Karya Bastian Tito
1.) PROYEK "GG"
Ban belakang Honda Tiger merah mendenyit keras begitu rem yang diinjak habis menghentikan motor di depan rumah di ujung gang. Cowok tinggi ceking tanpa helm, berkaos oblong yang di dadanya ada tulisan Hard Rock CafĂ©—New York mengusap rambut gondrongnya dua kali, lalu membuka kaca mata berkaca biru menyala yang nangkring di atas hidungnya yang mancung bengkok. Tanpa kaca mata kini kelihatan dua mata besar belok di bawah naungan sepasang alis tebal macam clurit. Tidak salah kalau teman-temannya memberi nama tambahan, membuat dia dikenal dengan nama Ronny Celepuk.
Ronny sentakkan gas motor dua kali berturutturut hingga menimbulkan gelegar kebisingan di ujung gang. Seorang kakek tetangga yang lagi terkantuk-kantuk di bawah pohon sambil asyik menikmati cangklong bututnya tersentak kaget. Darah tingginya langsung kumat. Dia bangkit berdiri, julurkan kepala di pagar, turunkan kacamata. "Kagak heran... Die lagi. Si mata jengkol!" kata si kakek dengan tampang peot ditekuk. "Hoi! Bangke hidup! Jangan berisik di kampung orang! Sekali lagi lu genjot 'tu gas, gue guyur air kencing embun-embunan lu!" Cowok di atas motor nyengir. Sambil dua tangan dirapatkan dan diletakkan di atas kepala dia berkata. "Maapin Be, nggak sengaja!" Dia cepat-cepat memutar kunci kontak, mematikan mesin motor. Lalu matanya yang belok memandang ke pintu pagar rumah di depannya.
Di situ berdiri seorang anak lelaki sepantarannya, mengenakan jins lecak yang lutut kanannya robek dan kaos merah yang tangan kiri kanan digunting habis. "Bom! Brengsek lu! Jadi orang bener-bener kelewatan!" Boma, anak yang berdiri di pintu pagar tenang saja mengusap rambut cepaknya (bahasa keren crew cut). Lalu berkata. "Ron, turun dulu dari motor. Baru ngomel!" "Sialan lu!" Turun dari motor Ronny menyampari Boma. "Dari pagi kamu ditungguin. Nggak taunya masih nongkrong di rumah! Gila bener!" "Gila bener apa bener gila?!" ujar Boma sambil mengulum senyum. "Bom, urusan jadi nggak karuan kalau kau nggak datang. Susunan acara, peralatan, teman-teman yang mau tampil. Semua nggak bisa diatur..." "Kok aku yang disalain! Dulu-dulu aku sudah bilang nggak mau ikut-ikutan jadi panitia perpisahan. Lagian katanya semua udah pada pinter. Ngapain nunggu aku si Boma Geblek." Di sekolah Boma Tri Sumitro memang bukan termasuk anak pintar. Rangkingnya di urutan ke 39 dari 41 murid. Sikapnya yang seperti malas-malasan serta urakan seenaknya membuat dia dipanggil Boma Geblek oleh temantemannya.
Tapi dalam soal urus mengurus kegiatan atau acara kelas, dia paling dicari. Karena kalau Boma yang menangani semua pasti rebes. Selain itu gayanya yang enak dalam bergaul, suka humor, sabar dan setia kawan, membuat Boma disenangi oleh teman-teman satu sekolahan. Lalu ada satu lagi nilai tambah yang dimiliki Boma. Wajahnya yang cakep segar baby face serta postur tubuh setinggi 174 Cm. Mata belok Ronny bertambah besar. "Memangnya kau serius Bom nggak mau ikutan dalam panitia perpisahan. Kau 'kan sudah dipastikan jadi ketua panitia." "Serius dong! Masa' anak kelas tiga yang perpisahan, kita anak kelas satu yang naik ke kelas dua yang pada sibuk!" "Kok kamu ngomong gitu. Aneh juga nih! Lagian Bom, itu 'kan sudah tradisi SMU Nusanlara Tiga sejak kuda gigit menyan!" kata Ronny pula. "Menyan. Itu dulu. Sekarang kudanya sudah pakai stockings. Yang digigit bukan menyan lagi. Tapi ecstasy. Jadi mustinya kau ngomong sejak kuda gigit ecstasy," kata Boma. Ronny tertawa ditahan. "Terserah kau mau bilang apa Bom. Pokoknya ini sudah jadi tradisi!" kata Ronny Celepuk rada-rada kesal. "Tradisi?!" Boma mengusap rambut cepaknya kembali. "Memangnya biskacit Roma pakai tradisi segala? Nggak la yauw!" Ronny Celepuk tidak tahu mau bicara apa lagi. Lalu dari kantong celana blu-jinnya anak ini keluarkan sebungkus rokok. Melihat ini Boma cepat berkata. "Lu jangan macem-macem Ron. Berani ngerokok di sini. Bokap gue lagi ada di dalam..." Ronny cemberut.
