kakinya yang mondar-mandir maju mundur dan dua kali memutari Gajah Mada sambil memegang ujung janggut. Pancaksara kemudian berdiri tepat di depan pemuda berbadan kekar penuh otot-otot itu. Tanpa kedip Gajah Mada membalas tatapan juru warta calon pewaris jabatan ayahnya sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam pengembangan agama Buddha itu.

”Soal Tuanku akan mengawini Tuan Putri?”

Pertanyaan itu ternyata menyebabkan Gajah Mada meradang. Ia tersinggung.

”Kalau kamu mempunyai adik, apakah kamu akan mengawini adikmu. Kalau kamu punya anak, apakah kamu akan mengawini anakmu? Bila kamu lakukan itu maka kamu itu binatang.”

Dada Gajah Mada sedikit mengombak.

”Sang Prabu itu raja, ia contoh, ia bukan jenis binatang yang tak bisa membedakan mana saudara yang tidak pantas diinginkan dan mana yang boleh dan patut,” lanjut Gajah Mada.

Pancakasara tidak menjawab, tetapi otaknya berputar deras dengan pusaran melebihi cepat cakra manggilingan (= senjata berbentuk cakra).

”Lantas soal istri Ra Tanca,” Gajah Mada menambah, ”bagaimana kebenarannya, apakah ia memang benar-benar diganggu Sang Prabu? Jawabnya berupa pertanyaan yang aku berikan kepadamu. Apakah jika orang membicarakan seseorang, apa yang dibicarakan itu pasti benar dan mewakili kenyataan?”

Pancaksara manggut-manggut sambil mengelus janggutnya yang dibiarkan lebat.

”Belum tentu, adakalanya malah fitnah,” jawab Pancaksara.

”Itulah!” Gajah Mada menegas. ”Tidak seorang pun yang tahu kejadian itu, tidak seorang pun yang menyaksikan Tuanku Jayanegara mengganggu istri Ra Tanca. Maka, tak seyogianya siapa pun gegabah menuduh Sang Prabu melakukan perbuatan hina seperti itu, sebagaimana betapa tak masuk akal adanya desas-desus Sang Prabu akan mengawini adik-adiknya sendiri. Jika keinginan Sang Prabu tersebut benar, Kudamerta dan Cakradara tentu telah habis riwayatnya.”

Pancaksara masih penasaran. Desas-desus yang beredar di luar itu memang terlampau santer, demikian deras bahkan sederas arus Kali Brantas ketika hujan turun membadai di bagian hulu.

”Jadi, tidak benar Tuanku Jayanegara menginginkan adik-adiknya sebagai istri?”

”Tidak benar!” jawab Gajah Mada tegas.

”Tidak benar Tuanku Jayanegara mengganggu istri Ra Tanca?”

Gajah Mada tersenyum.

”Yang berkata demikian Ra Tanca, ia mengutip ucapan istrinya. Sebuah cerita yang tidak bisa diterima begitu saja. Ra Tanca terlalu banyak menyimpan alasan dendam untuk menghabisi hidup Sang Prabu. Sebagai raja dengan kekuasaan nyaris tanpa batas, Sang Prabu bisa mendapatkan perempuan yang lebih cantik dari istri Ra Tanca yang kurus tanpa daging itu. Menurut selera pribadiku, istri Ra Tanca bukan jenis wanita yang punya kekuatan besar dalam menarik minat lawan jenis.”

Pancaksara mencuatkan alis sambil mencatat apa yang didengar dan dikutip dari Gajah Mada itu ke dalam lipatan benaknya.

”Menurutmu istri Tanca bukan jenis perempuan yang menarik minat?”

”Ya,” jawab Gajah Mada tegas.

Pancaksara diam, namun beberapa jenak kemudian ia tidak mampu menahan diri untuk tidak tertawa, derainya mengalir deras. Gajah Mada tersenyum.

”Jangan tertawa sekeras itu, Sang Prabu saat ini mangkat.”

Dengan gerak seketika Pancaksara membungkam mulut. Gajah Mada berjalan perlahan beranjak akan meninggalkan Pancaksara, namun pandangannya masih tertuju ke raut muka Pancaksara.

”Masih ada pertanyaan lagi?”

Pancaksara menggeleng.

Gajah Mada mengayunkan langkah dan kemudian menuruni tangga menuju pahoman (= perapian pemujaan) yang mulai dinyalakan di beberapa tempat di sudut alun-alun atas perintah masing-masing pemuka agama. Pahoman juga menyala di rumah-rumah penduduk di seluruh sudut kotaraja, dinyalakan di tempat-tempat peribadatan seiring dengan haru biru yang kian bergolak. Namun, di tempat lain ada pula pahoman yang dinyalakan dengan latar belakang caci maki yang ditujukan kepada Rakrian Tanca yang dianggap sama sekali tak tahu diri. Dari bukan siapa-siapa Rakrian Tanca diangkat derajatnya menjadi satu di antara para Dharmaputra. Ia balas kehormatan itu dengan membunuh pemberinya. Pahoman juga dinyalakan di sebuah tempat peribadatan yang berada di dekat bangunan pakunjaran (= penjara). Di dalam penjara itu terdapat beberapa penjahat yang menjalani hukuman, di antara mereka terdapat perampok yang terpaksa dijebloskan ke bangunan itu akibat dari perbuatannya, di antara mereka ada yang menjalani hukuman karena pembunuhan. Namun, penjara itu juga dihuni oleh orang-orang yang berseberangan sikap dengan pemerintahan Jayanegara, terutama oleh sisa-sisa kaki tangan Ra Kuti dan pengikut Mahapati. Dari mulut orang-orang itulah kematian Jayanegara justru disambut dengan gelak tawa, bahkan terpingkal-pingkal.

Pancaksara masih berdiri di tempatnya. Dengan tatapan mata, juru warta yang masih muda usia itu memerhatikan suasana alam di sekitarnya. Dengan ketajaman mata hatinya Pancaksara mencatat semuanya. Ketika Pancaksara mengarahkan tatap matanya lurus melintas Purawaktra, tampak di sana sekelompok orang menyalakan beberapa obor.

Lingkungan istana menjadi terang benderang bukan hanya karena obor dinyalakan di sana sini, tetapi juga oleh setidaknya empat perapian berukuran besar dengan kayu ditumpuk-tumpuk. Dahana (= api) yang berkobar-kobar dengan asap yang membubung terlihat dengan amat jelas dari luar dinding kota. Bau puluhan pikul kemenyan yang dibakar sangat menyengat membawa warta duka pralaya itu benar-benar terbawa oleh angin, sementara siapa pun yang menerima warta kemenyan yang dibakar itu akan menggigil gemetar. Pengaruh bau kemenyan yang disapukan secara adil oleh angin yang membawanya terbang ke empat penjuru, bahkan bergerak lebih jauh dari suara titir yang dipukul bertalutalu dan akan membuat penerimanya gugup ketakutan, lebih dari sekadar rasa cemas oleh berita mangkatnya raja.

Di sudut langit belahan timur, bibit mendung mulai bergerak menampilkan jati diri. Mendung itu kian menebal memberangus jarak pandang terhadap bintang-bintang, bahkan juga terhadap gugusan rasi bimasakti. Seorang lelaki tua berdebar-debar menyimak angin yang berembus deras. Bagi orang tua itu, yang terjadi bukan sekadar angin deras, namun sebuah peristiwa yang di sebaliknya menyimpan makna, sebagaimana burung gagak berteriak-teriak di tengah larut malam sebenarnya tengah menyampaikan sebuah pesan. Bahkan, warna langit di matanya akan tampak berbeda. Sementara itu, bagaikan tangan-tangan hantu, bibit kabut mulai mekar beranak pinak, siap membutakan pandangan mata siapa saja.

Gajah Mada 2 (Langit Kresna Hariadi)

Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara

Chapter 2

Jika dirunut jauh ke belakang, awalnya Ken Arok yang kelak di kemudian hari bergelar Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabumi hanyalah sampah masyarakat belaka. Namanya melekat dengan sarangnya, Padang Karautan, yang berada tidak jauh dari Istana Singasari. Ia terkenal sebagai maling, perampok, penyamun, dan perbuatan tidak terpuji lainnya. Meski ia seorang penyamun, otaknya jalan dan encer, bahkan jahat. Setidaknya Ken Arok, anak pasangan suami istri Gajah Para dan Ken Endok ini bisa menggunakan akalnya untuk menggapai sebuah tujuan yang sungguh luar biasa, menjadi raja. Sebuah kesempatan yang ia peroleh setelah Brahmana Lohgawe membawanya ke Istana Pakuwon Tumapel.

Berbekal pengalaman sebagai perampok, membunuh bukan hal luar biasa baginya. Pembunuhan pertama ia lakukan kepada pembuat keris bernama Empu Gandring, yang membuatnya jengkel karena telah sekian lama keris pesanannya belum rampung juga. Keris yang dipesan masih belum sempurna, gagangnya masih gagang sementara yang terbuat dari dahan cangkring (= dahan bambu). Dengan bengis Ken Arok membenamkan pusaka itu ke dada pembuatnya, Empu Gandring, yang kemudian menjatuhkan kutukan bahwa kelak keris itu akan meminta banyak nyawa, termasuk nyawa Ken Arok.