Masukkan rokoknya kembali ke saku celana sambil mengomel. "Bokap lu kuno! Merokok aja anti!" "Lu mau minum?" Boma menawarkan. "Ala, paling juga air putih. Mending Aqua, paling-paling air kendi!" Boma tertawa. "Bom, kayaknya aku tahu kenapa kau nggak mau ikutikutan sibuk di panitia perpisahan..." "Coba lu tebak." "Gara-gara cewek baru anak Duta Besar itu!" jawab Ronny Celepuk. "Iya 'kan?" "Maksud kamu si Dwita?" "Siapa lagi? Memangnya ada dua anak baru, ada dua anak Duta Besar di SMA Nusantara Tiga?" Boma tertawa. Lalu dengan ujung jari tangan kanannya dia menowel hidungnya sendiri. Ini kebiasaan Boma yang tidak pernah hilang sejak dia pertama kali menyaksikan film kungfu dibintangi almarhum Bruce Lee. Dia begitu tertarik pada gaya Bruce Lee yang suka menowel-nowel hidung, terutama pada waktu berkelahi. Sejak itu Boma menjadikan pendekar kungfu ini sebagai idolanya. Waktu itu dia masih duduk di kelas dua SMP.
Gaya menowel hidung ini mula-mula cuma ikutan meniru-niru gaya Bruce Lee. Lama-lama jadi kebiasaan. "Ajie gombal! Memangnya ada urusan apa aku sama Dwita? Kok disangkutin sama dia?" "Ada yang bilang begini. Kau naksir berat sama cewek baru itu. Tapi Dwita acuh saja. Lalu seminggu lalu Dwita pulang barengan naik mobil sama Zaldi anak kelas tiga. Waktu keluar halaman, kau malah diserempet kaca spion mobilnya Zaldi. Kau dibilang patah hati! Itu 'kan garagaranya?" "Hebat juga 'tu cerita. Siapa yang ngarang Ron? Kau sendiri ya?! Jatuh cinta aja belon, kok duluan patah hati?! Ajie busyet!" "Sudah, bilang aja memang benar kau enggak mud ikutikutan dalam panitia perpisahan gara-gara Dwita, kan?" "Geblek banget gua!" "Ya, kau selama ini memang biangnya segala geblek. Lupa kalau banyak yang manggil kau Boma Geblek?" "Biarin aja! Enggak rugi dipanggil geblek kalau aku memang geblek!" Boma tertawa lepas. "Ada lagi cerita versi lain Bom...." tiba-tiba Ronny Celepuk berkata. "Wah! Ini namanya kejutan..." "Kau, mau dengar?" tanya Ronny. "Terserah, kau mau cerita apa nggak ya terserah." "Bom, ada temen-temen bilang sebetulnya kau mau balas dendam sama Trini. Selama ini Trini selalu jual mahal.