Kebengisan berdarah dingin dan menghalalkan segala macam cara ditimpakan pula kepada Kebo Ijo (= nama prajurit Singasari yang menjadi korban fitnah Ken Arok), yang kepadanya keris itu dipinjamkan sehingga kemudian banyak orang di Tumapel mengira keris yang menancap di dada Akuwu Tunggul Ametung (= suami pertama Ken Dedes, penguasa wilayah setara kabupaten, wilayahnya disebut pakuwon) adalah milik Kebo Ijo karena sebelumnya ke mana-mana Kebo Ijo selalu pamer keris itu. Tanpa banyak bicara Ken Arok membunuh Kebo Ijo sebagai tertuduh, dengan mengabaikan saksi yang terbungkam mulutnya, Ken Dedes, anak seorang empu linuwih, Empu Purwa dari Panawijen.

Kemudian terjadilah perkawinan antara Ken Arok dan Ken Dedes yang dari awal benar-benar sudah dirancang oleh Ken Arok, bukan sekadar oleh alasan betis Ken Dedes bercahaya. Ken Arok mengawini Ken Dedes meskipun perempuan ini sedang hamil dari suaminya terdahulu. Dengan demikian, ia berhasil menggapai tahapan awal dari rencana jangka panjang yang dirancangnya. Dengan mengawini Ken Dedes, Ken Arok dengan sendirinya memperoleh kedudukan sebagai akuwu di Tumapel. Di samping Ken Dedes, Ken Arok juga mengawini Ken Umang.

Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok berputra antara lain Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Sementara itu, dari perkawinannya dengan Ken Umang, Ken Arok berputra Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wergola, dan Dewi Rambi.

Bahwa Ken Arok benar-benar berkeinginan menjadi raja, hal itu bisa dilihat dari Kediri yang menyerbunya. Perang pecah di sebuah tempat bernama Ganter. Pasukan Kediri di bawah kendali Sri Kertajaya (=raja Kediri terakhir) yang sering disebut sebagai Prabu Dangdang Gendhis dengan kekuatan jauh lebih besar bisa dikalahkan. Sri Kertajaya terbunuh dalam perang itu.

Puncak kekuasaan kemudian berhasil ia peroleh, sekaligus menjadi awal kemelut berkepanjangan dan berdarah-darah. Ken Arok menjadi raja pertama Singasari, beribu kota di Tumapel mulai 1222 hingga 1227, dalam waktu hanya lima tahun.

Anusapati (= anak Ken Dedes dari suami pertama, Akuwu Tunggul Ametung) yang tidak bisa menerima kematian ayahnya, atau barangkali oleh alasan yang lain, ia merebut kekuasaan. Dengan meminjam tangan pengalasan dari Batil, yang kepadanya dipinjamkan keris Empu Gandring, Ken Arok dibunuh. Anusapati naik takhta dan memimpin negara lumayan lama, selama 21 tahun dari tahun 1227 hingga 1248 bergelar Anusanatha.

Akan tetapi, Tohjaya (= anak Ken Arok buah perkawinannya dengan Ken Umang) tidak bisa menerima kematian ayahnya. Melalui tipu daya adu jago di sebuah pasar, Anusapati dibunuh. Anusapati dicandikan di Kidal. Tohjaya menggantikan naik takhta, menjadi raja yang ternyata tidak lebih dari setahun pada 1248.

Kematian berbalas kematian masih berlanjut. Ranggawuni (= anak Anusapati) menabuh genderang perang bahu-membahu dengan saudara sepupunya, Mahisa Cempaka (= anak Mahisa Wonga Teleng). Mereka melakukan serbuan hingga Tohjaya harus melarikan diri terbirit-birit dan mati dibunuh oleh pengusung tandunya sendiri.

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, menyelenggarakan pemerintahan atas Singasari secara bersama-sama. Ranggawuni bergelar Sri Jayawisnuwardhana, sementara Mahisa Cempaka bergelar Ratu Angabhaya atau juga disebut Narasinghamurti. Pemerintahan kakak beradik ini lumayan lama dan tenteram mencapai 20 tahun, yaitu sejak 1248 hingga 1268. Sri Jayawisnuwardhana meninggal di Mandaragiri 1268 dan dicandikan sebagai Siwa di Jayaghu.

Raja Singasari berikutnya adalah Kertanegara, anak Ranggawuni yang ngelar (= melebarkan kekuasaan) jajahan hingga ke Sumatera, Pahang, Bakalapura, dan Gurun. Baginda Kertanegara yang memimpin negeri selama 24 tahun, yaitu sejak 1268 hingga 1292 memiliki enam orang anak, empat di antaranya dikawinkan semua dengan Raden Wijaya (dari perkawinannya dengan Bajra Dewi, Kertanegara mempunyai 6 orang anak, masing-masing SriWiswarupa Kumara, Tribhuana, Narendraduhita, Pradnya Paramita, Gayatri, dan anak bungsu yangdikawinkan dengan Ardaraja).

Mengapa Kertanegara demikian menyayangi Raden Wijaya sampai keempat anak perempuannya dinikahkan semua dengannya? Hal itu tidak lain karena Raden Wijaya adalah anak dari Lembu Tal, sementara Lembu Tal adalah anak Mahisa Cempaka. Mahisa Cempaka adalah sepupu ayahanda Sri Kertanegara sendiri.

Singasari runtuh karena serbuan Raja Jayakatwang dari Gelang-Gelang, yang rupanya masih menyimpan dendam negara leluhurnya, Kediri, pernah dihancurkan. Serbuan Jayakatwang ini dilakukan tepat ketika Singasari dalam keadaan kosong. Jayakatwang mampu menusuk pada saat yang tepat karena petunjuk bekas pejabat istana, Wiraraja (= juga bernama Banyak Wide dan Arya Adikara) yang kecewa karena dilorot jabatannya sebagai demang oleh Raja Kertanegara dan menduduki jabatan sebagai bupati di Sumenep.

Raden Wijaya yang berhasil memanfaatkan tentara dari Mongol untuk menggilas Jayakatwang, mendadak melakukan tikaman ketika pasukan Mongol tidak siap, dan sisanya kembali berlayar pulang ke negerinya.

Raden Wijaya mendirikan negeri baru yang diberi nama Wilwatika, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Majapahit. Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada tanggal 15 bulan Karttika dalam sengkala Ri Purneng Karttikamasa Pancadasi (= tahun 1215 saka atau bertepatan 12 november1923) bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana yang memerintah selama 16 tahun sejak 1293 hingga 1309. Sepanjang perjalanan pemerintahan itu, bukan berarti Raden Wijaya melaluinya tanpa gejolak karena ketidakpuasan dari orang-orang yang semula mendukungnya mengemuka dalam bentuk makar.

Ranggalawe (= anak Arya Wiraraja) tercatat dalam Kidung Ranggalawe yang entah siapa penulisnya, meneriakkan dendang pemberontakan. Ia lakukan itu akibat merasa kecewa karena Nambi diangkat menjadi patih amangkubumi, padahal Ranggalawe merasa perjuangan Nambi dan sumbangsihnya untuk Majapahit belum ada apa-apanya dibanding apa yang ia lakukan, sementara ia hanya diberi jabatan sebagai adipati di Tuban. Patih amangkubumi adalah jabatan yang terhormat karena ia orang kedua setelah raja, sementara adipati meski membawahi sebuah wilayah yang cukup luas, kedudukan itu masih kalah bobot dari jabatan mahapatih.

Dengan pasukan berkekuatan segelar sepapan, Nambi menyerang Tuban. Nambi yang duduk di atas kuda bernama Brahma Cikur dihadapi Lawe yang duduk di atas kuda kesayangannya bernama Nila Ambara yang juga disebut Mega Lamat. Namun, kekhawatiran Nyai Mertaraga dan Nyai Tirtawati, dua orang istri Lawe menjadi kenyataan. Ranggalawe mati bukan oleh Nambi, namun justru Kebo Anabrang yang memberangus nyawanya. Sementara itu, Kebo Anabrang mati di tangan Sora (= pejabat penting di Majapahit, sahabat Ranggalawe), yang tidak bisa menerima kematian Ranggalawe yang demikian besar sumbangan perjuangannya pada Majapahit. Kebo Anabrang meninggalkan seorang anak bernama Kebo Taruna atau Kebo Anabrang Taruna yang menurut Undang-Undang Kutaramanawa (= Kitab Undang-Undang Majapahit, sekarang semacam KUHP) punya hak untuk menuntut balas kematian ayahnya. Menurut undang-undang tersebut, Lembu Sora bisa dihukum mati. Salah satu ayat Kitab Kutaramanawa menyebut siapa yang melakukan pembunuhan, sebagai hukumannya ia harus dibunuh. Mahapati (= sosok pejabat penting di Majapahit, S. Tidjab, pengarang drama Tutur Tinular memberinya nama Ramapati) memanfaatkan itu sebagai bahan fitnahnya. Lembu Sora yang amat berpeluang menjadi pesaing nafsunya berada di sasaran bidiknya.

Kematian Ranggalawe memang layak ditangisi setidaknya oleh Nyai Mertaraga dan Nyai Tirtasari, yang memutuskan bunuh diri untuk menemani suaminya. Arya Adikara atau Banyak Wide yang juga bernama Arya Wiraraja sangat kecewa atas kematian putra kesayangannya. Ia memutuskan menghadap Sang Prabu untuk menagih janji. Dahulu ketika Raden Wijaya terbirit-birit meminta perlindungan ke Sumenep, ia berjanji kelak akan membagi dua kerajaan dengan Wiraraja. Raden Wijaya memenuhi janji itu dengan menyerahkan wilayah negara bagian timur ke selatan hingga pantai yang memuat tiga juru. Sejak itu Arya Adikara berdiri sendiri sebagai raja di Lumajang dan tidak harus menghadap raja.

Usai persoalan Ranggalawe, ketenangan pemerintahan Majapahit kembali terusik. Kali ini yang melakukan makar adalah Lembu Sora, yang terpaksa berhadapan dengan kekuatan Majapahit karena hasutan Mahapati yang merasa Lembu Sora merupakan batu sandungan mimpinya menggapai jabatan mahapatih. Tarikh saka 1222 atau masehi 1300, pemberontakan itu terangkai dalam Kidung Sorandaka yang merupakan padanan kata dari Andakasora atau Lembu Sora. Dalam peristiwa itu, Sora, Gajah Biru, dan Juru Demung gugur. Berhasil siasat Mahapati dalam menggapai mimpi-mimpinya.

Tindakan makar masih akrab dengan Majapahit. Ketika pemerintahan bergeser ke tangan Jayanegara, justru Patih Nambi, orang yang mestinya tidak mungkin melakukan pemberontakan terpaksa mengangkat senjata. Nambi memberontak hanyalah korban dari gelegak nafsu Mahapati yang amat ingin menduduki jabatan mahapatih. Nambi dihasut, raja juga dihasut, Mahapati menyebar fitnah ke sana sini, menyudutkan Nambi yang terpaksa harus membangun benteng di Pajarakan, memperkuat kekuatan di Ganding dan Lumajang. Namun, tanpa ampun Sang Prabu Jayanegara yang terhasut fitnah Mahapati menggilasnya.

Lalu Ra Kuti….

Gajah Mada 2 (Langit Kresna Hariadi)

Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara

(Chapter 1)

Duka membayang di kaki langit, duka sekali lagi membungkus Majapahit.

Ada banyak hal yang dicatat Pancaksara (= nama asli Prapanca, penulis Negarakertagama), banyak sekali. Kesedihan kali ini terjadi bagai pengulangan peristiwa sembilan belas tahun yang lalu, yang ditulisnya berdasar kisah yang dituturkan ayahnya, Samenaka, karena ketika peristiwa itu terjadi Pancaksara masih belum bisa dibilang dewasa.

Kala itu tahun 1309. Segenap rakyat berkumpul di alun-alun. Semua berdoa, apa pun warna agamanya, apakah Siwa, Buddha maupun Hindu. Semua arah perhatian ditujukan dalam satu pandang, ke Purawaktra yang tidak dijaga terlampau ketat. Segenap prajurit bersikap sangat ramah kepada siapa pun karena memang demikian sikap keseharian mereka. Lebih dari itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama, oleh duka mendalam atas gering (= sakit) yang diderita Kertarajasa Jayawardhana (= gelar Raden Wijaya setelah menjadi raja).

Segenap kawula yang mencintai rajanya memang amat berharap raja akan sembuh dan kembali memimpin negara menuju kejayaan yang lebih bercahaya dan cemerlang. Akan tetapi, Hyang Widdi mempunyai kehendak lain. Napas Sang Prabu makin tersengal, tarikannya kian tersendat, kesadarannya makin berkurang seiring sakit yang diderita yang tak tersembuhkan. Para tabib yang didatangkan untuk menyembuhkan Sang Prabu angkat tangan tanda menyerah.

Kalagemet (= satu-satunya anak lelaki keturunan Raden Wijaya, kelak bergelar Sri Jayanegara) yang ketika itu masih bocah, berdiri bersandar tiang saka dan terlihat pucat, sementara kegelisahan terbaca jelas dari wajah para ibundanya. Ibu Permaisuri Tribhuaneswari (=  nama lengkapnya Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuaneswari, istri pertama Raden Wijaya yang didudukkan sebagai permaisuri) menelungkupkan wajah di sudut pembaringan dengan tangan kanan tidak henti-hentinya membusai rambut ikal Sang Prabu. Cinta Permaisuri kepada Raja demikian besar dan mendalam sehingga bayangan perpisahan yang akan terjadi demikian menakutkan. Bagaimana tidak, perjalanan hidup yang dijalani bersama terlalu banyak menyimpan cerita. Dimulai ketika Singasari tidak bisa dipertahankan lagi akibat gempuran Kediri di bawah Jayakatwang, Sang Prabu Kertanegara yang melihat negara mustahil dipertahankan menyerahkan keselamatan anak-anaknya kepada Raden Wijaya. Pontang-panting Raden Wijaya mengatur penyelamatan meloloskan diri. Lalu, disusul perjuangan berikutnya yang tak kalah berat, mendirikan negara baru di tanah Tarik hingga akhirnya menjadi negara Majapahit yang bisa memberikan ketenteraman dan kemakmuran kepada segenap rakyatnya. Terlalu banyak kenangan yang sulit dilupakan.

Beku di sebelahnya, Ibu Ratu Narendraduhita (= nama lengkapnya Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, istri kedua Raden Wijaya), duduk termangu dengan tatapan mata tak beralih dari raut muka suaminya. Pandangan matanya kosong tidak bercahaya, dibalut cemas membayangkan perpisahan sejati akan terjadi. Di arah kaki Sang Prabu, Ibu Ratu Pradnya Paramita (= nama lengkapnya Sri Jayendradewi Dyah Dewi Pradnya Paramita, istri ketiga Raden Wijaya) berlinang air mata dan berulang kali menyeka pipi dalam upaya kerasnya berdamai dengan diri sendiri. Meski Ibu Ratu Pradnya Paramita telah berusaha mendamaikan diri, apa yang ia lakukan bukanlah pekerjaan yang gamp ang, terbaca amat jelas kecemasan itu dari komat-kamit di mulutnya dan tangannya yang selalu gemetar.

Berhadapan dengan Ibu Ratu Narendraduhita, Ibu Ratu Rajapatni Gayatri (= nama lengkapnya Sri Jayendradewi Dyah Dewi Gayatri, istri keempat Raden Wijaya, kepadanya melekat sebutan Rajapatni, juga dipanggil sebagai Ratu Biksuni) yang dalam setahun terakhir mempersiapkan diri menjadi seorangbiksuni, justru terlihat amat tenang, tidak tampak kesedihan di wajahnya. Ibu Ratu Gayatri sangat sadar bahwa pada dasarnya kematian merupakan pintu gerbang menuju nirwana yang kedatangannya tidak perlu ditangisi. Pada suatu tingkat kesadaran, kematian justru harus disambut dengan kebahagiaan, toh kematian akan menimpa siapa saja, juga raja. Itu sebabnya, Ibu Ratu Gayatri selalu menampakkan raut wajah yang sangat bersih, raut muka ikhlas. Segenap abdi perempuan sangat dekat dengan Ibu Ratu Gayatri. Namun, kedekatan itu berbalut rasa amat hormat dan segan.

Duduk berseberangan dengan Permaisuri Tribhuaneswari, Stri Tinuhweng Pura (= gelar yang diberikan Raden Wijaya kepada Dara Petak, istri kelimanya karena memberi keturunan laki-laki yang berarti ”istri yang dituakan di pura”) tak bisa menghapus jejak kesedihan yang amat mendalam. Awal kisah perjalanan hidupnya yang semula berasal dari Swarna Bumi, anak dari Prabu Maulia Warma Dewa yang negaranya ditaklukkan dan menjadi perempuan boyongan untuk kemudian diperistri oleh Raja, setidaknya dari suami yang lambat laun dicintainya itu terlahir keturunan yang sangat berpeluang menjadi raja karena merupakan satusatunya anak lelaki, Kalagemet. Demikian besar cintanya kepada Sang Prabu, cinta yang tumbuh sedikit demi sedikit lalu menjadi bergumpalgumpal, Stri Tinuhweng Pura merasa amat pantas menemani Sang Prabu kembali menghadap Sang Maha Pencipta andaikata sakit yang dideritanya berujung ke kematian.