Istilah kerennya suka melecehkan dirimu..." "Aku nggak merasa dilecehin 'tuh. Lagian kalau dilecehin sama bibir, aku ya suka-suka saja la yauw!" Walau jengkel mendengar ucapan Boma, Ronny Celepuk meneruskan. "Kata temen-temen kau sengaja mendekati Dwita, biar Trini tahu rasa. Tadinya Trini memang sempat shok. Maklum, ada yang bilang sebetulnya Trini memang ngebet sejak lama sama cowok geblek macammu! Tapi waktu dia tahu Dwita nggak ngacuhin kamu, Trini kembali pasang harga mahal...." "O… gitu ceritanya. Kayak telenovela aja," kata Boma sambil senyum dan angguk-anggukkan kepala. "Sudah, sekarang kita bicara soal lain saja. Proyek GG yang aku bilang tempo hari sudah pasti jadi..." "Nah, ini satu lagi Bom!" Belum apa-apa Ronny Celepuk sudah memotong. "Ada lagi teman yang bilang. Kau bingung berat gara-gara nggak dapat Dwita, nggak dapat Trini. Lalu membuat Proyek GG. Mungkin buat ngademin hati yang lagi ngebet dan panas." "Ajie busyet!" kata Boma sambil menowel hidungnya. "Biarin, orang mau ngomong apa kek! Tapi Ron. Proyek GG ini super rahasia. Kok katamu temen-temen pada tau?" "Ala, di SMA Nusantara Tiga mana ada sih yang namanya rahasia?" kata Ronny Celepuk. Lalu bertanya. "Siapa aja yang bakalan ikut?" "Yang udah pasti ada enam orang.
Rasanya aku nggak mau nambah lagi. Kalau kebanyakan biasanya pada rese," jawab Boma. "Siapa-siapa aja Bom?" Ronny kembali bertanya. "Rio, Andi, Firman, Vino dan Gita. Enam sama gue. Tujuh sama kau kalau mau gabung." "Tadi kau bilang Gita. Gita? Gita Gendut?" ujar Ronny. "Memangnya ada Gita Ceking di kelas dua?" "Urusan bisa repot, Bom!" "Repotnya?" tanya Boma. "Kalau kejadian apa-apa sama 'tu anak, siapa nyang mau gendong? Bobotnya aja seratus kilo lebih!" kata Ronny. "Kok lu tau bobotnya seratus kilo lebih? Berarti lu udah pernah ngegendong dia dong..." "Ajie busyet! Tobat ane, Cing! Ane nyang ringsek!" kata Ronny sambil nyengir-nyengir. Boma menggerakkan tangan memberi isyarat pada temannya. "Ayo ikut ke kamar. Kamu saksikan sendiri persiapan gua!" Waktu menuju ke kamar Boma di tingkat atas rumah panggung kayu, di ruang tengah ayah Boma sedang asyik membaca surat kabar. Hanya mengenakan singlet dan sehelai kain sarung.
Lelaki ini menurunkan koran yang dibacanya. Di balik kacamata tebal plus 6 bola matanya berputar memperhatikan siapa yang bersama anaknya. Merasa diperhatikan Ronny jadi tidak enak. Cepat dia mengangguk sambil memberi salam. "Selamat siang Oom..." Ayah Boma tidak menjawab. Hanya mulutnya bergerak sedikit lalu mendehem. Ketika menaiki tangga ke lantai atas rumah panggung itu Ronny berbisik. "Bokap lu makin angker aja Bom...." Belum habis ucapannya tak sengaja kaki Ronny terserandung. Kalau tidak cepat dia memagut pegangan tangga kayu ditambah bantuan Boma yang mencekal bahu kaos oblongnya, bukan mustahil anak itu jatuh ke bawah. Di lantai atas, di dalam kamar Ronny memandang berkeliling.
Dia melihat berbagai perlengkapan mendaki gunung memenuhi kamar. Mulai dari tali sampai jaket, mulai dari tongkat sampai ransel. Juga ada kompas, kotak obat dan perlengkapan untuk berkemah termasuk sebuah kompor gas kecil. "Hebat Bom. Peralatan anak UI saja kayaknya enggak selengkap ini...." "Kau lihat ini Ron," kata Boma. Dia melangkah ke meja belajar di sudut kamar. Dari dalam laci meja dikeluarkannya sebuah handy-talky. "Hate ini, frekwensinya disamakan dengan frekwensi radio di pos pengawasan. Jadi soal keamanan nggak usah disangsikan." Boma bicara penuh bangga. "Kalau gitu, aku ikut mendaftar Bom." "Buat lu sih beres aja. Kau jadi komandan bagian ransurn merangkap juru masak!" "Sialan! Masakannya aku campur Garam Inggris biar mencret semua!" Waktu turun ke bawah, ayah Boma masih duduk di tempatnya tadi membaca. "Nak Ronny?" Ayah Boma tiba-tiba menyapa ketika anak itu melintas di depannya. "Saya, Oom..." "Pasti mau ikutan mendaki Proyek GG." Ronny Celepuk agak kaget. Matanya yang belok melirik pada Boma.
Dalam hati dia berkata. "Kok, bokapnya si Boma tau-tauan Proyek GG segala? Wah, bener-bener udah bocor." Ronny anggukkan kepala pada ayah Boma dan ber-kata. "Benar Om..." Ronny Celepuk merasa senang. Ternyata bokapnya si Boma ini ramah juga. Tapi rasa senang itu serta merta sirna begitu ayah Boma menyambung ucapannya. "Boro-boro naik gunung, naik tangga saja belum becus! Ha... ha... ha!" Ronny Celepuk coba tersenyum walau senyum kecut. Sampai di luar anak ini berkata pada temannya. "Bom, bokapmu bukan cuma angker. Ngomongnya juga antik!" Tiba-tiba ada orang dan suara di belakang. "Apa kau kira saya ini sama dengan barang antik di pasar loak Jalan Surabaya, hah?!" Sirap darah Ronny Celepuk. Mukanya pucat. Lehernya terasa kaku waktu menoleh ke belakang. Ronny tahu matanya besar belok. Tapi saat itu dia melihat dua mata ayah Boma jauh lebih besar dan lebih belok dari matanya, memandang tak berkedip ke arahnya. "Maaf Oom. Saya... saya..." Ronny bingung. Boma cuma nyengir. Naik ke atas motor Ronny Celepuk lupa kalau di ujung gang itu ada tetangga yang tidak suka berisiknya suara motor. Ronny kedut-kedut putaran gas. Satu kepala berwajah peot tua, berkacamata nongol dari balik pagar rumah sebelah. "Hoi bangke hidup! Mau ngerasain diguyur air kencing ya?!" "Be, maap, Be!" Ronny Celepuk langsung kabur tancap gas.
Ban belakang Honda Tiger merah mendenyit keras begitu rem yang diinjak habis menghentikan motor di depan rumah di ujung gang. Cowok tinggi ceking tanpa helm, berkaos oblong yang di dadanya ada tulisan Hard Rock CafĂ©—New York mengusap rambut gondrongnya dua kali, lalu membuka kaca mata berkaca biru menyala yang nangkring di atas hidungnya yang mancung bengkok. Tanpa kaca mata kini kelihatan dua mata besar belok di bawah naungan sepasang alis tebal macam clurit. Tidak salah kalau teman-temannya memberi nama tambahan, membuat dia dikenal dengan nama Ronny Celepuk.
Ronny sentakkan gas motor dua kali berturutturut hingga menimbulkan gelegar kebisingan di ujung gang. Seorang kakek tetangga yang lagi terkantuk-kantuk di bawah pohon sambil asyik menikmati cangklong bututnya tersentak kaget. Darah tingginya langsung kumat. Dia bangkit berdiri, julurkan kepala di pagar, turunkan kacamata. "Kagak heran... Die lagi. Si mata jengkol!" kata si kakek dengan tampang peot ditekuk. "Hoi! Bangke hidup! Jangan berisik di kampung orang! Sekali lagi lu genjot 'tu gas, gue guyur air kencing embun-embunan lu!" Cowok di atas motor nyengir. Sambil dua tangan dirapatkan dan diletakkan di atas kepala dia berkata. "Maapin Be, nggak sengaja!" Dia cepat-cepat memutar kunci kontak, mematikan mesin motor. Lalu matanya yang belok memandang ke pintu pagar rumah di depannya.