Pancaksara mencatat semua yang didongengkan ayahnya itu dan diguratkan ke berlembar-lembar rontal (= berasal dari dua kata ron dan tal, ron berarti daun, merupakan lembaran daun tal yang digunakan sebagai alat mencatat). Pancaksara juga mencatat warna kesedihan yang serupa yang terpancar dari wajah segenap kawula yang melakukan pepe (= unjuk rasa) di alun-alun. Akan tetapi, pepe kali ini dilakukan justru untuk mendoakan kesembuhan rajanya yang sangat dikasihi bukan pepe yang dilatari unjuk rasa atas nama ketidakpuasan. Sedih itu sungguh bisa dibaca dari wajah-wajah gelisah, dari segala keluh kesah.

”Aku rela bertukar tempat,” kala itu seseorang terdengar berbicara. ”Biar aku sajalah yang menderita sakit sebagai penukar, asal Sang Prabu sembuh.”

Dan ketika bende Kiai Samudra dipukul bertalu, tangis serentak membuncah. Ayunan pada bende yang getar suaranya mampu menggapai sudut-sudut kota merupakan isyarat yang sangat dipahami. Gelegar bende dengan nada satu demi satu, namun berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran merupakan pertanda Sang Prabu mangkat. Semua orang yang mendengar isyarat itu merasa denyut jantungnya berhenti berdetak.

Di bilik pribadinya, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana yang ketika muda sangat dikenal dengan sebutan Raden Wijaya membeku. Empat dari lima istrinya meledakkan tangis dan hanya Rajapatni Gayatri yang tidak. Ratu Gayatri masih tetap dengan wajah sejuknya, dengan lembut berusaha menenangkan kakak-kakaknya dan berusaha mengatasi Dara Petak yang pingsan kehilangan kesadaran diri. Ratu Gayatri juga menghibur Kalagemet yang terhenyak bersandar dinding dengan mulut bergetar komat-kamit tak jelas mengucapkan apa.

Pancaksara mencatat semua itu! Peristiwa itu terjadi tahun saka 1231. Layon dimakamkan di dalam pura yang disebut pemakaman Antahpura. Sebagai penghormatan untuknya didirikanlah arca Jina di dalam pura dan Siwa di Simping. Beberapa hari kemudian, Kalagemet yang telah menyandang kedudukan sebagai kumararaja (= putra mahkota atau Pangeran Pati) dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahandanya.

1309 dendang duka ditembangkan nglangut (= sedih, menyedihkan) karena Sang Prabu Sri Kertarajasa Jayawardhana wafat. Raja Wilwatikta (= nama lain Majapahit, artinya buah maja yang pahit) itu dicandikan sebagai Siwa di Simping dan sebagai Buddha di Antahpura (= nama kompleks makam kerabat istana, diduga Antahpura berada di Trowulan) dengan arca perwujudan berbentuk Harihara atau Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Hanya berselang beberapa tahun setelah itu, Kalagemet kembali menahan sesak di dada karena ibunda tercinta yang melahirkannya terkabul apa yang diinginkan. Hyang Widdi berkenan mencabut nyawanya dan memberi kesempatan kepada Dara Petak yang oleh suaminya diberi gelar Stri Tinuhweng Pura, menyusul ke alam langgeng.

Setelah kematian-kematian itu, adakah kini pencandian yang sama harus disiapkan pula? Kini, 1328, hampir dua puluh tahun setelah kematian Prabu Wijaya, atau sembilan tahun setelah pemberontakan Ra Kuti pada 1319.

Berita itu masih simpang siur dan belum diketahui kejelasannya. Namun, berita itu tak kalah menyesakkan dada dibanding apa yang terjadi beberapa tahun lampau yang demikian sempurna dalam menyesakkan dada. Hal itu terjadi merupakan sisa-sisa ulah para Dharmaputra Winehsuka (= gelar yang diberikan Sri Jayanegara kepada Ra Kuti dan teman-temannya, mereka adalah Rakrian Kuti, Rakrian Tanca, Rakrian Wedeng, Rakrian Banyak, Rakrian Pangsa, Rakrian Yuyu, dan Rakrian Semi) yang masih tertinggal jejak lukanya meski telah sembilan tahun lewat, melalui perbuatan Ra Tanca yang tidak bisa melupakan dendam lama.

1319, didorong oleh nafsunya untuk menjadi orang paling utama di Majapahit, Ra Kuti memimpin anak buahnya mengangkat senjata menyebabkan Raja harus terusir ke Bedander, sebuah tempat yang sangat jauh dari Ibukota Majapahit, menusuk masuk ke wilayah Pegunungan Kapur Utara. Pemberontakan yang dilakukan Ra Kuti menimbulkan penderitaan luar biasa, perang menyebabkan banyak korban nyawa mati sia-sia, banyak istri yang mendadak menjadi janda, banyak anak kehilangan orang tuanya, atau orang tua kehilangan anaknya, kisah tentang perempuan diperkosa riuh terjadi di mana-mana.

Beruntung keadaan kacau-balau itu berhasil diredam. Pasukan Bhayangkara memberi sumbangsih sangat besar dalam memberikan serangan balik yang sangat mematikan. Petualangan sangat berdarah itu berakhir dengan kematian Ra Kuti dan segenap pengikutnya, Ra Wedeng, Ra Banyak, Ra Yuyu, dan Ra Pangsa tumpes tapis (= ditumpas tanpa sisa) kecuali Ra Tanca yang pilih menyerahkan diri. Peristiwa makar ini melambungkan nama Gajah Mada yang hanya menyandang pangkat bekel, tetapi karena keberanian dan kecerdasan otaknya mampu menyelamatkan Raja dari marabahaya dan mengembalikannya ke tampuk pimpinan negara.

Istana yang dijarah telah dikembalikan, dampar kencana (= kursi emas, tempat duduk raja) kembali diduduki Sri Jayanegara, yang pada namanya melekat abiseka Sri Sundarapandyadewanama Maharajabhiseka Sri Wisnuwangsa. Selama nawa surya (= sembilan tahun matahari) setelah Rakrian Kuti melakukan makar, Kalagemet berjuang sekuat tenaga memulihkan luka-luka lama, bekerja keras mengembalikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.

Berita itu masih simpang siur karena belum ada keterangan resmi yang diberikan istana. Semua masih kabur. Kawula yang berkerumun di alun-alun, mereka yang berteduh di bawah rindangnya pohon bramastana (= pohon beringin), pohon tanjung, dan kesara yang berjajar di sepanjang jalan, atau yang sambil duduk di sudut alun-alun sibuk menduga dan dengan sabar tetap menunggu bagaimana kabar terakhir raja mereka.

Awalnya tersebar berita Kalagemet Sri Jayanegara jatuh sakit, dengan jenis sakit yang tidak luar biasa. Kasak-kusuk yang berkembang, sakit yang diderita Jayanegara hanya berupa bisul. Namun, bisul itu mengeram di pantat Sang Prabu sehingga sangat mengganggu duduk dan tidurnya.

Rakrian Tanca yang diampuni, Rakrian Tanca yang sembilan tahun terakhir menekuk wajah amat dalam, kepadanya dipercayakan tugas mengobati Sang Prabu, membebaskannya dari penderitaan yang mengganggu ketenangan duduknya, membebaskan dari sakit yang berkepanjangan.

Akan tetapi, Ra Tanca, orang yang dianggap paling mumpuni dalam olah pengobatan memanfaatkan kesempatan yang diberikan kepadanya. Oleh sebuah alasan Rakrian Tanca sangat membenci Jayanegara. Maka, ketika ia diundang ke istana diminta mengobati Raja, digunakan kesempatan itu untuk mendendangkan tembang kematian. Bukan ramuan obat yang diminumkan kepada Sri Jayanegara, tetapi racun yang amat mematikan.

Jayanegara menggeliat kesakitan, dan itu sudah menjadi alasan yang amat kuat bagi Gajah Mada untuk membenamkan senjatanya tepat ke jantung Rakrian Tanca. Terhenyak Ra Tanca yang memang dengan sengaja menunggu kematiannya, kematian yang disambutnya dengan tersenyum.

Prajurit muda yang sebenarnya menyimpan masa depan cerah itu menghadang sekarat dengan mendekap gagang keris yang membenam tepat di tengah dadanya, merobek sebagian otot-otot yang mengikat jantungnya sekaligus menebarkan kekuatan racun yang mengalir mengikuti darah. Ra Tanca memejam dengan tubuh jatuh terduduk di bawah pandangan ngeri dari mereka yang hadir di ruangan itu. Ra Tanca sekali lagi tersenyum, yang diarahkan senyum mesra itu kepada Dyah Wiyat (= anak perempuan kedua Raden Wijaya yang terlahir dari Ratu Gayatri ) yang berdiri berdampingan dengan calon suaminya. Dyah Wiyat, sangat memahami apa makna senyum dan tatapan mata yang dilontarkan Ra Tanca kepadanya. Sebuah ungkapan perasaan yang membuatnya kebingungan, sebagaimana Dyah Wiyat tidak berhasil memahami perasaan apa sebenarnya yang bersembunyi jauh di lipatan hatinya karena terlalu sulit melupakan wajah tampan itu. Mengapa pula Rakrian Tanca selalu menyelinap di mimpi-mimpinya, mengapa pula ia sering merasa rindu kepadanya. Sekarat yang dialami laki-laki itu secara nyata menimbulkan rasa nyeri di kedalaman kalbunya.