Di situ berdiri seorang anak lelaki sepantarannya, mengenakan jins lecak yang lutut kanannya robek dan kaos merah yang tangan kiri kanan digunting habis. "Bom! Brengsek lu! Jadi orang bener-bener kelewatan!" Boma, anak yang berdiri di pintu pagar tenang saja mengusap rambut cepaknya (bahasa keren crew cut). Lalu berkata. "Ron, turun dulu dari motor. Baru ngomel!" "Sialan lu!" Turun dari motor Ronny menyampari Boma. "Dari pagi kamu ditungguin. Nggak taunya masih nongkrong di rumah! Gila bener!" "Gila bener apa bener gila?!" ujar Boma sambil mengulum senyum. "Bom, urusan jadi nggak karuan kalau kau nggak datang. Susunan acara, peralatan, teman-teman yang mau tampil. Semua nggak bisa diatur..." "Kok aku yang disalain! Dulu-dulu aku sudah bilang nggak mau ikut-ikutan jadi panitia perpisahan. Lagian katanya semua udah pada pinter. Ngapain nunggu aku si Boma Geblek." Di sekolah Boma Tri Sumitro memang bukan termasuk anak pintar. Rangkingnya di urutan ke 39 dari 41 murid. Sikapnya yang seperti malas-malasan serta urakan seenaknya membuat dia dipanggil Boma Geblek oleh temantemannya.
Tapi dalam soal urus mengurus kegiatan atau acara kelas, dia paling dicari. Karena kalau Boma yang menangani semua pasti rebes. Selain itu gayanya yang enak dalam bergaul, suka humor, sabar dan setia kawan, membuat Boma disenangi oleh teman-teman satu sekolahan. Lalu ada satu lagi nilai tambah yang dimiliki Boma. Wajahnya yang cakep segar baby face serta postur tubuh setinggi 174 Cm. Mata belok Ronny bertambah besar. "Memangnya kau serius Bom nggak mau ikutan dalam panitia perpisahan. Kau 'kan sudah dipastikan jadi ketua panitia." "Serius dong! Masa' anak kelas tiga yang perpisahan, kita anak kelas satu yang naik ke kelas dua yang pada sibuk!" "Kok kamu ngomong gitu. Aneh juga nih! Lagian Bom, itu 'kan sudah tradisi SMU Nusanlara Tiga sejak kuda gigit menyan!" kata Ronny pula. "Menyan. Itu dulu. Sekarang kudanya sudah pakai stockings. Yang digigit bukan menyan lagi. Tapi ecstasy. Jadi mustinya kau ngomong sejak kuda gigit ecstasy," kata Boma. Ronny tertawa ditahan. "Terserah kau mau bilang apa Bom. Pokoknya ini sudah jadi tradisi!" kata Ronny Celepuk rada-rada kesal. "Tradisi?!" Boma mengusap rambut cepaknya kembali. "Memangnya biskacit Roma pakai tradisi segala? Nggak la yauw!" Ronny Celepuk tidak tahu mau bicara apa lagi. Lalu dari kantong celana blu-jinnya anak ini keluarkan sebungkus rokok. Melihat ini Boma cepat berkata. "Lu jangan macem-macem Ron. Berani ngerokok di sini. Bokap gue lagi ada di dalam..." Ronny cemberut.
Masukkan rokoknya kembali ke saku celana sambil mengomel. "Bokap lu kuno! Merokok aja anti!" "Lu mau minum?" Boma menawarkan. "Ala, paling juga air putih. Mending Aqua, paling-paling air kendi!" Boma tertawa. "Bom, kayaknya aku tahu kenapa kau nggak mau ikutikutan sibuk di panitia perpisahan..." "Coba lu tebak." "Gara-gara cewek baru anak Duta Besar itu!" jawab Ronny Celepuk. "Iya 'kan?" "Maksud kamu si Dwita?" "Siapa lagi? Memangnya ada dua anak baru, ada dua anak Duta Besar di SMA Nusantara Tiga?" Boma tertawa. Lalu dengan ujung jari tangan kanannya dia menowel hidungnya sendiri. Ini kebiasaan Boma yang tidak pernah hilang sejak dia pertama kali menyaksikan film kungfu dibintangi almarhum Bruce Lee. Dia begitu tertarik pada gaya Bruce Lee yang suka menowel-nowel hidung, terutama pada waktu berkelahi. Sejak itu Boma menjadikan pendekar kungfu ini sebagai idolanya. Waktu itu dia masih duduk di kelas dua SMP.
Gaya menowel hidung ini mula-mula cuma ikutan meniru-niru gaya Bruce Lee. Lama-lama jadi kebiasaan. "Ajie gombal! Memangnya ada urusan apa aku sama Dwita? Kok disangkutin sama dia?" "Ada yang bilang begini. Kau naksir berat sama cewek baru itu. Tapi Dwita acuh saja. Lalu seminggu lalu Dwita pulang barengan naik mobil sama Zaldi anak kelas tiga. Waktu keluar halaman, kau malah diserempet kaca spion mobilnya Zaldi. Kau dibilang patah hati! Itu 'kan garagaranya?" "Hebat juga 'tu cerita. Siapa yang ngarang Ron? Kau sendiri ya?! Jatuh cinta aja belon, kok duluan patah hati?! Ajie busyet!" "Sudah, bilang aja memang benar kau enggak mud ikutikutan dalam panitia perpisahan gara-gara Dwita, kan?" "Geblek banget gua!" "Ya, kau selama ini memang biangnya segala geblek. Lupa kalau banyak yang manggil kau Boma Geblek?" "Biarin aja! Enggak rugi dipanggil geblek kalau aku memang geblek!" Boma tertawa lepas. "Ada lagi cerita versi lain Bom...." tiba-tiba Ronny Celepuk berkata. "Wah! Ini namanya kejutan..." "Kau, mau dengar?" tanya Ronny. "Terserah, kau mau cerita apa nggak ya terserah." "Bom, ada temen-temen bilang sebetulnya kau mau balas dendam sama Trini. Selama ini Trini selalu jual mahal.
Istilah kerennya suka melecehkan dirimu..." "Aku nggak merasa dilecehin 'tuh. Lagian kalau dilecehin sama bibir, aku ya suka-suka saja la yauw!" Walau jengkel mendengar ucapan Boma, Ronny Celepuk meneruskan. "Kata temen-temen kau sengaja mendekati Dwita, biar Trini tahu rasa. Tadinya Trini memang sempat shok. Maklum, ada yang bilang sebetulnya Trini memang ngebet sejak lama sama cowok geblek macammu! Tapi waktu dia tahu Dwita nggak ngacuhin kamu, Trini kembali pasang harga mahal...." "O… gitu ceritanya. Kayak telenovela aja," kata Boma sambil senyum dan angguk-anggukkan kepala. "Sudah, sekarang kita bicara soal lain saja. Proyek GG yang aku bilang tempo hari sudah pasti jadi..." "Nah, ini satu lagi Bom!" Belum apa-apa Ronny Celepuk sudah memotong. "Ada lagi teman yang bilang. Kau bingung berat gara-gara nggak dapat Dwita, nggak dapat Trini. Lalu membuat Proyek GG. Mungkin buat ngademin hati yang lagi ngebet dan panas." "Ajie busyet!" kata Boma sambil menowel hidungnya. "Biarin, orang mau ngomong apa kek! Tapi Ron. Proyek GG ini super rahasia. Kok katamu temen-temen pada tau?" "Ala, di SMA Nusantara Tiga mana ada sih yang namanya rahasia?" kata Ronny Celepuk. Lalu bertanya. "Siapa aja yang bakalan ikut?" "Yang udah pasti ada enam orang.
Rasanya aku nggak mau nambah lagi. Kalau kebanyakan biasanya pada rese," jawab Boma. "Siapa-siapa aja Bom?" Ronny kembali bertanya. "Rio, Andi, Firman, Vino dan Gita. Enam sama gue. Tujuh sama kau kalau mau gabung." "Tadi kau bilang Gita. Gita? Gita Gendut?" ujar Ronny. "Memangnya ada Gita Ceking di kelas dua?" "Urusan bisa repot, Bom!" "Repotnya?" tanya Boma. "Kalau kejadian apa-apa sama 'tu anak, siapa nyang mau gendong? Bobotnya aja seratus kilo lebih!" kata Ronny. "Kok lu tau bobotnya seratus kilo lebih? Berarti lu udah pernah ngegendong dia dong..." "Ajie busyet! Tobat ane, Cing! Ane nyang ringsek!" kata Ronny sambil nyengir-nyengir. Boma menggerakkan tangan memberi isyarat pada temannya. "Ayo ikut ke kamar. Kamu saksikan sendiri persiapan gua!" Waktu menuju ke kamar Boma di tingkat atas rumah panggung kayu, di ruang tengah ayah Boma sedang asyik membaca surat kabar. Hanya mengenakan singlet dan sehelai kain sarung.