Lelaki itu, Dharmaputra Winehsuka Rakrian Tanca mulai memejam mata. Ra Tanca sadar, kematian akan segera tiba, tetapi Ra Tanca tidak telaten menunggu kedatangannya. Ra Tanca yang merasa masih menyimpan kekuatan segera memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menggoyang gagang keris di genggaman tangannya supaya mempercepat sekaratnya. Lirikan mesra kembali dilontarkan kepada kekasih pujaan hatinya, juga dilontarkan pandangan redup itu kepada Gajah Mada yang berdiri membeku di depannya.

Bagaskara manjer kawuryan (= matahari terang benderang, kalimat sandi yang digunakan Ra Tanca, baca buku Gajah Mada I),” gumam Ra Tanca berasal dari sisa tenaga yang masih ada.

Rakrian Tanca ambruk terguling dan geliat tubuhnya adalah saatsaat nyawa oncat dari tubuhnya. Darah berwarna merah kehitaman yang mengucur tidak seberapa deras menggenangi lantai merupakan tanda bahwa keris penghias pinggang milik Gajah Mada itu amat beracun karena racun warangan (= arsenikum) yang dilulurkan ke senjatanya sangat pekat. Racun warangan itu sendiri dibuat oleh Rakrian Tanca atas permintaan Gajah Mada. Meski Rakrian Tanca kebal terhadap racun ular, ia tidak kebal terhadap racun warangan.

Apa yang diucapkan Ra Tanca menyebabkan Gajah Mada terhenyak. Gajah Mada amat terkejut karena kalimat sandi itu keluar justru dari mulut Rakrian Tanca. Sembilan tahun lamanya Gajah Mada terganggu oleh teka-teki itu. Kini rahasia itu terjawab dari mulut yang segera mengatup.

”Jadi, kamu orangnya?” Gajah Mada melontarkan rasa kagetnya.

Namun, Ra Tanca tidak mungkin menjawab pertanyaan itu karena nyawanya telah melesat melayang, membubung meninggalkan raganya yang tak bisa ditempati. Kematian Ra Tanca dengan beban rasa sakit luar biasa menyebabkan matanya membeliak. Gajah Mada segera mengusap mata itu agar memejam.

Di sudut ruang, Dyah Wiyat menundukkan wajah berusaha sekuat tenaga menguasai diri. Kematian Ra Tanca, sangat tidak dimengerti mengapa memberi guncangan luar biasa di dadanya.

Perhatian segenap yang hadir di ruangan itu segera beralih kepada Jayanegara. Racun yang diminum mulai menjalar. Gajah Mada layak merasa cemas karena ia mengenal dengan baik siapa Rakrian Tanca, bagaimana kemampuan yang dimiliki tabib berusia amat muda itu. Rakrian Tanca gemar bermain-main dengan racun paling mematikan, racun warangan yang dibalurkan ke keris dan ujung tombak maupun trisula, yang setiap goresan dijamin akan menjadi pembuka pintu gerbang kematian. Ra Tanca juga gemar bermain-main dengan racun berbagai jenis ular mematikan, mulai dari jenis bandotan sampai weling. Ra Tanca sendiri kebal terhadap racun-racun itu karena selalu menelan empedunya, sebaliknya tidak dengan Jayanegara.

Racun yang diminumkan kepada Raja Majapahit itu tentu merupakan jaminan, korban tak mungkin selamat. Namun, Gajah Mada tidak mau menyerah. Meski tidak seperti Ra Tanca yang amat menguasai ilmu pengobatan, walau sedikit Gajah Mada memahami bagian-bagian paling sederhana, seperti tindakan apa yang harus dilakukan untuk menawarkan racun yang telanjur masuk ke tubuh. Perintah diberikan kepada seorang prajurit untuk segera mencari kelapa muda dari jenis degan ijo (= kelapa muda hijau) yang diyakini mampu menawarkan berbagai jenis racun dengan menyerapnya.

Mayat Ra Tanca yang digotong keluar itulah yang dengan segera mengagetkan para kawula yang melakukan pepe di alun-alun. Sejak senja hingga petang ratusan orang berkumpul, bersama-sama mendoakan agar raja muda anak Raden Wijaya itu segera sembuh. Akan tetapi, yang tidak terduga terjadi. Arah angin mendadak berubah.

”Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya seorang prajurit yang belum mengetahui duduk persoalannya.

”Ra Tanca diminta mengobati Baginda, tetapi Ra Tanca malah meracun Sang Prabu,” jawab prajurit yang lain.

”Ha?” beberapa prajurit yang menggerombol terkejut.

Mayat Ra Tanca yang digotong keluar memang menimbulkan kecemasan, yang tak ubahnya penyakit lalu menular, menular dan menular, menulari siapa saja, menular dari prajurit ke prajurit, menular ke para abdi dalem istana, menular kepada beberapa orang yang menggerombol tak jauh dari Purawaktra dan dengan segera berubah menjadi ledakan yang amat menggelisahkan siapa pun. Berita mengejutkan itu dengan segera menjalar ke sudut-sudut kotaraja. Nyaris semua kawula yang tinggal di balik dinding batas kotaraja terhenyak. Kawula yang tinggal di luar dinding batas kotaraja ada juga yang mendengar berita itu.

Pancaksara mencatat semua kejadian itu, sebagaimana dahulu Pancaksara mencatat lewat barisan pupuh kakawin yang ditulis berdasar tuturan Samenaka yang amat ia cintai dan hormati, tentang bagaimana kesedihan sewarna menjalar saat dulu Prabu Kertarajasa Jayawardhana mangkat. Pancaksara mencatat semua kegelisahan. Pancaksara mencatat warna langit yang berubah menjadi lembayung dan kali ini ketika kematian Jayanegara terjadi, langit pun berwarna lembayung. Pancaksara juga mencatat tembang paling menyayat yang didendangkan seorang perempuan tua di kaki Bajang Ratu (= pintu gerbang Istana Majapahit bagian selatan). Perempuan itu timpuh (= duduk bersimpuh).

Duh Gusti kang Maha Agung, mugi paringa kawelasan dhumateng sinuwun rajaning nagari, paringana panjang yuswanira, linuputna saking dosa (= Ya Tuhan Yang Maha Besar, berilah belas asih kepada raja negeri, berilah panjang usianya, bebaskan dari dosa-dosa).”

Manakala Pancaksara, sang juru warta itu mendekat, teraduk hatinya melihat mata perempuan itu berkaca-kaca. Sungguh, itu merupakan pertanda betapa perempuan itu sangat mencintai rajanya.

Lembayung langit berubah menjadi gelap malam dengan bintangbintang bertaburan di nabastala (= langit). Ratusan orang tetap bertahan menunggu kabar terakhir bagaimana keadaan raja mereka. Mereka tetap bertahan dengan duduk hanya beralas rerumputan atau bersandar pagar ringin kurung yang memagari pohon bramastana berukuran amat besar di tengah alun-alun. Tanpa ada yang memerintah, beberapa orang menyalakan obor untuk menerangi. Mereka yang membaca pertanda alam makin gelisah karena sepasang burung gagak hinggap di salah satu dahan, dengan suaranya yang melengking menyebabkan siapa pun yang mendengar merasa tidak nyaman. Seseorang memungut sebuah batu berniat mengusir burung itu, tetapi seorang laki-laki tua pembaca pertanda alam melarang ia melakukannya.

Di bilik pribadi Sri Jayanegara, keadaan raja muda itu makin mengenaskan. Sekujur tubuhnya berubah menjadi biru karena bulirbulir darahnya mulai pecah. Ibu Ratu Tribhuaneswari dengan penuh rasa sayang membusai rambut ikalnya, sementara duduk di sebelahnya Ibu Ratu Narendraduhita memegang tangan Jayanegara. Meski Jayanegara bukan anak kandungnya, kasih sayang yang diberikan Ibu Ratu Narendraduhita tak ubahnya seperti kepada anak kandung sendiri.

Ibu Ratu Pradnya Paramita tak kalah berduka. Dengan pandangan mata cemas, perempuan bertubuh langsing itu menumpangkan tangan kanannya di dada Jayanegara. Sementara itu, Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang sempat terguncang oleh kematian Ra Tanca yang terjadi di depan mata kembali berusaha membersihkan hati. Ratu Gayatri berusaha mengembalikan cara pandangnya bahwa apa yang terjadi itu telah tersurat, menjadi pepesthen (=takdir) yang telah digariskan Sang Pencipta semesta jagat raya.