Lelaki ini menurunkan koran yang dibacanya. Di balik kacamata tebal plus 6 bola matanya berputar memperhatikan siapa yang bersama anaknya. Merasa diperhatikan Ronny jadi tidak enak. Cepat dia mengangguk sambil memberi salam. "Selamat siang Oom..." Ayah Boma tidak menjawab. Hanya mulutnya bergerak sedikit lalu mendehem. Ketika menaiki tangga ke lantai atas rumah panggung itu Ronny berbisik. "Bokap lu makin angker aja Bom...." Belum habis ucapannya tak sengaja kaki Ronny terserandung. Kalau tidak cepat dia memagut pegangan tangga kayu ditambah bantuan Boma yang mencekal bahu kaos oblongnya, bukan mustahil anak itu jatuh ke bawah. Di lantai atas, di dalam kamar Ronny memandang berkeliling.
Dia melihat berbagai perlengkapan mendaki gunung memenuhi kamar. Mulai dari tali sampai jaket, mulai dari tongkat sampai ransel. Juga ada kompas, kotak obat dan perlengkapan untuk berkemah termasuk sebuah kompor gas kecil. "Hebat Bom. Peralatan anak UI saja kayaknya enggak selengkap ini...." "Kau lihat ini Ron," kata Boma. Dia melangkah ke meja belajar di sudut kamar. Dari dalam laci meja dikeluarkannya sebuah handy-talky. "Hate ini, frekwensinya disamakan dengan frekwensi radio di pos pengawasan. Jadi soal keamanan nggak usah disangsikan." Boma bicara penuh bangga. "Kalau gitu, aku ikut mendaftar Bom." "Buat lu sih beres aja. Kau jadi komandan bagian ransurn merangkap juru masak!" "Sialan! Masakannya aku campur Garam Inggris biar mencret semua!" Waktu turun ke bawah, ayah Boma masih duduk di tempatnya tadi membaca. "Nak Ronny?" Ayah Boma tiba-tiba menyapa ketika anak itu melintas di depannya. "Saya, Oom..." "Pasti mau ikutan mendaki Proyek GG." Ronny Celepuk agak kaget. Matanya yang belok melirik pada Boma.
Dalam hati dia berkata. "Kok, bokapnya si Boma tau-tauan Proyek GG segala? Wah, bener-bener udah bocor." Ronny anggukkan kepala pada ayah Boma dan ber-kata. "Benar Om..." Ronny Celepuk merasa senang. Ternyata bokapnya si Boma ini ramah juga. Tapi rasa senang itu serta merta sirna begitu ayah Boma menyambung ucapannya. "Boro-boro naik gunung, naik tangga saja belum becus! Ha... ha... ha!" Ronny Celepuk coba tersenyum walau senyum kecut. Sampai di luar anak ini berkata pada temannya. "Bom, bokapmu bukan cuma angker. Ngomongnya juga antik!" Tiba-tiba ada orang dan suara di belakang. "Apa kau kira saya ini sama dengan barang antik di pasar loak Jalan Surabaya, hah?!" Sirap darah Ronny Celepuk. Mukanya pucat. Lehernya terasa kaku waktu menoleh ke belakang. Ronny tahu matanya besar belok. Tapi saat itu dia melihat dua mata ayah Boma jauh lebih besar dan lebih belok dari matanya, memandang tak berkedip ke arahnya. "Maaf Oom. Saya... saya..." Ronny bingung. Boma cuma nyengir. Naik ke atas motor Ronny Celepuk lupa kalau di ujung gang itu ada tetangga yang tidak suka berisiknya suara motor. Ronny kedut-kedut putaran gas. Satu kepala berwajah peot tua, berkacamata nongol dari balik pagar rumah sebelah. "Hoi bangke hidup! Mau ngerasain diguyur air kencing ya?!" "Be, maap, Be!" Ronny Celepuk langsung kabur tancap gas.