Wajah Dyah Wiyat dan Sri Gitarja (= anak perempuan pertama buah perkawinan Raden Wijaya dengan Gayatri, Sri Gitarja adalah kakak kandung Dyah Wiyat) pucat pias melihat secara langsung napas Jayanegara yang kian melemah. Gajah Mada yang merasa keadaan Kalagemet tidak akan tertolong menunggu saat itu terjadi dengan jantung yang berlarian. Demikian tegangnya Gajah Mada sehingga tidak sadar gelung keling-nya (= rambut yang diikat/digelung melingkar di atas kepala)terurai. Di belakang mereka masing-masing, berdiri Cakradara (= calon/kelak suami Sri Gitarja) dan Kudamerta Breng Pamotan (= Kuda Amreta, calon/kelak suami Dyah Wiyat, kelak ia akan bergelar Bre Wengker Wijaya Rajasa Hyang Parameswara) dengan raut muka tak kalah pucat.

Pintu yang kemudian terbuka adalah untuk memberi kesempatan kepada Arya Tadah (= memiliki nama lain Empu Krewes), Mahapatih Amangkubumi Majapahit yang ingin mengetahui bagaimana keadaan rajanya. Tadah datang di saat yang tepat. Arya Tadah tidak datang terlambat untuk sekadar menjadi saksi. Bergegas Arya Tadah yang tua itu mendekat, gemetar tangannya menyentuh kaki Sang Prabu.

Dan, suara bende Kiai Samudra itu…. Suara bende itu siapa pun tahu artinya. Senyap yang memberangus adalah nestapa bagi siapa pun yang mencintai Raja. Suaranya yang menggelegar terdengar sampai ke sudut-sudut kotaraja. Bende yang dipukul satu-satu, berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran, merupakan pengulangan apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya manakala raja pertama Majapahit yang sangat dicintai dan dihormati mangkat.

Senyap! Udara terasa hampa dan mengiris. Isak tangis meledak di istana. Segenap emban yang tinggal di bangsal khusus yang disediakan untuk mereka mengucurkan air mata. Kematian Sri Jayanegara sungguh merupakan kematian yang tidak diduga. Sakit Sang Prabu adalah sakit biasa. Ada yang menyebut badannya diserang demam panas, ada juga yang mengatakan Sri Jayanegara sakit di saluran kencingnya, ada yang menyebut Sang Prabu menderita bisul atau wudun di pantat. Pendek kata, sakit Sang Prabu hanya sakit biasa. Siang sebelumnya Sang Prabu bahkan masih sempat berjalan-jalan mengelilingi istana memerhatikan kerusakan di bangunan pendapa istana sudut utara. Kedekatan emban dengan rajanya menyebabkan sangat mungkin seorang abdi bercanda dengan rajanya. Kini petang harinya, Raja tiba-tiba tiada. Laksana petir menggelegar ketika langit benderang warta itu menyengat gendang telinga.

”Sang Prabu,… Sang Prabu,” seorang emban bertubuh gemuk menangis amat sesenggukan.

Emban gemuk itu bahkan semaput merepotkan beberapa prajurit yang terpaksa harus menggotongnya menepi.

Di antara para Ibu Ratu yang terpukul hatinya, hanya Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang bisa berpikir sangat tenang. Ratu Gayatri yang terlihat masih cantik karena kebersihan hatinya itu sibuk menenteramkan kakaknya, Ibu Ratu Tribhuaneswari yang amat terpukul. Sebenarnyalah dalam mencintai Sri Jayanegara, Tribhuaneswari merasa seperti dirinya yang melahirkan Kalagemet. Ketika dahulu Dara Petak masih hidup, Tribhuaneswari menyayangi maru (= perempuan lain yang diperistri suami, dimadu) itu tidak ubahnya menyayangi adik-adiknya. Sama sekali tak ada rasa cemburu di hatinya, tidak merasa iri meski Dara Petak dinaikkan derajatnya setara permaisuri dengan sebutan Stri Tinuhweng Pura, yang bermakna istri yang dituakan di pura.

Gajah Mada terbangun dari bingungnya ketika Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang berdiri bersebelahan dengan Mahapatih Arya Tadah menyentuh tangannya. Gajah Mada segera mengambil sikap dan memberikan penghormatannya.

”Gajah Mada,” ucap Ratu Gayatri dengan suara sangat tenang.

”Hamba, Tuan Putri Ratu,” jawab Gajah Mada.

”Janganlah kau kehilangan akal, berpikirlah dengan tenang dan bertindaklah. Janganlah kau ikut-ikutan bingung sampai tidak tahu apa yang harus dikerjakan,” ucap Gayatri sambil mengalungkan selempang samir di lehernya.

Samir itu bukanlah sembarang samir karena dengan selempang samir itu Gajah Mada memegang kekuasaan luar biasa untuk mengatur penyelenggaraan pemakaman Raja. Selempang samir itu juga menjadi pertanda segenap prajurit apa pun pangkatnya harus tunduk pada perintahnya.

Arya Tadah tidak mau ketinggalan. Arya Tadah melepas lencana kepatihan yang dikenakan dan menyematkan lencana itu ke dada kanan Gajah Mada. Siapa pun yang berhadapan dengan Gajah Mada tak ubahnya berhadapan dengan Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah sendiri.

Gajah Mada mengangguk dan segera memberikan sembah penghormatannya. Gajah Mada mengarahkan pandangan matanya ke arah Mahapatih Tadah, barangkali ada perintah lain. Akan tetapi, Arya Tadah hanya mengangguk. Seumur-umur belum pernah Gajah Mada melihat mata Arya Tadah basah. Namun, kematian Kalagemet berhasil memaksa mata kakek tua itu membasah. Mahapatih Arya Tadah memang layak kehilangan. Di sepanjang perjalanan hidupnya, ia mendampingi Sri Jayanegara sedari masih bocah, dimulai jauh ketika Arya Tadah belum menjabat mahapatih. Bagi Arya Tadah yang uzur, Jayanegara tak ubahnya seperti anak kandungnya sendiri. Kematian Jayanegara melalui pembunuhan itu benar-benar mengiris hatinya.

Sembilan tahun yang lalu, ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Ra Kuti, Gajah Mada masih berpangkat bekel ketika memimpin pasukan Bhayangkara melakukan penyelamatan atas Sri Jayanegara melalui pengawalan luar biasa dengan menempuh perjalanan amat jauh menusuk ke Pegunungan Kapur Utara. Karena jasa-jasa yang luar biasa itulah Gajah Mada dibebaskan dari tugas memimpin Bhayangkara dan kepadanya dianugerahkan jabatan sebagai patih di Jiwana mendampingi Sri Gitarja sebagai pemangku wilayah Kahuripan. Terakhir Gajah Mada menduduki jabatan patih di Daha mendampingi Breh Daha atau Dyah Wiyat yang menjadi pemangku wilayah itu.Tugas berat memimpin dan membina pasukan Bhayangkara selanjutnya diserahkan kepada Gajah Enggon yang juga memiliki nama Gajah Pradamba. Untuk kedudukan itu, pangkat Gajah Enggon dinaikkan menjadi senopati. Melihat sejarah di belakang, pasukan Bhayangkara tidak mungkin melupakan Gajah Mada. Pengaruh Gajah Mada yang sangat kuat dan mengakar di pasukan itu menyebabkan Gajah Enggon serasa berada di balik bayang-bayangnya.

Gajah Pradamba terpilih menjadi pimpinan pasukan Bhayangkara karena ia tidak mempunyai cacat. Sebaliknya, Gagak Bongol yang sangat berkeinginan menjadi orang pertama di pasukan pilihan itu terpaksa hanya bisa gigit jari. Sembilan tahun yang lalu Gagak Bongol melakukan kesalahan karena telah menghukum mati seorang prajurit Bhayangkara yang tidak bersalah. Kekeliruan itulah yang harus ditebusnya hingga kurun waktu yang panjang. Gagak Bongol mestinya harus berhadapan dengan Undang-Undang Kutaramanawa, namun Jayanegara telah menyelamatkannya. Tuduhan terhadap Gagak Bongol dapat dipatahkan dengan meletakkan kesalahannya pada Bango Lumayang atau Singa Parepen. Singa Parepen yang bersalah, bukannya Gagak Bongol.

”Perintah apa yang akan kauberikan kepadaku, Kakang Gajah?”

Patih Daha Gajah Mada mengarahkan perhatiannya ke kegelapan malam yang pekat, telinganya menangkap suara burung gagak di kejauhan.

”Siagakan pasukan dan siapkan apa pun yang dibutuhkan untuk pemakaman Sri Baginda,” Gajah Mada memberikan perintahnya.

Tandya! (= siap)” jawab pimpinan pasukan Bhayangkara Gajah Enggon sigap.

Istana berduka. Bende Kiai Samudra terus dipukul tiada henti menjadi sebuah isyarat tanpa henti, memberi tahu siapa pun dan di mana pun bahwa Baginda Sri Jayanegara telah tiada. Segenap penduduk kotaraja dari ujung ke ujung sambung-menyambungkan warta itu lewat mulut ke mulut. Mereka yang saling berpapasan di sawah, atau para lelaki yang baru turun dari hutan mencari kayu saling bertukar warta. Sementara itu, siapa pun yang belum menerima kabar mengenai kematian Raja segera mengetahui jawabnya melalui suara gelegar bende utama yang terus dipukul tidak ada hentinya.

Seorang blandong (= penebang kayu) bergegas pulang dari mencari kayu di hutan mengusung gelisah di dadanya. Kepada seorang tetangga ia bergegas menumpahkan rasa kaget dan penasarannya.

”Itu isyarat kematian?” tanya lelaki itu.

”Ya,” jawab tetangganya.

”Siapa meninggal?” lanjut petani yang baru pulang dari sawah.

Sinuhun (= raja) mangkat.”

Betapa tegang petani itu, wajahnya menebal.

”Sinuhun Jayanegara?”

”Ya.”

Petani itu terhenyak. Oleh alasan yang hanya ia sendiri yang mengetahui, petani itu jatuh terduduk dan menangis sesenggukan, bahkan meraung-raung.

Gelegar Kiai Samudra masih berkumandang menyapa petang, menyapa siapa saja. Tak hanya gelegar Kiai Samudra tanda isyarat yang dilepas dari istana, ketika sebuah sangkakala ditiup melengking disusul beberapa anak panah berapi dikirim memanjat langit, segenap prajurit yang melihat isyarat itu bergegas mengartikannya.

Manakala lima buah panah sanderan membubung dengan membawa suara melengking memekakkan telinga maka segera dijawab oleh melesatnya anak panah sanderan pula dari beberapa tempat sebagai jawaban, tanda memahami perintah itu. Tambur ditabuh berderap di belakang dinding Sentanaraja (= kompleks perumahan kerabat istana). Tambur juga dipukul di Jatipasar (= nama tempat tak jauh dari lapangan Bubat), orang-orang yang berniat menggiring pulang ternak gembalaannya dari lapangan Bubat (= nama tanah lapang) terhenyak.

Isyarat panah sanderan susul-menyusul berbaur sangkakala dan tambur itu dengan segera diterjemahkan dengan tegas dan jelas. Beberapa perintah segera disalurkan ke bangsal-bangsal kesatrian dan Sentanaraja yang terletak di arah barat laut istana, di arah kiri lapangan depan bersebelahan dengan parit pelindung istana sekaligus segera menyibukkan balai pertemuan para kesatria yang bersebelahan di sisi kanan Tatag Rambat Bale Manguntur (= balairung istana). Dengan ayunan langkah lebih lebar dari biasanya, para prajurit berpakaian menurut ciri-ciri kesatuan masing-masing bergegas menuju alun-alun. Ketika segenap pasukan mulai memenuhi alun-alun terdengar aba-aba yang diucapkan dan dijawab sangat sigap.

Para wadyabala sumadya, tandya! (= pasukan siap, gerak!)” terdengar sebuah perintah.

”Tandya,” terdengar jawaban serentak.

Diterangi cahaya obor dan dalam balutan kabut yang mulai turun, Gajah Mada segera menempatkan diri siap memberikan sesorah (=pidato). Segenap prajurit yang berasal dari gabungan tiga kesatuan yang pernah bertikai tidak ada yang merasa keberatan Gajah Mada menempatkan diri di tempat yang sangat terhormat itu. Segenap pasukan siap menyimak. Para kawula yang berdiri di luar barisan ikut mendengarkan.

Gajah Mada yang semula hanya berpangkat bekel terbukti mampu melakukan tindakan yang luar biasa. Melalui kecerdasannya, sembilan tahun lalu Ra Kuti dibuat pontang-panting kebingungan dalam memburu Jayanegara. Di puncak kemelut yang terjadi, Gajah Mada bahkan berhasil membungkam Ra Kuti dan anak buahnya untuk selamanya.

Lebih dari itu, kini Gajah Mada sedang mengenakan selempang samir khusus yang diterima dari Ratu Gayatri, yang merupakan pertanda ia mempunyai hak memberikan sesorah dalam pertemuan di alun-alun itu. Dari bentuk lencana dan warnanya yang gemerlap kekuningan, siapa pun tahu Gajah Mada juga sedang mengemban kekuasaan Mahapatih Arya Tadah.

Pada jarak yang sebenarnya tidak seberapa jauh, berbaur dengan segenap kawula yang berduka, Pancaksara mempersiapkan alat tulisnya.

”Hari ini kita kehilangan besar, Baginda Prabu Sri Sundarapandyadewanama Maharajabhiseka Sri Wisnuwangsa, mangkat!”

Bergetar alun-alun itu karena Patih Daha Gajah Mada berbicara langsung pada pokok persoalan.

”Rasanya seperti tidak ada manfaatnya berhasil menyelamatkan Tuanku Sri Jayanegara ke Bedander nawa surya lalu jika akhirnya tangan jahat itu tetap berhasil menjangkau. Ra Tanca diampuni, Ra Tanca yang selama ini dianggap kembali bersih hatinya terbukti masih ada bulu-bulu yang tumbuh di jantungnya. Ra Tanca yang diminta mengobati Tuanku Baginda justru meracunnya. Apa yang menimpa Baginda setidaknya harus menjadi renungan bagi siapa pun untuk jangan cobacoba melakukan tindakan makar, yang terbukti petualangan macam itu menyengsarakan siapa saja".

Kata-kata Gajah Mada itu sangat menggema, berdentang-dentang di segenap dada yang tidak seorang pun membantah kebenarannya.

”Atas nama istana, juga atas perintah Mahapatih Arya Tadah, dengan ini aku perintahkan untuk mengibarkan bendera gula kelapa (= sebutan untuk bendera merah putih) setengah tiang selama sepekan penuh sebagai pertanda berkabung. Sebarkan warta duka pralaya (= kematian) atas mangkatnya Sang Prabu ke segenap sudut pelosok. Terakhir, aku perintahkan untuk dilakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait pemakaman Sri Baginda. Perintahku cukup jelas untuk dikerjakan.”

Sebagai sebuah negara besar dan berdaulat, Majapahit memiliki panji-panji lambang negara, di antaranya adalah bendera gula kelapa yang bermakna sang saka merah putih. Di samping gula kelapa, Majapahit memiliki cihna (= lambang negara) yang dibatik di atas lembaran kain dengan corak gringsing lobheng lewih laka (= pola geringsing merah), yang melatari gambar buah wilwa (=buah maja). Pembuatan lambang berlatar corak geringsing yang demikian memiliki cerita tersendiri. Dahulu ketika Raden Wijaya berusaha menyelamatkan diri dari kejaran Mahisa Mundarang, pimpinan prajurit Kediri yang menyertai rajanya, Jayakatwang, yang menyerbu Singasari, semangat Raden Wijaya dan para pengikutnya, antara lain Lembu Sora, Gajahpagon, Mahisa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Wirota Wiragati, Kebo Kapetengan serta Pamandana kembali meluap ketika mengenakan cawat bercorak geringsing. Dengan semangat yang berkobar amat makantar-kantar (=lidah api yang menjilat-jilat), Raden Wijaya kembali menyerbu masuk ke Singasari. Akan halnya lambang buah maja yang terletak di tengah-tengah, berlatar peristiwa yang terjadi ketika dilakukan babat hutan Tarik. Dalam keadaan lapar, lelah, dan menderita, salah seorang prajurit mendapat buah maja. Akan tetapi, buah tersebut terasa pahit ketika dimakan, peristiwa yang kemudian menjadi sumber gagasan penamaan negara menjadi Majapahit.

Gajah Mada tidak merasa perlu berbicara berlama-lama, apa yang diucapkan Ratu Gayatri cukup sekali dan sudah jelas. Kepada Senopati Gajah Enggon, pimpinan pasukan Bhayangkara yang baru, Gajah Mada menyerahkan kendali untuk mengatur segala macam tindakan dan langkah yang perlu diambil. Gajah Mada berbalik dan melangkah kembali ke istana. Akan tetapi, sebuah sapa menghentikan langkahnya.

”Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan kepadamu, Gajah Mada,” suara orang itu dari jarak yang cukup jelas.

Gajah Mada amat mengenali suara itu, juga mengenali orangnya.

”Ikut aku,” jawabnya pendek.

Orang yang meminta perhatian Gajah Mada, ia adalah Pancaksara, segera bergegas menyamakan lebar langkah kaki mengikuti Gajah Mada masuk ke dalam lingkungan istana. Pancaksara mengira Gajah Mada akan membawanya masuk ke istana, ternyata dugaan itu salah. Gajah Mada justru mengajaknya naik ke atas dinding yang bersebelahan dengan Purawaktra. Dari tempat itu alun-alun terlihat dengan jelas. Gajah Mada menebarkan pandangan.

”Ceritakan apa yang terjadi,” kata juru warta Pancaksara.

Gajah Mada menoleh dan memandang wajah Pancaksara menembus benaknya sampai ke lipatan-lipatan yang paling dalam. Pancaksara tidak tersenyum. Ketika Gajah Mada masih lama terdiam, itu bukan berarti ia harus mengulangi pertanyaan yang diajukan. Pancaksara memilih menunggu.

”Umur berapa kamu saat Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana mangkat?” Gajah Mada justru melontarkan pertanyaan.

”Kenapa?” balas Pancaksara.

”Jawab saja pertanyaanku,” lanjut Gajah Mada.

”Kurasa kita sebaya, ketika itu aku bocah sekali. Karena masih bocah aku tentu belum menggagas menulis Negarakertagama, namun aku mencatat suasananya sama seperti yang kita rasakan kali ini. Bau udaranya, bahkan angin yang bertiup.”

Gajah Mada kembali terdiam beberapa jenak.

”Apa yang kamu tulis?” tanya Gajah Mada.

”Negarakertagama,” jawab Pancaksara. ”Aku telah menyiapkan judulnya, tetapi penulisannya sendiri masih membutuhkan waktu panjang. Negarakertagama bagiku merupakan mimpi yang harus kuwujudkan. Butuh waktu dan kesabaran, saat ini aku baru memulai.”

Pandangan Gajah Mada menerawang, menggerataki wajah langit yang bopeng-bopeng karena mendung di sana sini, sementara bintang-bintang tak tampak gemerlapnya.

”Sama, saat itu aku juga masih bocah. Berapa tahun kejadian itu berlalu?”

Pancaksara memejamkan mata untuk membuat hitungan-hitungan.

”Sembilan belas tahun,” jawabnya tenang.

”Sembilan belas tahun. Ternyata Sang Prabu memerintah dalam waktu yang sependek itu,” gumam Gajah Mada.

Ternyata Pancaksara tak sependapat dengan ucapan Gajah Mada.

”Salah,” balas Pancaksara, ”Tuanku Jayanegara menyelenggarakan pemerintahan tiga tahun lebih lama. Mendiang Baginda Raden Wijaya hanya enam belas tahun. Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabumi (= gelar Ken Arok, Raja Singasari pertama), pendiri wangsa Rajasa justru hanya lima tahun.”

Gajah Mada terheran-heran.

”Prabu Ken Arok memerintah hanya lima tahun?” letupnya.

”Ya,” jawab Pancaksara. ”Umur Singasari yang perjalanannya penuh cerita makar itu hanya tujuh puluh tahun. Hanya seumur manusia.”

Gajah Mada menghirup udara yang amat menyesakkan dadanya dalam-dalam. Serasa masih kurang diulanginya lagi perbuatan itu. Dari ketinggian dinding Purawaktra, Gajah Mada bisa menyaksikan kesibukan yang terjadi di alun-alun. Jika ia berbalik ke belakang, kesibukan di lingkungan Bale Manguntur terlihat dengan amat jelas. Gajah Mada yang menyapu pandangan matanya bisa menandai pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi di Antahpura. Dari tempatnya berada, puncak gerbang Bajang Ratu terlihat dengan jelas. Sementara jika Gajah Mada berbalik, lima batang pohon bramastana dengan daun lebat layak dicurigai sebagai sarang hantu. Bocah-bocah meyakini itu karena bila orang tua mereka kesulitan menidurkan anaknya, diceritakanlah tentang hantu-hantu penghuni beringin yang gemar berburu bocah yang tidak mau tidur.

”Akan ada sebuah pertanyaan yang segera bergayut di benak siapa pun setelah kematian ini,” Pancaksara berbicara datar, tetapi merupakan sebuah pancingan yang menggelitik.

Pertanyaan itu sejatinya telah menggoda isi kepala Gajah Mada. Telah terlontar beberapa saat sebelum Jayanegara menghela tarikan napas pamungkasnya dan amat diyakini racun yang diminumkan Ra Tanca tidak akan bisa dilawan.

”Kautahu jawabnya?” lanjut Pancaksara.

Patih Daha Gajah Mada menggeleng.

”Aku tidak tahu,” jawabnya.

Pancaksara meraba kening.

”Apakah makin jaya negeri ini dipimpin oleh seorang perempuan?” Pancaksara menambah.

Gajah Mada menerawang. Ketika memejam mata yang segera terbayang adalah wajah Sekar Kedaton Sri Gitarja dan Dyah Wiyat. Apakah salah satu dari mereka yang akan dinobatkan menjadi raja menggantikan saudaranya. Kemungkinan itu ada, namun bisa pula para Ibu Ratu, orang-orang yang paling berhak mengambil keputusan punya jawaban lain.

”Tak masalah,” jawab Gajah Mada, ”yang penting harus didampingi oleh sosok yang memiliki tulang punggung kuat. Ke depan Majapahit harus makin kuat, jaya, dan cemerlang.”

Pancaksara beberapa jenak terdiam.

”Kau benar,” ucapnya. ”Putri Shima, Ratu Kalingga, seorang perempuan, tetapi ia memiliki ketegaran dan kekuatan tidak kalah dari laki-laki.”

Dengan segera arah perhatian Pancaksara tertuju pada anak perempuan mendiang Raden Wijaya yang terlahir dari Ratu Gayatri. Dalam usianya yang masih belia, Sri Gitarja telah menyandang kedudukan yang tidak bisa dianggap ringan. Kepadanya telah diserahkan tugas untuk menjadi wali pemangku Istana Kahuripan. Itu sebabnya, padanya melekat gelar Breh Kahuripan. Dengan kedudukannya sebagai anak yang lebih tua, adakah dengan demikian Sri Gitarja harus melaksanakan tugas amat berat mengemban kedudukan sebagai ratu menyelenggarakan pemerintahan?

Gajah Mada melihat, Sri Gitarja terlalu rapuh untuk tugas raksasa itu. Dalam beberapa hal, adiknya justru mempunyai sikap yang lebih menonjol, lebih tegar, dan lebih tegas, semua sikap yang diperlukan oleh seorang raja yang padanya melekat sifat sabda pandita ratu (= sabda raja yang bermuatan hukum, harus benar-benar mencerminkan kebenaran dan keadilan).

”Sekar Kedaton Sri Gitarja mempunyai calon suami,” pancing Pancaksara.

Patih Daha Gajah Mada berbalik dan menatap lawan bicaranya dalam-dalam. Akan tetapi, dengan segera bayangan wajah Cakradara bagai hadir di depan matanya. Apa yang diucapkan Pancaksara memang harus dicermati. Apabila kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintahan diberikan kepada Sri Gitarja, lantas bagaimana peran Cakradara? Mampukah Cakradara menjadi tulang punggung mendampingi istrinya menyelenggarakan pemerintahan? Pun sebaliknya, bila Dyah Wiyat yang dipilih menggantikan kakaknya, apakah Kudamerta mampu menjadi tulang punggung yang kukuh sebagai sandaran istrinya?

Memang sama sekali tak ada masalah dengan Sri Gitarja maupun Dyah Wiyat, pun tidak ada masalah dengan Cakradara yang juga dipanggil dengan sebutan Cakreswara Breh Singasari yang nantinya akan menjadi suami Sri Gitarja. Demikian pula tak ada masalah dengan Kudamerta yang kelak akan memperistri Dyah Wiyat. Yang mencemaskan Gajah Mada justru pihak-pihak yang berada di belakang kedua kesatria itu. Telik sandi pasukan Bhayangkara telah menemukan jejak aneh gerakan mereka. Hal yang menyebabkan Gajah Mada dengan kedudukan sebagai patih di Daha harus meninggalkan tempatnya kembali ke Ibukota Majapahit. Dengan memanfaatkan telik sandi pasukan Bhayangkara yang kini dipimpin Senopati Gajah Enggon dan saluran yang lain, Gajah Mada berusaha mencari jawab teka-teki yang mencemaskan itu.

Setelah jasa besar yang diperbuatnya ketika melakukan penyelamatan Raja dari makar yang dilakukan Ra Kuti, Gajah Mada memperoleh anugerah dengan kedudukan sebagai Patih Kahuripan di Jiwana yang dilanjutkan anugerah itu dengan menjabat patih di Daha. Pangkat yang melekat di samirnya bukan lagi seorang bekel. Meski tugas dan jabatannya tidak di kotaraja, nyatanya Gajah Mada lebih banyak berada di kotaraja karena akhir-akhir ini Sri Jayanegara lebih banyak membutuhkan tenaga prajurit muda itu. Pergerakan aneh dari sekelompok orang memaksa Sri Jayanegara memanggil bekas pimpinan Bhayangkara yang amat didengar pendapat dan sarannya.

Gajah Mada bergeser bersandar dinding.

”Tolong ceritakan bagaimana sebenarnya silsilah raja-raja yang memerintah negeri ini,” ucapnya sambil memejamkan mata.

”Ahh, bukankah kau sudah tahu?” jawab Pancaksara.

”Aku ingin lebih meyakinkan, tolong,” balas Gajah Mada.